Rabu, 22 Oktober 2014

Catatan Seorang Ambtenaar (1932-1941)

Pengantar: Posting berikut berasal dari tulisan Drs. R.C. Kwantes yang pernah bertugas sebagai ambtenaar pada Binnenlands Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri) dalam buku "Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920 - 1940" terbitan Djambatan bekerja sama dengan KITLV tahun 2001.
Ia adalah seorang belanda totok dan ditempatkan langsung di Sumatera Barat begitu lulus dari pendidikan di Belanda, sehingga tanah Hindia adalah tanah yang benar-benar asing baginya. Ia bertugas di Sumatera Barat selama 8 tahun (1932-1941) mulai dari Sawahlunto, Lubuk Sikaping dan Batusangkar.
Tulisan aslinya cukup panjang namun cukup menarik untuk dapat menggambarkan pandangan seorang asing terhadap orang Minang dan pelaksanaan tugas seorang pejabat pemerintah zaman itu, khususnya yang berkaitan dengan upaya mengkompromikan hukum adat dan hukum formal, termasuk hubungan antara yang dijajah dan sang penjajah yang dinilai 'tak lazim'. Kita cuplik sebagian disini.
Untuk hal-hal yang menarik ambo cetak miring.
Selamat membaca!

Sejak pertama kali melaksanakan kegiatan dinas, yaitu melakukan perjalanan menuju tempat dinas yang telah ditentukan, saya sudah belajar bahwa aturan penindang-undangan biasanya ditafsirkan dan dilaksanakan sesuai dengan keadaan. Karena percaya akan kewibawaannya, saya ikuti nasihat Sekretaris Keresidenan Medan untuk menempuh perjalanan melintasi Sumatra dari Medan ke Padang itu dengan taksi. Dari Medan itulah saya bersama istri memulai perjalanan menuju Sumatra Barat. Berarti ini menyimpang dari peraturan Dinas Perjalanan yang menganjurkan penggunaan kereta api dan bus (kendaraan dwiguna yang sebagian untuk mengangkut orang dan sebagian lagi untuk barang). Dalam hal ini saya masih selalu merasa berterima kasih kepada rekan saya Klaassen atas sarannya itu.

Sejak meninggalkan kapal di Belawan kami merasa sedang memulai suatu petualangan besar, yaitu melakukan perjalanan ke tujuan yang tidak dikenal, di mana sudah menanti lingkungan dan tugas yang juga merupakan tanda tanya besar.

Sesampai di Padang ternyata tujuan perjalanan saya adalah Sawah Lunto. Kota itu terletak di dalam lembah berbentuk mangkuk dikelilingi pegunungan. Ia ada berkat tambang batu bara Ombilin tak jauh dari sana. Informasi lebih lanjut hampir tidak saya terima dan Kantor Keresidenan. Waktu saya menghadap Residen Van Heuven sikapnya agak misterius mengenai “masyarakat aneh” yang menghidupi Sawah Lunto. Jadi, kami menunggu dengan tegang apa yang akan terjadi. Tentang ini saya tak kan berpanjang kalam. Keanehan itu ternyata disebabkan karena pimpinan perusahaan tambang itu yakin benar bahwa Sawah Lunto hanya akan merupakan kampung yang dilupakan seandainya tidak ada perusahaan itu. Asisten residen yang menjadi kepala afdeling pemerintahan Solok dan berkedudukan di Sawah Lunto tentunya menyadari bahwa “hidup mati”-nya langsung tergantung pada adanya perusahaan itu. Maka lahirlah suatu modus vivendi (kerja sama) dan dalam modus vivendi itu amtenar BB sambil bersungut-sungut harus menyesuaikan diri.

Jadi suasana pada perkenalan pertama itu sudah tidak begitu cocok untuk memberikan kesadaran pada seorang calon amtenar BB bahwa kehadiran Pemerintahan Dalam Negeri Belanda itu besar artinya dan bahkan mutlak. Masa perkenalan, atau lebih tepat disebut masa perpeloncoan, pada bulan-bulan pertama itu pun tidak mampu meniadakan kesan saya bahwa studi universitas merupakan syarat yang agaknya sedikit berlebihan untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari. Berkas-berkas yang pada minggu-minggu pertama disodorkan kepada saya untuk saya baca tidak dapat membantu saya mencegah rasa kantuk menjelang tengah hari. Hanya karena takut tertangkap basah oleh Kontrolir Poutsma yang seruangan kerja dengan saya, maka saya tidak tidur siang terlalu dini.

