Jumat, 27 Desember 2013

Diler Truk Jadul? (1900-1940)


Ambo tidak begitu yakin dengan judul foto koleksi Tropen Museum ini yang menyebutkan bahwa foto tersebut adalah "Pasar Ternak dan Pedati di Lubuk Basung". Di dalam foto memang terlihat deretan rapi berjajar gerobak pedati yang sangat banyak dengan latar depan beberapa ekor kerbau sedang leyeh-leyeh dibawah pohon kelapa. Bahkan disamping kiri foto, di kejauhan, juga terlihat dua ekor kerbau sedang merumput. Gemuk-gemuk dan sehat-sehat.

Yang membuat ambo tidak yakin dengan judulnya adalah karena tidak ada satu manusia pun yang tampak dalam foto ini. Padahal judulnya "Pasar". Atau mungkin karena sudut pengambilan gambar yang sangat pas, sehingga tidak terlihat aktivitas seperti pasar yang biasa kita lihat? Atau... ini memang bukan pasar ternak?

Ambo cenderung kepada pendapat terakhir. Menurut penglihatan ambo, aktivitas di atas lebih kepada "pangkalan pedati" daripada "pasar ternak dan pedati". Para kerbau yang terlihat adalah kerbau yang melepas penat sehabis menghela pedati. Para sais juga mungkin sedang ngopi-ngopi di lapau atau pulang ke rumahnya. Makanya tidak nampak di foto. Kalau sekarang, mungkin persamaannya adalah "terminal truk".

Alternatif lain yang mirip dengan pasar adalah "dealer". Dealer truk, kalau zaman sekarang. Karena ini zaman dulu, maka sang diler menyediakan pedati lengkap dengan kerbaunya. One stop shopping. Soalnya kalau kita perhatikan, bentuk konstruksi pedatinya persis sama. Seolah-olah berasal dari pabrik yang sama.

Kalau yang punya "terminal" atau "diler" itu hanya satu orang, bisa dibayangkan kedudukan orang tersebut dalam masyarakat. Kalau jaman sekarang tentu beliau itu adalah seorang konglomerat transportasi. The Real Transporter. :)

Lepas dari itu semua, foto ini adalah foto pertama yang ambo peroleh sejauh ini yang bersumber dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam sekarang. Dalam foto diatas Lubuk Basung terlihat "modern" dengan adanya bangunan beton bertingkat dua dan beratap seng.

Oya, satu lagi. Lubuk Basung sampai sekarang masih terkenal dengan usaha pembuatan bak kayu untuk truk. Mungkin sejarahnya bisa diurut sampai ke deretan pedati diatas. Keahlian itu sepertinya turun temurun.

(Sumber: Tropen Museum)

Kamis, 19 Desember 2013

Awal Misi Zending di Padang (1820 - 1901)


Heboh pro-kontra terhadap investasi yang diduga bermuatan kristenisasi di Ranah Minang beberapa bulan  terakhir membuat ambo berpikir untuk menoleh kebelakang.

Kelompok  yang kontra-investasi berpegangan kepada adagium "mancari sabalun hilang, maminteh sabalun hanyuik, alun takilek lah takalam, takileh ikan dalam aia alah tantu jantan jo batinonyo" (mencari sebelum hilang, mengejar sebelum hanyut, sebelum kilat tapi sudah gelap, berkelebat ikan dalam air sudah ketauan jantan atau betina). Kata lainnya adalah "mencegah lebih baik daripada mengobati".

Sementara kelompok yang pro-investasi menjawab dengan ucapan, "Manga cameh jo kristenisasi? Urang awak urang nan kuat agamonyo. Salamo ko awak dijajah Balando, alah bara baru urang awak nan murtad?" (Kenapa cemas dengan kristenisasi? Orang kita orang kuat beragama. Selama ini kita dijajah Belanda, sudah berapa sih orang kita yang murtad?).

Pikiran ambo berputar: bisakah sejarah menjawab hal ini? Ternyata ada beberapa hal yang ambo temukan.
 
Niniak kita dahulu menyebut istilah "Misi Zending" untuk menyebut para penginjil kulit putih yang datang ke negeri kita. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena "Misi" dan "Zending" merujuk kepada dua hal yang berlainan. "Misi" mengacu kepada penyebar agama Katolik Roma sedangkan "Zending" mengacu kepada penyebar agama Protestan. Untuk diingat bahwa Belanda umumnya beragama Protestan. Karena itu dari catatan sejarah terlihat bahwa aktivitas zending lebih mengemuka pada zaman kolonial dibanding misi. Hal ini tentu dapat dipahami. 

