Sabtu, 30 November 2013

Jejak VOC di Sumatra Barat (1659-1799)

Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.

Di kalangan orang Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni, diambil dari kata "compagnie" yang ada dalam singkatan namanya,. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.

Karena banyaknya pegawai VOC yang curang dan korup serta bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis, VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan hutang 136,7 juta gulden serta kekayaan  berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia yang selanjutnya dikuasai langsung oleh kerajaan Belanda.

Bagaimana di Sumatera's Westkust? Inilah gambaran sekilas sepak terjang VOC di Sumatera Barat:

Padang : Loji/Gudang (tahun 1659); berubah menjadi Gudang Besar dan Barak {tahun 1668), selanjutnya  berubah menjadi Benteng.
Produk : Merica, Garam, Kapur Barus, Kemenyan

Priaman: Loji (tahun 1671);  berubah menjadi Benteng tahun 1684

Airhaji: Loji
              Produk: merica dan emas

Airbangis: Loji (tahun 1669)
                  Produk: merica, kelapa dan minyak kelapa

Indrapura: Loji (tahun 1659)
                   Produk: merica

Pulu Tjinkuk (atau Pulu Tjinko): Loji dengan kantor perwakilan dagang (1662)
                                                      Produk: merica

Secara umum Sumatera Barat menguntungkan bagi VOC, meskipun keuntungan itu harus diperoleh dengan susah payah. Biaya operasional penambangan emas. misalnya, semakin lama semakin bertambah besar jika  dibanding hasilnya. Sementara perdagangan merica bersifat fluktuatif. Hal ini terjadi karena di Eropa merica juga diimpor dari tempat lain. Selain itu juga karena pedagang yang berada diluar kawasan monopoli VOC di sepanjang pantai barat Sumatra tetap aktif. Apalagi sejak British East India Company yang terusir dari Banten tahun 1684 membuka kantor mereka di Bengkulu.

Sekarang mari kita lihat satu persatu.

Ajerbangis (disebut juga Aijerbangis atau Aijerbangies); sekarang Airbangis.
VOC mendirikan loji disini setelah di Priaman (1671). Ini hanya sebagai pos tambahan. Sampai abad ke-18 hanya ada sekitar sepuluh orang pegawai VOC disini. Yang diperdagangkan adalah merica, kelapa dan minyak kelapa. Bersama dengan Priaman dan Tico, loji ini dihapuskan tahun 1770.

Tico (disebut juga Ticous, Tikoes, Tacauw, Ticou); sekarang Tiku .
Di Tico, utara Priaman, VOC mendirikan kantor tahun1667, setelah Poulo Tijnko. Seperti halnya Ajerbangis, ini hanya pos tambahan.  Di Tiku VOC menukar merica dengan pakaian dan kain katun. Dihapuskan bersama dengan Priaman dan Ajerbangis pada 1770.

Priaman (disebut juga Priamang atau Priamange); sekarang Pariaman .
 Priaman berada di sebelah utara Padang. VOC membuka loji disini tahun 1671 dan selanjutnya membangun sebuah benteng Fort Vredenborg (juga disebut Vredenburg and Vreedenburg). Tahun 1684, Priaman dikuasai oleh Kesultanan Aceh, bersama Padang dan Indrapoura serta beberapa kawasan VOC lainnya di pantai barat Sumatra. Meskipun akhirnya berdamai, perdagangan di daerah ini tetap dipengaruhi oleh konflik antara Sultan Aceh dan kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Selain itu juga persaingan dengan perusahaan dagang Inggris menjadi masalah akut di sini. Beberapa kali pos di Priaman ini ditinggalkan, termasuk tahun 1698. Akhirnya dihapus tahun 1770 bersama Ajerbangis and Tico.