Kunjungan-kunjungan singkat bersama Poutsma ke sejumlah nagari bahkan memberikan kesan kepada saya bahwa Pemerintahan BB di tingkat ini dapat ditiadakan. Nagari adalah desa Minangkabau yang sejak zaman dahulu merupakan satuan dasar struktur politik Minangkabau, dan baru pada tahun 1918 dikukuhkan secara Barat sebagai desa praja pribumi. Penarikan pajak pendapatan yang selalu menjadi pokok pembicaraan pada kunjungan semacam itu pada tahun-tahun krisis itu besarnya tidak sampai 50 sen per jiwa. Itu kan dapat diserahkan kepada kepala desa dan para pembantunya, demikian pikir saya.

Tugas pertama yang setelah waktu sebulan harus saya laksanakan sendiri, menurut saya pun kurang berhasil memberikan kesan bahwa saya adalah mata rantai yang bermanfaat dalam hierarki jabatan. Perintahnya berbunyi, dari Senin sampai Sabtu siang saya harus mengawasi pembuatan jalan, 9 km di luar Sawah Lunto. Selama itu saya tidak dibenarkan pulang. Sebuah sekolah desa tidak jauh dan proyek itu menjadi tempat tinggal sementara saya. Tugas saya hanya mengawasi agar jumlah wajib kerja paksa datang dalam jumlah yang cukup. Seorang pengawas Indonesia dari Dinas Pekerjaan Umum dan beberapa orang mandor jalan memimpin segi teknik pekerjaan itu. Pengetahuan dasar tentang pembangunan jalan memang tidak termasuk program studi ahli Indologi. Namun, banyak yang dapat kami pelajari, misalnya pergaulan dengan para pejabat dan penduduk, dan yang memang kurang penting, mandi di sungai Ombilin yang di musim hujan airnya keruh berwarna coklat.

Bulan-bulan berikutnya perasaan saya sebagai “orang yang salah tempat” berangsur-angsur hilang. Penyesuaian diri yang memang diperlukan itu di satu pihak terdorong oleh perubahan dalam ukuran nilai yang kami bawa dari Negeri Belanda, dan dipihak lain terdorong oleh program perpeloncoan, yang diselenggarakan oleh Asisten residen Van Brakel dengan cara yang sangat kreatif yang benar-benar menghadapkan saya pada kenyataan. 

Contoh: Sekitar dua bulan setelah tiba di Sawah Lunto, saya disuruh Asisten residen mengikuti perjalanan Kontrolir Luuning dari Alahan Panjang ke beberapa desa jauh di pegunungan di wilayah onderafdelingnya. Berhari-hari kami menjelajahi rimba berselang-seling lembah kecil yang ada penghuninya, naik turun gunung. Terakhir kami memasuki wilayah Kontrolir Bruins dari Sijunjung, yang akan menjemput kami dengan mobil. Menurut Luuring, beberapa tahun sebelumnya salah seorang pendahulunya melakukan juga perjalanan ini. Ia memasuki desa yang menjadi tujuan akhir perjalanan kami itu dengan langkah terhuyung-huyung dan dengan air mata bercucuran karena derita. Maka kami berjanji kepada diri sendiri, bahwa seratus meter terakhir ini akan kami tempuh dengan langkah tegap dan kepala tegak. 