Padang sebagai sebuah kota metropolitan di Sumatera pada masa itu tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi misi zending, meskipun sebenarnya umat kristiani sudah ada di Padang sejak 1679 yaitu orang-orang VOC dan pedagang bangsa asing  yang bertugas di Padang. Namun mereka tidak menyebarkan agamanya, baik karena larangan dari pemimpin lokal setempat maupun karena larangan dari pemerintah kolonial. 

Alasannya berbeda. Kalau pemimpin lokal alasannya tentu terkait dengan fakta bahwa orang Minang sudah memeluk islam sejak abad ke-16 Masehi. Sedangkan pemerintah kolonial melarang dengan alasan agar tidak terjadi konflik di tengah masyarakat. Sebab kalau ada konflik, mereka sendiri yang bakalan repot. Hal ini sejalan dengan salah satu motto pemerintah kolonial  yaitu menjaga algemene rust en orde (ketentraman dan ketertiban umum).

Baru pada saat pemerintahan Inggris (interragnum) antara 1811 sampai 1825, Raffles memberikan izin yang memungkinkan beberapa pekabar Injil bekerja di pantai barat Sumatera.

Pada tahun 1820 tiga pekabar Injil dari aliran Baptis di Inggris memasuki daerah ini. Mereka adalah Ward yang pergi ke Bengkulu, Evans ke Padang dan Burton ke Sibolga. Misi ini dikabarkan gagal dengan pulangnya ketiga orang tersebut dari daerah tugas masing-masing. Namun Nathaniel Ward tetap bertahan di Padang dan menghabiskan waktunya dengan menerjemahkan injil. Meskipun demikian tidak ada catatan soal jemaat yang berhasil dihimpunnya.
.
Setelah Belanda berkuasa kembali, aturan soal rust en orde kembali diberlakukan. Diantara yang tidak diberi izin adalah misionaris katolik P. Candall di Padang tahun 1830 dari serikat MEP Perancis. Meskipun demikian pada tahun 1837 telah terdapat pastor pertama yang bermukim di Padang bersama dengan orang Katolik yang terdiri atas tentara Belanda, pegawai sipil dan peranakan indo serta beberapa orang Tionghoa. Tidak ada catatan soal jemaat yang berasal dari pribumi.

Terkait dengan pemberian izin itu, belakangan pemerintah kolonial melegalkannya didalam Regerings Reglement (Peraturan Pemerintah) Tahun 1854 pasal 123,  yang kemudian ditegaskan kembali dalam Indische Staatsregeling tahun 1925 pasal 177 yang berbunyi : (1) Guru-guru agama Kristen, pendeta dan zendeling harus ada ijin masuk yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk mengerjakan tugasnya dalam suatu daerah tertentu di Hindia Belanda. (2) Jika ijin masuk itu dianggap berbahaya atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditaati, ijin itu dapat ditarik kembali oleh Gubernur Jenderal.

Salah satu maksud dari  RR 1854 ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi konflik akibat dubbele zending (adanya dua badan zending yang bekerja pada satu kawasan). Selanjutnya lagi, seiring dengan terbitnya RR 1854 ini, Sumatera Barat, Banten, Bali dan (belakangan) Aceh, dinyatakan tertutup untuk misi zending. Tak lain tak bukan tentu dalam kaitannya menjaga rust en orde tadi. Sumatera Barat, Banten dan Aceh dianggap sebagai daerah muslim, sedangkan Bali dianggap sebagai daerah Hindu. Menjalankan misi zending di daerah-daerah tersebut bisa memancing konflik antar pemeluk agama. Bisa rusak rust en orde.

Akibatnya jelas. Misi zending tidak bisa berjalan di Sumatera Barat karena izin untuk itu tidak pernah diberikan oleh pemerintah kolonial. Padang sebagai kota besar pada waktu itu hanyalah menjadi tempat mengambil ancang-ancang bagi para misi zending sebelum bergerak ke utara. Tanah Batak (kecuali bagian selatan yang telah diislamkan oleh Tuanku Rao), dianggap sebagai ladang yang subur untuk misi zending karena penduduknya masih memeluk agama nenek moyang yang menyembah batang kayu dan sejenisnya. Untuk yang satu ini pemerintah kolonial memberikan izin, bahkan menyokongnya.