Padang
Pada 1667 Jacob Jorisz ditunjuk sebagai komandan dari 110 pegawai VOC di Padang (itermasuk 40 sampai 50 orang tentara). Pada 1670, loji besar ini ditunjuk sebagai pusat dari seluruh kawasan VOC di pesisir barat Sumatra. Pada 1668 Padang ditunjuk sebagai ibukota. Kota ini dilengkapi dengan rumahsakit, gereja dan alun-alun yang dikelilingi oleh perkantoran. Sesudah tahun 1700, penduduk didalam benteng berjumlah 430 orang pada tahun 1730. Ekspor utama Padang adalah merica, garam, kapur barus dan kemenyan.

Troisang, sekarang Tarusan .
Catatan tertulis tentang pos VOC ini tidak ditemukan. Hanya diketahui lewat peta.

Sillida (disebut juga Silido, Sillida, Zelida, Zilida, Zillida, Salido Ketjil, Pinang ), sekarang Painan .
Di Painan VOC mendirikan Benteng Fort Cronenburg. Daerah ini menghasilkan emas dan perak. Sebelumnya VOC membelinya dengan cara barter kepada penduduk lokal. Pada tahun 1667 VOC memeperoleh izin menambang emas dan perak di Sillida dari raja Indrapoera, Taroesan and Bajang . Pada tahun 1670, pertambangan emas dibuka. Masalahnya adalah petambang orang Eropa sangat mahal dan tidak cocok dengan iklim tropis.  Pada tahun 1696, pertambangan ditutup sementara. Dilanjutkan lagi pada awal abad 18 dengan mempekerjakan budak-budak dari Madagascar. Karena kondisi lingkungan yang tidak sehat di pertambangan, tingkat kematian sangat tinggi. Dari sini emas dan perak dikapalkan dalam bentuk mentah karena untuk membuat proses pengolahan logam sendiri memerlukan biaya yang sangat besar.  Akhirnya tambang ini disewakan VOC kepada Angku Lareh Sillida .

Reruntuhan Gerbang Pulau Cingkuak
Poulo Chinco (disebut juga Chinco, Poulo Chinco, Poulo Chinko, Pulu Tjinko, Poelau Ching cake, Pulu Tjinkuk); sekarang Pulau Cingkuak.
Poulo Chinco adalah sebuah pulau kecil di depan Painan . Pada tahun 1667 pulau ini dipagari dengan konstruksi batu pada bagian bawahnya. Pada tahun 1669 di sinididirikan sebuah gudang dengan konstruksi batu. Disini juga berkedudukan Kepala Dagang Pesisir Barat Sumatra, langsung dibawah komando Tuan Kumandur di Padang.  Di sebelah rumah Tuan Kepala Dagang berdiri gudang merica dan kain. Merica diekspor dari sini, sedangkan kain dibeli di India dan digunakan sebagai penukar merica masyarakat. Di sini terdapat juga rumah budak dan rumah jaga serdadu. Semua tersedia di pulau ini, termasuk anggur, yang sebenarnya tidak begitu diperlukan di sebuah pulau di daerah tropis yang panas.

Indrapoera (disebut juga Indrapoura dan Indapoura); sekarang Indrapura
Indrapoera berlokasi antara Padang dan Bengkulu. Sekitar tahun 1659 VOC mendirikan kantor di sini. VOC menandatangani kontrak dengan sultan Indrapoera tentang monopoli merica. Tahun 1702 sebuah garnisun VOC dibantai dalam sebuah pemberontakan di sini. Pada 1716 VOC mendirikan loji baru dengan menandatangani kontrak baru dengan sultan setempat.

Adjarhadja (disebut juga Adjarhadja, Adjer Hadja, Ajerhadia, Ajerhadja, Aijerhadja); sekarangAirhaji .
Adjarhadja berada dekat dengan Indrapoera . Adjarhadja adalah sebuah pasar kecil dan pos pengamatan bagi VOC. Dengan melindungi raja-raja setempat dari ancaman Sultan Aceh, VOC berhasil memonopoli merica disini.  

Menurut catatan, pada tahun 1770, di pesisir barat Sumatra terdapat 290 pegawai VOC yang berpusat di Padang. Dengan pegawai yang hanya sebanyak itu, VOC bisa berkuasa hampir 200 tahun. Betapa ajaibnya...