Turne ke Ophir di Pasaman Barat
Untuk menyadari betapa indah dan tinggi nilai perjalanan ini memang saya membutuhkan waktu cukup lama. Berkat daya semangat Luuring itu, maka dikemudian hari, misalnya ketika saya ditempatkan di onderafdeling Lubuk Sikaping, di mana beberapa nagari berjarak sehari perjalanan, turne dengan jalan kaki itu tidak saya rasakan sebagai kewajiban yang tak enak, melainkan sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Tidak ada buku pedoman bagi mereka yang ingin menjadikan seorang lulusan Indologi sebagai amtenar BB. Setiap kepala mempunyai gagasan sendiri tentang hal itu, atau yang lebih parah lagi tidak memiliki gagasan sama sekali. Van Brake menyukai tugasnya, walau pun caranya oleh orang yang menjalani masa magang padanya kadang kadang sulit dipahami. Sebagai contoh adalah, “permintaan”-nya kepada saya agar semua gelas selalu penuh ketika ia bersama asisten residen yang diperbantukan dari Padang, kontrolir Solok, dan pemilik hutan bermain bridge untuk mengisi waktu pada malam hari di pesanggrahan Singkarak, padahal mandor merasa bahwa hari itu ia sudah cukup banyak bekerja. Namun, keesokan harinya pengalaman itu cukup diimbangi dengan menghadapi tugas pemerintahan yang “sungguh-sungguh”, yaitu untuk mencapai kesepakatan dengan penduduk Nagari Paninggahan di tepi Danau Singkarak, mengenai batas-batas wilayah yang akan dijadikan hutan lindung di lereng gunung bagian hulu desa tersebut. Penetapan wilayah hutan lindung tersebut sangat diperlukan untuk mencegah agar pembabatan hutan tidak mengakibatkan erosi dan akhirnya merusak areal sawah yang terletak di hilir. Namun bagi penduduk, penetapan wilayah hutan lindung itu berarti membatasi kesempatan untuk mencari kayu dan membuka ladang baru. Jadi, di sini ada benturan kepentingan, dan tentang itu pada malam hari harus dibicarakan dengan perangkat desa, yaitu para penghulu, setelah siang harinya dilakukan pemeriksaan setempat.

Ketegangan sangat mencekam di dalam dan di luar balai desa yang dikerumuni ratusan orang pada malam yang setengah gelap itu. Saya dapat merasakan adanya rasa tak senang pada para amtenar BB yang sedang melakukan perundingan. Bagi penduduk desa masalahnya bukan hanya mempertahankan kepentingan materi sesaat, yang harus mereka korbankan agar ada jaminan hidup dalam jangka panjang, yang hampir tidak mereka pahami perlunya. Lagi pula mereka anggap campur tangan pemerintah itu sebagai hal yang tidak sah. Menurut hukum adat, hutan yang bersangkutan termasuk hak ulayat nagari dan menurut keyakinan mereka, pemerintah tidak ada hak untuk membatasi pemanfaatan tanah tersebut. Tetapi pihak lainnya berpegang pada pendapat pemerintah Hindia Belanda, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan orang sebagai hak miliknya, adalah tanah negara. Demikianlah bunyi domein verkiaring tahun 1875. Untunglah pemerintah dan penduduk dapat mencapai titik temu. Mufakat, yaitu musyawarah untuk mencapai kesepakatan, yang merupakan azas memberi dan menerima, membuktikan lagi manfaatnya. Dalam perundingan yang sangat khas bagi masyarakat Mingkabau itu, kedua belah pihak menyadari bahwa keputusan dengan suara terbanyak, dan lebih-lebih keputusan sepihak yang dipaksakan pemerintah tidaklah diinginkan, karena keputusan demikian akan mengandung benih kesulitan baru. Berangsur-angsur saya mulai mengenal pemerintahan bergaya demokrasi versi Minangkabau sebagai sesuatu yang bernilai tinggi. 

Pemerintahan Minangkabau itu didasarkan pada struktur kemasyarakatan yang sangat khas. Sebelumnya perlu saya beritahukan bahwa tidaklah mungkin secara ringkas menggambarkan masyarakat Minangkabau yang cukup rumit susunannya itu serta struktur politik yang terkait dengannya. Bagi mereka yang ingin lebih banyak mengetahuinya tersedia kumpulan pustaka yang cukup luas. Pertama-tama dapat saya sebutkan karya standar dalam bidang hukum adat tulisan Mr. C. van Vollenhoven: Het adatrecht van Nederlandsch-Indië (Leiden, 1918) Jilid I: 246-272. Saya sendiri selalu berpegang pada karya M. Joustra: Minangkabau. Overzicht van land, geschiedenis en yolk, cetakan ke-2, ‘s-Gravenhage 1928. Penulis ini juga menyusun buku Overzicht der literatuur betreffende Minang kabau (Amsterdam, 1924). Ikhtisar pelengkap untuk tahun-tahun 1923-1936 dipersiapkan oleh J. Tideman, diterbitkan oleh Minangkabau-in stituut di Amsterdam (1936). Tahun enam puluhan di Indonesia keluar berbagai publikasi orang Indonesia sendiri, seperti Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi karya Hamka, singkatan dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Jakarta, 1963).