Diantara nama-nama beken yang memulai langkahnya dari Padang antara lain  G. van Asselt dari jemaat Ermelo dari Belanda yang mendarat di Padang pada Desember 1856 dan akhirnya menetap di Sipirok. Selanjutnya Lidwig Ernst Denninger yang mendarat di Padang pada 21 Nopember 1861,  yang semula ditugaskan ke Barus tapi akhirnya memutuskan ke Nias karena berkenalan dengan orang Nias sewaktu ia menetap sementara di kawasan Kampung Cina Padang karena istrinya sakit. Selain itu ada Ludwig Ingwer Nommensen yang  tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang,  yang pada akhir hayatnya mendapat julukan sebagai Rasul Orang Batak karena berhasil membaptis 180.000 orang dan mendirikan cikal bakal gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Ada lagi August Lett yang menjalankan misi zending ke Mentawai pada 1901, namun akhirnya tewas terbunuh disana pada 1909.

Ada baiknya juga kita lihat biografi seorang misi zending dari Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang juga memulai langkahnya dari Padang yang dicuplik dari buku karangan George Munson berjudul More Than Conquerors, terbitan Teach Services, New York tahun 2007 

.............

Ralph W. Munson dan istrinya, Carrie
Pada akhir 1899, Ralph Waldo Munson bersama istri dan kelima anaknya tiba di pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur sekarang), menumpang kapal Prins Hendriks, dari pelabuhan New York 11 November 1899, untuk memulai misi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia. Mereka dikirim oleh Kantor Konferens Michigan atas biaya sendiri untuk bekerja ke tengah-tengah orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Memilih kota Padang sebagai sasaran pekerjaannya mengingat seorang muridnya waktu ia masih seorang pendeta Methodist di Singapura, bernama Tay Hong Siang, berasal dari Sumatera Barat yang tinggal di Bukit Tinggi. Alasan lain ia memilih kota Padang adalah sehubungan larangan pemerintah Hindia Belanda kepada orang-orang asing memasuki wilayah jajahan kecuali atas izin khusus, dan daerah yang telah dimasuki zending tidak boleh dimasuki zending baru. Dan kota Padang sebagai salah satu ibukota pemerintahan Belanda waktu itu belum dimasuki zending Eropa, sekalipun sudah ada orang Kristen di sana sejak zaman VOC.

Kemudian sewaktu menjadi seorang misionari Gereja Methodist di Singapura, ia mendengar orang-orang Batak telah  membunuh salah seorang dari keluarganya, yaitu Samuel Munson yang mengadakan ekspedisi ke Tapanuli beberapa puluh tahun yang lalu.  Semangat missionarinya yang menyala telah mendorong dia sekali waktu untuk datang ke tengah-tengah suku Batak itu dan mempertobatkan mereka, dan kota Padang sebagai sasaran pertamanya merupakan langkah awal sebelum memasuki Tapanuli kemudian hari.

Keluarga Munson di depan rumahnya di Padang
Setelah tiba di Padang,  ia membeli sebidang tanah yang di atasnya telah berdiri dua rumah tua dan satu bangunan sekolah. Uang membeli tanah dan bangunan itu ia bawa dari Amerika sebagai persembahan khusus pada waktu perkemahan yang diselenggarakan Konferens Michigan sebelum keberangkatan keluarga Munson ke Indonesia. Mereka tinggal di rumah itu, dan di sanalah ia membuka sekolah bahasa Inggris buat anak-anak Tionghoa, dan membuka kelas-kelas bahasa Inggris privat kepada pedagang-pedagang Belanda.

Beberapa hari kemudian Munson bertemu dengan Tay Hong Siang. Ia pun dibaptiskan. Dengan perantaraan Tay Hong Siang, Munson diperkenalkan kepada seorang Tionghoa yang lain yang amat berpengaruh di kota Padang, dan orang itu adalah paman Tay Hong Siang yang kemudian meninggalkan penyembahan berhala-berhalanya setelah dibaptiskan oleh Pdt. Munson sebagai buah sulung kota itu.