(Sumber: vocsite.nl;  wikipedia; voc-kaap.org; suetoclub.files.wordpress.com)

Sabtu, 16 November 2013

Saudagar Antar Bangsa (1900)


Foto di atas adalah foto keluarga yang unik. Si ayah berdiri di depan rumah, sedangkan istri dan sepasang anaknya memperhatikan sang ayah dari teras rumah. Si ibu berdiri sementara kedua anaknya nangkring di pagar teras. Kenapa nggak diajak sekalian aja,ya? :)

Rumahnya besar, bertipe bungalow. Si ayah bernama F.W.J.H. Tengbergen, seorang saudagar di Padang. Sayangnya, ambo tidak berhasil menemukan informasi lebih lanjut soal aktifitas dagangnya maupun lokasi tepatnya rumah dalam foto ini sekarang. Yang pasti keluarga ini adalah penduduk kota Padang karena nama mereka tercantum dalam Adresboek (buku alamat) kota pada awal abad ke-20.

Pak Tengbergen sepertinya bukan saudagar kacangan. Mainnya sudah antar benua. Bahkan berita tentang dirinya  juga muncul di sebuah majalah dari Australia, The Queenslander yang terbit di Brisbane. Memang isinya hanya berita ringan, tapi cukup menggambarkan "kelas" Meneer Tengbergen ini.

Pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 1909 The Queenslander menulis:

F. W. J. H. Tengbergen , pedagang dari  Hindia Belanda, yang baru-baru ini mengunjungi New York, mengejutkan beberapa orang pialang saham di Wall Street dengan memberikan  kartu namanya yang terdiri dari lima nama, empat nama kristen yang panjang sebelum diikuti nama keluarganya . 

"Itu belum seberapa, " katanya , " Saya punya teman yang punya empat belas nama. Ayah teman saya yang malang itu adalah seorang pedagang di salah satu kota besar di India. Sebelumnya hubungan antara ayahnya dan juru catat kota sudah tidak baik karena permasalahan bisnis.

Pada waktu teman saya itu lahir ayahnya pergi ke pejabat ini untuk mencatatkan kelahirannya . Kedua orang itu saling melotot saat mereka bertemu di kantor.

'Apa yang Anda inginkan di sini ?' kata juru catat.
'Aku kesini ada urusan,' jawab ayah teman saya . 'Tuliskan apa yang saya katakan.'

Juru catat tidak mengacuhkan permintaan itu dan melanjutkan pekerjaannya yang terhenti. Ayah teman saya itu menjadi marah, dan dengan kata-kata tegas mengulangi permintaannya disertai dengan ancaman . Akhirnya si juru catat menyetujuinya sambil mengomel, dan ayah teman saya tersenyum penuh kemenangan.

Ini adalah yang didiktekan ayah teman saya kepada si juru catat sebelum menambahkan nama keluarganya, susunan huruf sampai huruf L: 'Adrian Barend Christian Diederick Evert Francis Gerret Hendrik Isaac Johan Knrel Lenz .' 

Sampai saat ini teman saya itu selalu kesulitan dalam menuliskan nama lengkapnya dalam dokumen-dokumen resmi dan  masalah-masalah penting lainnya , termasuk  surat nikahnya ."

Itulah sekelumit kisah pedagang dari Padang yang berbisnis sampai ke New York pada awal 1900-an. Kalau sekarang sampai kemana orang Padang manggaleh, ya?