Dalam rapat dengan para penghulu yang menjadi anggota dewan nagari, kontrolir sebagai kepala onderafdeling memiliki suara penentu. Namun dalam hal ini harus dihindari main perintah, kalau soalnya adalah urusan desa atau untuk memperoleh dukungan penduduk dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah. Yang terpenting ialah meyakinkan anggota dewan nagani bahwa tindakan yang harus diambil itu untuk ke pentingan masyarakat desa, atau tindakan itu betul-betul tidak dapat di hindarkan. 

Pembicaraan berjam-jam, perundingan berulang-ulang yang kadang-kadang perlu untuk meyakinkan mereka yang menentang atau masih ragu-ragu, memang diperlukan. Setidak-tidaknya, tidaklah dapat kita melangkah selanjutnya, sebelum pihak-pihak yang terlibat mencapai kesepakatan. Dalam hal ini besar kemungkinannya tujuan yang di maksud tidak akan tercapai, karena akan ada perlawanan tanpa kekerasan.

Contoh bagus tentang apa yang dapat dicapai dengan mufakat adalah yang saya alami di onderafdeling Fort van der Capellen (sekarang Batusangkar). Bersama pengawas pertanian dan para pamongpraja Indonesia yang bersangkutan, kami berunding dengan semua perangkat desa di 50 desa yang ada di onderafdeling itu tentang jadwal waktu yang baru untuk budidaya padi. Lambat laun waktu untuk menyemai, menanam, dan menuai di masing-masing desa menjadi sangat berbeda, sehingga mengakibatkan kerugian besar. Kerugian itu adalah karena burung, tikus, dan bahkan gagal panen. Sepintas lalu urusan ini tampaknya sederhana, karena terlihat kepentingan umum terlihat jelas oleh semua orang. Namun pencarian jalan keluarnya menjadi masalah yang pelik karena ada penyebab utama kesulitan itu. Penduduk ingin agar panen dilakukan sebelum awal bulan puasa. Pada umumnya orang Minangkabau di Dataran Tinggi taat melakukan ibadah puasa dan segala acara keagamaan yang berkaitan dengan itu. Akibatnya, selama bulan Puasa orang hanya melakukan pekerjaan yang paling perlu saja. Menuai sebelum awal bulan Puasa pun berarti tersedianya bekal untuk merayakan akhir puasa yang disebut Lebaran dengan cara yang sesuai. 

Kesulitannya ialah bahwa kalender Islam didasarkan pada peredaran bulan. Olehsebab itu, tahun Islam lebih pendek dan tahun matahari. Kalender internasional didasarkan pada peredaran matahari. Menurut kalender ini pergantian musim terjadi hampir selalu pada waktu yang sama. Dalam tahun matahari — yang menjadi patokan untuk memulai tiap tahapan budidaya padi — tanggal awal bulan Puasa bergeser dan tahun ke tahun, demikian juga waktu untuk panen. Dan lebih penting lagi, juga waktu untuk menyemai dan menanamkan bibit padi di sawah turut bergeser. 

Hal itu bisa dilakukan beberapa tahun lamanya tanpa kesulitan apa-apa karena musim hujan dan musim kemarau di daerah itu tidak begitu berbeda dibandingkan dengan di wilayah timur Indonesia. Namun, lama-kelamaan tidak dapat dihindari sawah tadah hujan tidak lagi ditanami padi tepat pada waktunya, dan akhirnya bertambah besar perbedaan waktu tanam dan waktu panen antara sawah tadah hujan dan sawah yang diairi sungai, yang tidak begitu dipengaruhi oleh kurangnya air. 