Tanggal 1 Maret 1900, dengan resmi Munson telah memperoleh izin dari pemerintah Belanda untuk pengoperasian sekolah bahasa Inggris itu, dan 53 orang murid telah terdaftar untuk kelas siang dan 15 orang belajar malam, dan 3 murid tinggal bersama keluarga Munson yang belajar malam harinya. Sekolah ini telah menjadi sumber pendapatan keluarga Munson sekaligus untuk menunjang biaya penginjilan.

Di dalam suratnya kepada kantor Adventist Review and Sabbath Herald (yang dimuat dalam volume 77, tanggal 22 Oktober 1900, hlm 685),  Ralph Munson menceritakan masalah-masalah yang dihadapinya antara lain izin kerja yang tidak dapat diperoleh dari pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan agama, agama mayoritas yang amat berpengaruh, dan dana yang amat terbatas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan melayani masyarakat.

Selanjutnya beberapa orang Tionghoa didekati, diadakan kebaktian di rumah Munson pada hari Sabtu dan Minggu. Setahun kemudian Munson telah membaptiskan dua orang kepala keluarga Tionghoa, dan 20 orang lagi sedang belajar.

Di dalam laporannya tanggal 6 Juli 1901 ke Australia, tempat pusat pengawasan gereja untuk wilayah Hindia Belanda, Munson melaporkan 8 orang dewasa telah dibaptiskan dan 3 orang lagi sedang mengikuti kebaktian. Di dalam suratnya kepada E.H. Gates, Ketua Uni Konferens (Union Conference) Australia, ia menceritakan tenang kemajuan pekerjaan di Padang dan ia memohon bantuan dana untuk mencetak risalah dan juga tenaga pendeta dari Australia.

Menyambut surat Munson itu, E.H Gates menyampaikan kabar melalui surat yang menyatakan bahwa 60 poundsterling telah dikirim untuk mencetak risalah dalam bahasa Melayu. Dengan dana itulah Munson mencetak risalah keagamaan.

Dari Padanglah kemudian Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh meluas ke Medan, dan ke pulau Jawa.

............

Nah, kembali ke kaji awal, dari catatan sejarah tadi terlihat bahwa  tidak berjalannya misi zending di Sumatera Barat bukan semata karena penolakan oleh masyarakat setempat saja, tetapi juga karena tidak diberi ruang gerak oleh pemerintah kolonial, terutama dalam hal perizinan. Ini terbukti dengan isi surat dari Pdt. Munson yang menyatakan bahwa ia tidak mendapat izin untuk  mengembangkan agama di Padang. Meskipun demikian, dari biografi Munson juga kita bisa membaca bahwa misi zending tetap berjalan (meski hanya untuk warga Tionghoa) melalui metode pembelajaran di sekolah. Terbaca juga bahwa misi zending tetap saling terhubung satu sama lain, termasuk soal pendanaan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial dalam RR 1854 beserta turunannya -termasuk menjadikan daerah Sumatera Barat sebagai daerah tertutup bagi misi zending- sedikit banyaknya telah ikut berperan dalam 'mengamankan' Ranah Minang dari apa yang dikenal sekarang sebagai kristenisasi. Efek langsung dari kebijakan itu adalah lenyapnya potensi konflik yang bernuansa keagamaan.

Kini, disaat ranah berkecamuk didera soal isu kristenisasi -yang cenderung memecah belah masyarakat- perlukah kita belajar lagi ke masa lampau soal bagaimana membuat peraturan dan kebijakan yang tidak mengusik ketentraman dan ketertiban umum? Atau mesti kita agendakan dulu kunjungan kerja dan studi banding ke perpustakaan Leiden untuk membolak-balik kitab-kitab tua guna dapat memahami arti algemene rust en orde?

(Sumber: filadelfiaministry.wordpress.com; keuskupanpadang.org; sejarah.co; bnkpshalom.wordpress.com; googlebooks: Ragi Carita 1 dan 2 (Th. van den End), Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jan S. Aritonang); zavage.nl; haluanriau.com; wikipedia)

Sabtu, 07 Desember 2013

"Penemu" Pucuak Parancih (1798-1880)