(Sumber: trove.nla.gov.au; KITLV)

Selasa, 05 November 2013

Kelok Sembilan dan Matahari Bagi Sumbar (2013)

Catatan Si Ntonk : 
Kali ini MinangLamo menampilkan tulisan dari sejarawan betulan yaitu Prof. Gusti Asnan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Tulisan ini ditulis sekaitan dengan peresmian Jalan Layang Kelok 9 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Oktober 2013. Pembangunan itu sendiri berlangsung selama 10 tahun (2003-2013) dengan menghabiskan biaya 602,55 Milyar. Terdiri atas 6 jembatan dengan panjang total 943 meter dan jalan penghubung sepanjang 2.089 meter. Infrastruktur ini murni hasil karya anak bangsa sejak dari disain sampai pengerjaannya.
Tulisannya berjudul "Kelok Sembilan dan Matahari Bagi Sumbar". Bercerita tentang pergeseran peran kota Padang (dan Sumatera Barat) bagi pulau Sumatera sejak zaman kolonial sampai sekarang serta relevansinya dengan Kelok 9. Selamat membaca!

Gusti Asnan
Sepanjang abad ke-19 Padang adalah kota yang terbesar dan terpenting di Sumatera. Tidak itu saja, sejumlah kota bandar lain di kawasan barat Su­matera juga tumbuh menjadi pusat kegiatan sosial, politik dan ekonomi yang penting.

Kondisi itu menyebabkan daerah pedalaman Sumatera bagian tengah, yang identik dengan daerah administratif Gouvernement Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatera), menjadi sangat tergantung pada kota Padang dan kota-kota bandar lain di ka­­wasan pada umumnya. Kota Padang dan kota-kota di kawasan barat saat itu bagaikan matahari bagi dae­rah pedalaman. Kota Padang dan kota-kota di kawa­­san barat saat itu menerangi dan memberi energi bagi daerah pedalaman.

Sehubungan dengan itu, penduduk daerah pedalaman banyak yang bermigrasi ke pantai barat, berbagai komoditas daerah pedalaman dibawa ke kawasan pantai barat, dan berbagai barang yang didatangkan dari Negeri Seberang dikirim ke daerah pedalaman melalui pantai barat.

Untuk mengefektifkan pergerakan orang dan barang tersebut, pemerintah kolonial membangun berbagai jaringan jalan raya antara daerah pantai barat dengan kawasan pedalaman. Beberapa ruas jalan tersebut adalah: Air Bangis via Simpang Empat, Talu, dan Rao; Sasak/Katiagan dengan Ladang Panjang ke Bonjol; Tiku via Lubukbasung, Maninjau, Matua, ke Bukittinggi; Pariaman via Kayutanam, Padangpanjang ke Bukittinggi; Padang via Saningbakar, Singkarak ke Tanahdatar; Padang via Limau Manis, Gantung Ciri, Selayo, ke Tanahdatar; dan Bandar Sepuluh ke Solok Selatan.

Signifikansi kawasan pantai barat dalam dengan daerah pedalaman semakin terlihat ketika dibangunnya jaringan jalan kereta api yang menghubungkan kota Padang dengan Sawahlunto. Batubara yang dihasilkan Sawahlunto dibawa ke Padang terlebih dahulu sebelum dikapalkan dan diekspor ke mancanegara.

Kota Padang menjadi begitu penting sepanjang abad ke-19 karena kota itu adalah pusat kegiatan politik dan ekonomi terpenting, tidak hanya di pantai barat Sumatera, tetapi juga di Sumatera. Pelabuhan kota itu menjadi satu-satunya pelabuhan laut dengan tipe A (sebuah pelabuhan yang melayani kegiatan ekspor-impor dengan luar negeri) di Sumatera. Pelabuhan kota Padang disinggahi oleh kapal-kapal samudera yang melayani rute Batavia-Belanda atau Australia-Eropa atau sebaliknya. Di kota ada banyak konsulat perdagangan negara-negara terkemuka.

Di kota Padang ada banyak handelhuizen (rumah dagang) yang bergerak dalam sektor ekspor-impor, dan kota Padang adalah pusat kegiatan politik (ibukota) Gouvernement Sumatra’s Wetskust.

Peranan sebagai kota terpenting ini, tetap disandang Padang hingga dua dekade permulaan abad ke-20. Pada saat itu, Padang juga tumbuh menjadi pusat aktivitas sosial (pendidikan), dan juga pusat penerbitan surat kabar dan majalah, serta publikasi sejumlah buku. Di samping itu, berbagai organisasi sosial-kemasyarakatan juga ada di kota ini.