Akibatnya tikus dan burung lebih lama dapat makan padi yang sudah masak dan siap panen. Jumlah satwa ini meningkat cepat akibat keadaan makanan yang men guntungkan, dan kerugian pada tanaman pun ikut meningkat.

Kami berhasil meyakinkan perangkat desa agar mereka turut menggalakkan jadwal tanam yang menjamin keseragamannya. Beberapa bulan kemudian kami dapat menikmati pemandangan sawah yang hijau merata dan menjanjikan panen raya. Ya, tidak ada kata yang lebih tepat dari “menikmati” ini.

Kita kembali pada masalah sistem pemerintahan. Tahun 1938 pemerintah Hindia Belanda melangkah lebih jauh dalam mendemokratisasikan pemerintahan di Minangkabau dengan membentuk kelompok masyarakat dengan nama Minangkabau juga. Lalu pemerintah menyerahkan urusan pelayanan di bidang kesehatan masyarakat, pendidikan, penyuluhan pertanian, peternakan, dan pekerjaan umum kepada kelompok tersebut. 

Tindakan membentuk kelompok itu berarti memberikan hak bicara dan hak tanggungjawab yang lebih besar kepada penduduk mengenai urusan yang menjadi kepentingan utamanya. 

Sistem pemerintahan di Minangkabau itu bisa jadi menimbulkan situasi yang oleh orang awam dulu maupun sekarang sulit dibayangkan sebagai hubungan yang lazim antara yang menjajah dan yang dijajah. Itu sebabnya dapat terjadi hal berikut. 

Setelah melakukan kunjungan selama dua hari di nagari Tanjung Bonai, saya menerima surat dari kepala desa, seorang mantan guru dan anggota Dewan Minangkabau, yang secara panjang lebar membicarakan kunjungan saya. Dengan suratnya yang sekarang masih saya simpan itu jelas ia bermaksud memberikan penjelasan agar saya memperoleh gambaran yang lebih baik tentang cara berpikir dan bertindak rekan-rekan sedesanya

Dalam pertemuan malam hari dengan para penghulu untuk membicarakan situasi bahan makanan, ia memperoleh kesan bahwa saya meragukan kejujuran para informan saya. Mereka berbicara tentang kekurangan pangan, padahal setelah ditanyakan lebih jauh tampak jelas, bahwa memang lumbung lumbung padi kosong, namun dan hasil hutan dan palawija orang masih dapat membeli beras di pasar. 

Saya seharusnya mengerti, demikian kepala nagari, bahwa orang kampung jarang mengatakan 2 x 2 = 4. Bentuk pendekatan tak langsung seperti 5 - 1 =4, atau 3 + 1 =4 lebih cocok bagi mereka. Bagi mereka, tiadanya padi dalam lumbung mereka sendiri berarti kekurangan.

Contoh kedua mengenai adanya sikap bebas dalam hubungan antara amtenar BB dan wakil penduduk yang baru tampil belakangan. Bagian penting dan tugas pemerintahan ialah memberikan penyuluhan kepada para kepala mengenai berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Cara yang paling baik untuk melakukan penyuluhan ini ialah dengan mengobrol pada malam hari, ketika kita mengadakan turne selama beberapa hari. 

Ketika tentara Jepang mulai bergerak ke Asia Tenggara, saya anggap ada gunanya memberikan gambaran umum mengenai situasi di kawasan itu kepada kelompok-kelompok kecil kepala desa, dengan bantuan atlas karangan Bos. Dalam salah satu percakapan demikian itu saya bertanya kepada mereka bagaimana sikap orang Minangkabau, seandainya Jepang menduduki negeri ini Karena hadirnya seorang amtenar BB di situ, tentu saja kemungkinan terjadinya perubahan rezim belum apa-apa sudah ditolak. Namun, salah seorang dan hadirin mengungkapkan pikiran yang lebih dalam mengenai perubahan-perubahan yang mungkin terjadi, seperti terungkap dalam kata-kata: “dunia berputar, sekali di atas, sekali di bawah”. Dunia ini berputar, karenanya sekali orang berada di atas, kali lain ia berada di bawah. Orang yang tanggap cukup mengerti apa yang di maksud. Tidak ada jalan lain bagi saya selain menerima ramalan itu sebagai pemberitahuan.

