Kamis, 06 September 2012

Pelaminan (1913)


Masih berkaitan dengan posting terdahulu (baca : Baralek), sekarang coba kita intip ke dalam rumah orang baralek. Meskipun bukan berasal dari rangkaian foto yang sama, tapi setidaknya kita bisa mendapat gambaran bagaimana cara orang Minang 100 tahun yang lalu menghias interior rumahnya waktu baralek.

Foto ini berasal dari kota Bukittinggi pada tahun 1913. Memperlihatkan pelaminan penganten. Berbeda dengan sekarang yang memakai kursi, jaman itu pelaminan berupa kasur empuk. Tentunya bukan untuk ditiduri penganten, karena untuk tidur sudah disediakan kamar yang berada tepat di belakang pelaminan ini.

Sekarang kita cermati satu-satu. Diatas pelaminan terdapat 2 buah bantal persegi. Mungkin berfungsi sebagai alas duduk atau bersandar bagi penganten. Di sebelah kanan pelaminan terdapat sebuah ornamen yang dikenal dengan nama Banta Gadang (Bantal Besar). Tidak jelas apakah banta gadang saat itu memang betul-betul dibuat dari bantal yang berukuran gadang atau hanya sekedar nama. Yang jelas pada pelaminan terkini, banta gadang berada di sebelah kanan dan kiri mengapit kursi penganten serta terbuat dari rangka besi yang diselimuti kain bersulam.

Diatas kasur juga tertumpuk 2 baris benda yang sekilas mirip bantal guling kecil. Tapi tidak bulat, melainkan persegi seperti roti. Terus terang ambo tidak bisa mengira-ngira apa itu dan apa kegunaannya.

Beralih kita ke dinding. Sama seperti sekarang, dinding juga dilapis dengan kain bersulam supaya terlihat cantik. Lantai rumah juga dilapis dengan lapiak permadani. Ornamen yang tergantung juga mirip dengan yang ada di pelaminan sekarang, tapi terlihat lebih banyak dan lebih meriah. Satu lagi, lebih rendah. Sehingga ambo bayangkan, jika sang penganten berdiri, maka kepalanya langsung menanduk salah satu ornamen tersebut.

Dibelakang pelaminan, mengintip tempat peraduan sang penganten baru. Terlihat kasur dan 2 buah bantal yang kelihatannya nyaman. Yang patut diperhatikan adalah ukuran pintu kamar yang terlihat kecil dibanding pintu jaman sekarang. Juga ukuran kamarnya yang mini. Begitu masuk kamar langsung sampai di pinggir tempat tidur. Artinya kamar tidur ya untuk tidur. Tidak seperti sekarang. Ada TV, ada lemari besar 3 pintu, ada kamar mandi, washtafel dan lain-lain sehingga kamarnya seluas rumah tipe 54....

(Sumber : Tropen Museum)


Rabu, 05 September 2012

Baralek (1925)


Baralek artinya keramaian. Meskipun dalam pembicaraan sehari-hari kata 'baralek' juga digunakan untuk menunjuk kegiatan keramaian lain, tapi konotasi dominan kata baralek adalah pesta pernikahan. Baralek berarti bersukaria. Baju bagus, kaum keluarga berkumpul, bergembiraria. Haha hihi lah pokoknya.

Seperti di atas, foto orang baralek. Di depan rumah terlihat anak daro dan marapulai serta pengiring penganten. Semua berpakaian bagus. Sebagian tersenyum lebar. Sepertinya cuma anak daro yang berwajah tegang. Mungkin stres memikirkan hari depan. Maklumlah, seperti kecenderungan pada jaman itu, tidak ada istilah pacaran. Pernikahan umumnya adalah karena perjodohan. Jadi maklum saja jika pengantennya agak tegang karena belum kenal betul sama calon suami atau istrinya. Kalau dapat pasangan yang baik alhamdulillah. Tapi kalau tidak? Bisa marasai awak.