Memasuki dasawarsa ke-3 abad ke-20, kota Padang khususnya dan kota-kota pantai di kawasan barat umumnya mulai kehilangan pamornya. Peran politik, sosial, ekonomi, dan budayanya mulai memudar dan diambilalih oleh beberapa kota di bagian timur Sumatera. Pada saat itu, Medan telah tumbuh menjadi kota terbesar dan terpenting di Sumatera. Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang terkemuka, disebabkan oleh pembukaan berbagai ordernemingen (perkebunan besar) di kawasan itu. Pelabuhan Belawan mengambil alih peran pelabuhan Padang, dan kapal-kapal samudera yang dahulu menyinggahi Padang mengalihkan rutenya ke pelabuhan Belawan. Perkembangan ini menyebabkan hampir semua konsulat perdagangan yang ada di Padang memindahkan kegiatan mereka ke Medan. Sejumlah besar handelhuizen yang ada di kota Padang juga hijrah ke kota itu.

Perkembangan tersebut juga menyebabkan Medan menjadi tujuan migrasi orang/penduduk daerah pedalaman, termasuk juga pedalaman Sumatera Barat. Merantau ke Deli (Medan berada di kawasan Deli) menjadi sebuah gerakan saat itu. Mudahnya gerakan ini juga didukung oleh tersedianya jaringan jalan raya, serta adanya perusahaan otobis yang melayani rute Sumatera Barat (Padang dan Bukittinggi) dengan Medan.

Tidak hanya Medan atau kawasan Deli, Pekanbaru (Riau), Jambi dan Palembang juga tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru pada daswarsa ke-3 abad ke-20. Pekanbaru menjadi begitu penting bagi penduduk dan daerah pedalaman Sumatera Barat. Pekanbaru menjadi penting dalam hubungannya perdagangan dengan “negeri tetangga” (Semenanjung Malaysia). Berbagai komoditas impor dari Malaysia dan Singapura untuk Sumatera Barat didatangkan melalui Pekanbaru (Riau), dan bagi penduduk pedalaman Sumatera Barat, Pekanbaru (Riau) berperan besar sebagai “kota/daerah transit” bila mereka hendak pergi ke Malaysia atau Singapura.

Site Plan Jalan Layang Kelok 9. Yang berkelok-kelok di sebelah atas adalah Kelok 9 yang asli
Dalam kaitannya dengan pekembangan itulah pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan jalan raya yang menghubungkan daerah pedalaman Sumatera Barat dengan Pekanbaru (Riau). Ada dua ruas jalan raya yang mereka bangun saat itu: pertama, antara Bukittinggi via Payakumbuh dan Bangkinang ke Pekanbaru, dan kedua dari Kiliran Jao via Taluk Kuantan ke Rengat. Tanpa mengabaikan siginifikansi bagian jalan yang lainnya, Kelok Sembilan dapat dikatakan sebagai bagian jalan yang paling menyita energi dan biaya pemerintah kolonial. Tidak itu saja, perintah Hindia Belanda melalui Departemen Pekerjaan Umumnya (PU) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Padang mengatakan bahwa Kelok Sembilan adalah bagian jalan yang paling perlu dijaga dan diperhatikan.

Dikatakan, Kelok Sembilan adalah sebuah ruas jalan yang bisa menentukan hidup atau matinya hubungan antara Payakumbuh (Sumatera Barat) dengan Bangkinang dan Pekanbaru (Riau). Pernyataan lembaga yang berurusan dengan jalan raya ini tentu tidak sekadar pernyataan semata. Tentu ada sejumlah pertimbangan yang mendasari pernyataan tersebut. Salah satu di antaranya adalah bila terjadi masalah dengan ruas jalan Kelok Sembilan itu, misalnya tebing atau lembah yang ada di ruas jalan itu longsor, maka akan putuslah hubungan antar kedua daerah. Putusnya hubungan tersebut akan membuat tersendat atau terhentinya pergerakan orang dan barang dari kedua daerah. Terhentinya pergerakan orang dan barang akan menimbulkan kerugian (finansial) yang besar bagi kedua belah pihak.