Catatan si Ntonk: Tulisan ini bersumber dari buku Pak Rusli Amran Plakat Panjang (1984). Salah satu dari beberapa karya beliau yang pernah kita singgung dalam postingan terdahulu. Yang susah adalah mencari foto/lukisan orang yang dimaksud Pak Rusli itu. Karena peristiwa paling populer yang menyangkut orang tersebut -yaitu peristiwa penangkapan Tuanku Imam Bonjol- mungkin tidak sepopuler peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Sehingga tidak ada dokumentasi visual tentang hal tersebut, termasuk orang-orang yang terlibat. Ditambah lagi Ranah Minang tidak punya pelukis sekaliber Raden Saleh Syarif Bustamam yang bisa menggambarkan peristiwa penangkapan Tuanku Imam Bonjol seperti lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Halah. Jadi kemana-mana ceritanya. Singkatnya, foto yang dicari akhirnya ketemu juga dan bisa menghiasi laman ini. Oke, selamat menikmati tulisan Pak Rusli Amran dibawah!

Emanuel Francis dengan medali "Singa Belanda"-nya
Siapa yang tak kenal dengan sayur “pucuk parancih”. Sayuran tersebut merupakan salah satu jenis sayuran yang umum ditemukan pada masyarakat Minang. Sayuran tersebut berasal dari pucuk daun ketela pohon. Sungguh unik, jika masyarakat lain hanya mengambil umbinya untuk dimakan tapi bagi masyarakat Minang daunnya pun dapat dijadikan sayur. Mengenai penamaan pucuk parancih, berkenaan dengan nama Francis yang dieja dengan francis atau parancih dalam lidah orang Minang.

Siapakah Francis itu? Emanuel Francis, begitu nama lengkapnya, merupakan Residen (sekarang Gubernur) Sumatera Barat pada tahun 1834. Sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Asisten Residen (Wagub) Sumatera Barat dengan Residennya De Stuers.

Francis sebenarnya orang Inggris tulen yang lahir di India. Dia kemudian menikah dengan orang Belanda. Riwayat hidupnya cukup menarik. Pada usia yang masih muda dia  menjadi seorang pelaut. Kemudian menjadi juru tulis pada kantor dagang Inggris di Banten (1815). Dia pindah haluan dengan mengabdi pada pemerintah Hindia Belanda. Selama di pemerintahan dia sudah beberapa kali ditugaskan ke beberapa daerah seperti Banten, Kalimantan, Palembang, Makassar, Bengkulu, Timor,  Sumatera Barat, Rembang, Madiun dan Manado. Jabatan tertingginya adalah Inspektur Keuangan. Setelah pensiun dia masih diminta untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) selama 12 tahun. Prestasi cukup hebat untuk orang Inggris di pemerintahan Belanda.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch, mengangkat Francis sebagai Residen Sumatera Barat karena pengalamannya. Pada waktu itu Belada dalam kondisi terjepit akibat Perang Paderi dan Perang Diponegoro. Batavia memutuskan cara lunak untuk menaklukan Sumatera Barat dengan mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang merupakan pernyataan Batavia yang mengakui keberadaan pemerintahan dan peradilan adat di Sumatera Barat. Belanda berjanji tidak akan memungut pajak dan memberi gaji kepada para penghulu. Plakat ini dikeluarkan  untuk mengantisipasi serangan kaum paderi yang telah bergabung bersama kaum adat.

Francis begitu percaya terhadap isi plakat Panjang tersebut tanpa mengetahui itu hanya akal-akalan Batavia semata. Selama di Padang, Francis aktif melakukan pendekatan terhadap pemberontak. Dia bahkan berhasil membujuk Tuanku Imam Bonjol untuk menyerah. Bahkan Francis sendiri memberi jaminan bahwa Tuanku Imam tidak akan dibuang dari kampungnya. Namun karena permainan pihak tentara, Tuanku Imam malah dijebak dan dibuang. Francis membujuk Batavia agar Tuanku Imam cukup dibuang ke Batavia saja. Namun oleh Batavia malah dibuang jauh sampai ke utara Sulawesi. Sikap Batavia yang demikian membuat Francis sangat malu. Dia melihat bagaimana Tuanku Imam diperdaya dengan cara yang sangat kotor.

Mengenai sayur pucuk “parancih” tadi, sewaktu menjadi Residen Francis berusaha mencari simpati masyarakat. Dia membawa ubi ketela pohon untuk dibudidayakan di Padang. Namun oleh masyarakat Minang daunnya juga dimanfaatkan sebagai sayuran. Untuk mengingat bahwa tanaman tersebut diusahakan oleh Francis maka masyarakat menyebutnya sayur “prancis” atau “parancih”.