Dua contoh di atas cukup memberikan alasan kepada kita untuk beranggapan bahwa penulis artikel tentang ‘orang Minangkabau’ dalam Encyclopaedie van Ned-Indië (cetakan ke-2, 1918, Jil. II.: 742) benar ketika ia menyatakan: “Watak orang Minangkabau lebih cenderung tidak menyenangkan daripada menyenangkan di mata seorang pengamat Eropa yang menilainya menurut ukuran Eropa.

Pada umumnya bersifat angkuh dan curiga, sering juga suka mencampuri urusan orang lain, bebas tindak-tanduknya, juga terhadap atasan, bahkan terhadap orang yang berpengaruh. 

Menurut keyakinan dan pengalaman saya, penilaian penulis yang kritis itu tidak tepat. Letak kekeliruannya dalam kata-kata yang dicetak miring itu. Baik penulis tersebut maupun banyak orang Belanda keliru menilai orang Indonesia. 

Kekeliruannya ialah karena mereka tidak melihat orang Indonesia sebagai orang yang memiliki sejarah yang sama sekali berbeda, yang pernah hidup dalam situasi yang sama sekali berbeda, yang memiliki keyakinan keagamaan dan kemasyarakatan yang sama sekali lain, karena itu memiliki pola tingkah laku yang sama sekali lain.

Di onderafdeling Fort van der Capellen (yang berpenduduk sekitar 60.000 orang) untuk menentukan daftar pajak dan daftar wajib kerja rodi berarti saya harus mengunjungi 50 desa setiap tahun. Kunjungan itu adalah untuk menangani keberatan terhadap ketetapan pajak pendapatan (yang dinamakan ketetapan kecil) yang telah diberikan olleh pemerintah desa bersama mantri pajak dan untuk mengukuhkan ketetapan itu secara definitif. 

Sejak dahulu penarikan pajak di Minangkabau merupakan masalah yang harus ditangani dengan sangat hati-hati. Tahun 1908 diadakannya pajak, antara lain pajak pendapatan, telah mengakibatkan pemberontakan hebat. Di setiap negeri ada keengganan semua orang untuk menyerahkan sebagian pendapatannya kepada negara, tapi di Sumatra Barat ada faktor lain yang berperan. 

Tahun 1833 suasana dalam Perang Padri tidak menguntungkan bagi pemerintah Belanda. Perang Padri ialah konflik dengan gerakan Islam ortodoks yang menghendaki berlakunya hukum Islam sebagai satu-satunya pedoman untuk tertib hukum di Minangkabau. Untuk memenangkan lawan kaum Padri di Minang kabau, Komisaris Jenderal Van den Bosch mengeluarkan keputusan yang jauh jangkauannya, yang tetap dapat dipakai sebagai acuan oleh penduduk di tahun-tahun sesudahnya. 

Dalam keputusan yang disebut Plakkaat Pandjang itu ditentukan bahwa penduduk Sumatra Barat diizinkan memiliki sepenuhnya hak politik dan hak ekonomi, dan pemerintah tidak akan menarik pajak dan mereka. Dalam praktik pemerintahan, di tahun tiga puluhan Plakat Panjang sudah tidak diikuti lagi. Rupanya orang Minangkabau sudah pasrah. Namun, tiap usaha untuk memperbaiki cara penarikan pajak selalu menimbulkan kecurigaan pada mereka.

Bersamaan dengan diambilnya ketetapan kecil ditentukan juga siapa yang di tahun mendatang diwajibkan kerja rodi. Melakukan wajib kerja rodi guna memelihara jalan dan jembatan sangat tidak disukai. 