Melihat dari model rumahnya, foto bertahun 1925 ini mungkin berasal dari daerah pesisir. Sebab biasanya di daerah Darek, rumah pada saat itu masih berupa rumah gadang. Penampakan rumah di foto ini tidak seperti itu.

Keluarga ini kelihatannya cukup berada. Terlihat dari pakaian mereka yang rapi dan bagus. Apalagi kalau melihat 2 anak perempuan yang berada di latar depan. Seperti anak belanda saja tampaknya. Berbaju putih selutut. Malah yang seorang berkaus kaki dan bersepatu.

Coba perhatikan penganten laki-laki. Bercelana tanggung dan memakai kaos kaki putih panjang seperti pemain bola. Ini tentu diilhami pakaian Eropa pada abad lalu, seperti di film Pirates of The Caribbean. Cuma tidak begitu jelas apakah sepatu yang digunakan memakai hiasan seperti pita, seperti di Eropa.

Pembaca ada yang tahu ini pakaian dari daerah mana?

(Sumber : Tropen Museum)

Selasa, 04 September 2012

Kecelakaan Mobil di Muaro Labuah (1929)



Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan jalan di Ranah Minang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (baca: Perjalanan Berliku Jalan Berkelok), maka kendaraan roda 2 dan roda 4 mulai berseliweran ke seluruh pelosok nagari. Arus barang dan orang semakin lancar. 

Namun demikian, karena teknologi yang masih dominan dengan konstruksi kayu, cuaca tropis yang lembab menyebabkan kayu cepat menjadi lapuk. Akibatnya ya kejeblos.

Ini contohnya. Terjadi pada tanggal 1 Oktober 1929, sebuah mobil tagurajai karena melewati jembatan lapuk di Muaro Labuah, Solok Selatan. Roda depannya masih nyangkut diatas jembatan sementara bagian belakangnya sudah terduduk di dalam sungai. Tepatnya Sungai Rambutan, sebagaimana tertulis dengan tulisan tangan di pojok kiri bawah foto.

Di atas jembatan, berdiri 3 orang. 2 diantaranya berpakaian seragam. Itu pastilah polisi yang mengamankan lokasi tersebut dan datang dengan sebuah motorpit gandeng persis film Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Motorpit-nya parkir dekat orang ketiga yang berbaju putih dan berkopiah. Mungkin penduduk lokal atau pemuka masyarakat.

Mobil ini sepertinya mobil penumpang. Karoseri atau rumah-rumah-nya terbuat dari kayu. Kalau di zoom di dindingnya terbaca "SINARLAJANG P.ARO L.B.G.D". Karena belum ada EYD saat itu, maka tulisan dan singkatan yang ditulis di dinding itu tidak konsisten dalam penempatan tanda baca, khususnya spasi dan titik. Kalau dibaca sekarang tentu menjadi "Sinar Layang P. Aro Lb. Gd". Maksudnya Padang Aro Lubuak Gadang, nama daerah di Solok Selatan. Sinar Layang mungkin nama perusahaan oto-nya.

Selanjutnya di bawah tulisan itu tertulis "CYLINDER". Entah apa maksudnya ini. Merk mobil atau apa. Sementara di pintunya tertera "18 PERS EGW 1427 KG". Kita bisa mengira-ngira maksudnya mungkin berat kendaraan itu adalah 1427 Kg. Tapi apa iya seperti itu. Mungkin ada pembaca yang bisa memberi pencerahan :).

Disebelahnya ada lambang bulan bintang. Apakah ini bisa diartikan bahwa mobil ini milik orang Minang yang notabene beragama Islam? Bisa jadi. Apalagi kalau melihat namanya yang melayu banget. Sinar Layang.

Yang unik adalah apa yang tertulis di kaca depan. Dibagian kiri dan kanan atas kaca depan tertulis "HUUR AUTO". Artinya adalah "mobil". Kenapa sudah jelas mobil masih ditulis lagi "mobil" di kaca depannya? Mungkin saat itu belum banyak yang tahu nama makhluk beroda ini adalah "mobil"...

Sumber :KITLV

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...