(Sumber:  harmanza.wordpress.com; wikipedia.nl; camerama.demon.nl)

Selasa, 03 Desember 2013

Pasar Kuda (1900-1940)


Sederetan kuda terikat berjajar sambil diikat muncungnya, meskipun tidak dicucuak hidungnya seperti sapi atau kerbau. Di kening para kuda tertempel nomor urut. Sebagai contoh, kuda yang menghadap kamera, di jidatnya tertempel nomor 7. Mungkin dia kudanya James Bond..:)

Sementara di belakang kuda-kuda itu berdiri mematut-matut segerombolan orang berpakaian berbahan kain (belacu?) berwarna terang, bercelana tanggung, dengan kain sarung disampirkan ke bahu atau dililitkan di kepala. Khas jaman kolonial. Agak mengambil jarak nampaknya. Mungkin takut kena sipak balakang para kuda.

Itulah sekelumit gambaran sebuah foto koleksi Tropen Museum yang berjudul "Pasar Kuda di Sungailiman" bertahun antara 1900-1940. Tak jelas betul dimana itu Sungailiman. Apakah mungkin maksudnya Sungai Limau, Pariaman, tentu kita harus bertanya kepada orangtua-orangtua disana apakah benar di sana dulu pernah ada pasar khusus jual beli kuda.

Terlepas dari soal itu,  foto ini menjadi menarik karena saat ini kita rasanya hampir tidak pernah lagi mendengar adanya pasar sejenis ini. Yang tinggal lagi hanya pasar ternak yang menjual sapi, kerbau dan kambing. Sekali-sekali terdengar juga ada bisik-bisik di kalangan terbatas, khususnya para peminat buru babi, bahwa ada juga pasa taranak khusus anjing pemburu. Meskipun terkesan underground karena jual beli anjing dianggap sebagai sesuatu yang kurang elok di mata umum.

Lenyapnya pasar kuda tentunya seiring dengan menurunnya peran kuda dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minang. Setidaknya ada beberapa jenis kuda yang akrab terdengar di telinga orang Minang sejak jaman dulu, Uniknya hal itu tidak ada hubungan sama sekali dengan jenis rasnya. Meskipun dulu Payakumbuh menjadi salah satu sentra peternakan kuda terbesar di Hindia Belanda, orang Minang tetap tidak begitu akrab dengan nama-nama ras kuda. Orang Minang malah membagi jenis kuda berdasarkan fungsinya.

Pertama, kuda pacu. Kuda yang badannya tinggi berdegap, makannya dan kesehatannya terjaga, ras pilihan. Keluarnya hanya sesekali, untuk melepas penat di kandang atau memang untuk bertanding.

Kedua, kuda beban. Kuda yang berfungsi sebagai sarana transportasi. Kalau dalam postingan terdahulu kita pernah mengumpamakan pedati yang ditarik oleh kerbau sebagai truk jadul, maka kudo baban itu ibarat mobil pick-upnya. Kapasitas angkut kecil.

Kudo Baban dari Solok (1900-1940)
Ketiga, kuda bendi. Biasanya adalah mantan kuda pacu yang sudah afkir. Dia masih dimanfaatkan karena tenaganya -yang masih cukup kuat itu- masih bisa dimanfaatkan untuk menarik bendi beserta beberapa orang penumpang diatasnya. Tapi yang kacau kalau si kudo bendi ex kudo pacu ini teringat nostalgia lama ketika berada di pacuan pada saat penumpang sedang sarat. Bisa terjengkang semua lantaran bendinya ngebut.

Keempat, kuda sawah. Inilah kuda yang sudah jatuh harga dirinya. Sehari-hari kerjanya cuma bermain lumpur di sawah. Tidak jelas juga apa memang kuda dulu pernah dipergunakan untuk membajak sawah atau bagaimana, sehingga muncul istilah ini. Yang jelas, istilah kudo sawah mengacu kepada istilah 'orang atau barang yang tak masuk hitungan'.

+ Lai lasuah main bola cako du? (Asik ga maen bolanya tadi?)
- A nan ka lasuah, nan main kudo sawah sansai sen... (Gimana mau asik, yang maen kuda sawah semua...)

Tapi, boleh-lah jadi kudo sawah asal jangan jadi kudo patah. Dijamin langsung jadi dendeng barang tu...:))

(Sumber: Tropen Museum)

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...