Selain itu saya sudah belajar untuk tidak terlalu menanggapi masalah wajib kerja rodi ini. Kaum pria yang sudah cukup umur untuk dipekerjakan pun mencoba menghindari wajib kerja rodi itu, sedangkan pihak pemerintah harus mencari pemecahan yang tepat terhadap usaha tersebut. Pada waktu menunggu penyusunan daftar wajib kerja rodi itu sering timbul suasana tegang. Jika cuaca baik terjadi adu argumentasi di alam terbuka, ditonton oleh warga desa yang terlalu ingin tahu. Mereka yang berdalih tidak sehat sebagai alasan untuk minta dibebaskan, diteruskan ke dokter. Biasanya mereka itu didampingi oleh kepala keluarganya. 

Dilihat sepintas lalu memang tampak keluhannya beralasan, tetapi orang awam sulit menilai keluhannya itu. Mereka yang berpura-pura kadang kadang dapat dikenali dan sikapnya yang ragu, atau dan rasa geli yang tersembunyi pada penonton. Setelah mendapat beberapa pertanyaan, kebanyakan mereka memperoleh jawaban “masih berminyak” (artinya, kulitnya masih mengkilat, tanda masih sehat) sebagai ungkapan singkat, bahwa mereka masih dapat bekerja.

Penarikan pajak pendapatan — yang di tahun-tahun krisis sangat tersendat jalannya — menjadi beban yang sangat berat terutama bagi kepala desa dan pembantunya, serta bagi pamong praja. Saya selalu berusaha sesedikit mungkin secara langsung berurusan dengan penarikan pajak, terutama agar tidak merusak hubungan dengan para penghulu dan penduduk, yang frekuensinya sudah jarang. 

Namun tidak dapat di hindari, bahwa dalam kasus-kasus yang sulit kita harus membantu pamongpraja. Bantuan bisa juga diperlukan bila angka-angka tunggakan melonjak, hingga ada kemungkinan akan datang teguran dari “Padang”.

Di samping tugas tersebut di atas masih ada tugas pemerintahan lain yang saya anggap tidak menarik. Sekalipun demikian, tugas itu perlu dan memiliki segi-segi positif. Sebagai contoh, kontrolir menjadi kepala pemerintahan setempat dan kepala onderafdeling adalah juga magistrat. Dalam fungsi itu ia adalah kepala polisi di wilayahnya, ia adalah pejabat penyidik dan pejabat penuntut, dan ia adalah juga pegawai kehakiman dalam suatu bidang perundang-undangan pidana terbatas. Kalau saya tinjau kembali rangkaian jabatan tersebut, timbul rasa bersalah tertentu terhadap para inspektur polisi yang harus saya bimbing selama masa dinas saya sebagai kontrolir. 

Mereka tentunya merasa diabaikan. Saya jarang memeriksa bagaimana mereka melaksanakan tugas nya, tapi mereka pun meringankan tugas saya, karena mereka dan detasemen polisi desa yang mereka pimpin melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. 

Di onderafdeling saya yang pertama, Lubuk Sikaping (yang luasnya 3.000 km2 dengan penduduk sekitar 60.000 orang) dalam hal ini tidak ada masalah. Kekuatan polisi terdiri atas 3 orang, berupa agen polisi pemerintah yang bersenjata kelewang. Mereka itu bukan polisi yang sesungguhnya, namun pengalaman menunjukkan kepada saya bahwa mereka itu penuh pengabdian dan berani. Dalam kasus-kasus yang jarang terjadi, bila diperlukan polisi desa dan wilayah tetangga Ophir dapat diminta bantuannya. Pemeliharaan ketertiban sehari-hari ternyata ditangani dengan baik oleh kepala desa dan pembantunya.

Kalau semata-mata berdasar pengalaman saya di beberapa onderafdeling Dataran Tinggi Padang, menurut ingatan saya kriminalitas yang bersifat kejahatan berat jarang terjadi. Ingatan saya itu diperkuat oleh angka-angka yang tersebut dalam memories van bestuursover dracht (naskah serah terima pemerintahan). Menurut penilaian saya, hal itu pertama-tama disebabkan karena adanya kesadaran akan norma- norma di daerah Minangkabau tersebut. 

Di wilayah itu kekuasaan adat masih kuat dan dihormati. Di samping itu orang secara serius masih mematuhi aturan tingkah laku tertentu yang berasaskan hukum Islam.