Dengan alasan inilah, Departemen PU masa itu, dan juga pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan, senantiasa berusaha menjaga agar kondisi jalan ini senantiasa berada dalam keadaan baik. Selalu ada pengawas (opzichter) yang ditugaskan mengawasi keadaan ruas jalan itu. Alhasil dalam waktu yang cukup lama, ruas jalan Kelok Sembilan terjaga dengan baik dan hubungan antara Payakumbuh (Sumatera Barat) dengan Bangkinang dan Pekanbaru (Riau) bisa terjalin dengan baik.

Bahkan, dalam kenyataannya, bila ada gangguan perjalanan antara Sumatera Barat dengan Riau, seperti tanah atau jalan yang longsor,  maka tanah atau jalan yang longsor itu umumnya terjadi di luar ruas jalan Kelok Sembilan.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan seiring pula dengan perkembangan teknologi transportasi, serta tingginya mobilitas angkutan darat antara Sumatera Barat dengan Riau, ruas jalan Kelok Sembilan ternyata tidak lagi mampu mengimbangi alat angkutan yang melintasinya. Ruas jalan tersebut dirasa sudah terlalu sempit. Kondisi inilah yang akhirnya memaksa pemerintah, terutama pemerintah daerah Sumatera Barat untuk meningkatkan mutu dan kualitas, serta keadaan jalan di kawasan Kelok Sembilan. Peningkatan mutu jalan itu dilakukan dengan membangun jembatan yang megah, kokoh, dan lapang.

Kemegahan jembatan tersebut akan sangat terasa bila dilihat dari berbagai foto yang diambil oleh juru potret profesional. Kokohnya jembatan itu juga terlihat dari kekarnya struktur jembatan yang dibangun. Lapangnya jembatan itu sangat terasa bila kita melaluinya. Apatah lagi bila dibandingan dengan “sempitnya” ruas jalan yang dilalui sebelum kita memasuki jembatan ini. Bisa dikatakan, pembangun jembatan Kelok Sembilan ini adalah salah satu mahakarya anak bangsa dalam lapangan transporatsi darat di Samatera Barat pada awal millennium ke tiga ini.

Jalan Layang Kelok 9 dilihat dari arah Payakumbuh.
Pembangunan jembatan Kelok Sembilan jelas sangat menguntungkan Sumatera Barat. Pembanguan jembatan ini sangat membantu para pengguna jalan melewati salah satu satu ruas yang tersempit dan paling
berbahaya antara Payakumbuh (Sumatera Barat) dengan Bangkinang dan Pakanbaru (Riau). Pembangunan jembatan ini akan lebih menggairahkan mobilitas orang dan barang antara Sumatera Barat dengan Riau. Pembangunan jembatan ini akan lebih membuat mudahnya mobilitas orang dan barang dari Samatera Barat ke Riau.

Mobilitas orang dan barang dari Sumatera Barat ke Riau memang perlu mendapat tekanan, karena sejak awal tahun 2000-an, bisa dikatakan bahwa orang dan daerah Sumatera Barat lah yang paling berkepentingan dengan ruas jalan raya ini. Orang dan daerah Sumatera Barat lah yang paling banyak mendapat keuntungan dari adanya, dan lancarnya jalan raya ini. Keuntungan itu tentu saja bisa terjadi karena Riau dewasa ini adalah sebuah daerah yang membutuhkan banyak banyak dan komoditas dari Sumatera Barat sehingga bisa menjadi pasar potensial bagi daerah Sumatera Barat. Riau adalah matahari baru bagi Sumatera Barat dewasa ini. Dan Jembatan Kelok Sembilan adalah wahana yang bisa mengantarkan orang dan daerah Sumatera Barat ke matahari tersebut. 

(Sumber : padangekspres.co.id; indhietdaily.blogspot.com; twicsy.com)

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...