Walaupun saya memberikan sanjungan, perlu saya tambahkan, bahwa mereka yang melakukan kejahatan ringan atau pelanggaran kecil, tidak sulit untuk sementara menghilang ke keresidenan-keresidenan tetangga. Salah satu tugas magistrat, seperti telah disinggung di muka, ialah bertindak sebagai hakim. Dalam tugas ini ia dibantu oleh jaksa, yaitu pejabat penuntut umum dalam sistem peradilan untuk dan mengenai orang Indonesia. 

Di samping itu, sidang-sidang pengadilan magistrat selalu dihadiri oleh seorang penasihat Islam yang tugasnya secara umum terbatas, yaitu mengambil sumpah para saksi. Pengadilan magistrat menangani semua kasus pidana tahap awal dan akhir terhadap orang Indonesia dan Timur asing (tidak termasuk orang Tionghoa dan Jepang) khusus untuk pelanggaran yang hukuman maksimumnya ditentukan paling tinggi tiga bulan kurungan atau denda f 500,00. 

Selanjutnya, yang menjadi wewenangnya ialah menangani sejumlah kejahatan harta benda ringan (pencurian, penggelapan, penipuan, penadahan barang curian) kalau nilai barang yang diperkarakan tidak lebih dan f 25,00. Pada umumnya sidang-sidang mingguan pengadilan magistrat menyita banyak waktu, dan sedikit membosankan. Hal yang tetap ada dalam agenda ialah “mengadili” mereka yang beberapa kali lalai dalam menunaikan wajib kerja rodi. Hukuman baku dalam kasus itu adalah denda f 1,50 atau hukuman kurungan tiga hari. Sesekali masalah itu dapat juga mendatangkan kesulitan dalam praktik. 

Saya ingat misalnya. bahwa di Nagari Sungayang kelalaian dalam menunaikan wajib kerja rodi begitu melonjak, hingga saya menganggap perlu mengadakan pengadilan magistrat khusus di nagari itu. Tetapi, tidaklah mungkin menampung terhukum sebanyak 30 sampai 40 orang yang memilih hukuman kurungan di penjara Fort van der Capellen yang kecil itu. Karena itu, dengan sedikit perasaan khawatir akan kelanjutannya, saya putuskan untuk mengijinkan para terhukum itu tiap hari pukul 7 datang melapor kan diri ke penjara, lalu seperti biasa mereka dipekerjakan di luar penjara, dan sore harinya pulang ke nagari masing-masing. 

Keringanan yang diberikan secara terpaksa ini disambut para terpidana dengan datang secara tertib. Karena terpikir oleh saya bahwa saya telah bertindak tidak sepenuhnya sesuai dengan peraturan, maka tidak berani saya mengulangi percobaan tersebut.

Semua pekenjaan yang telah menjadi rutin pada dasarnya tidak menarik. Walau demikian sidang-sidang pengadilan magistrat bagi seorang calon amtenar BB bisa menjadi hal yang positif, yaitu memberikan kesempatan untuk memahirkan diri dalam bahasa Melayu, dalam hal ini bahasa Minangkabau, dan kadang-kadang memberikan juga peluang untuk menjenguk ke balik tabir kehidupan sehari-hari orang Minangkabau.

Termasuk juga tugas pemerintahan yang kurang menarik — setidak tidaknya menurut saya — ialah penanganan keuangan nagari, khususnya dalam menyetujui anggaran desa yang setiap tahun harus disusun. 

Dilihat dengan kacamata Barat, mempercayakan pemutusan perkara kepada seorang amtenar BB itu tidak tepat. Dan hampir sama dengan nya adalah mempercayakan pemeliharaan dan perluasan jaringan jalan beserta embel-embelnya kepada kepala onderafdeling. 

Saya ingin mengakhiri cerita yang dipilih secara acak dan rangkaian tugas seorang amtenan BB di Sumatra Barat ini dengan menyampaikan beberapa pengalaman di luar pekerjaan rutin di onderafdeling Fort van der Capellen. 

Menerima Kunjungan GubJend Tjarda 
Dalam dua pengalaman yang pertama saya harus bertindak sebagai penerima tamu, yaitu waktu Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer datang berkunjung, dan waktu pacuan kuda diadakan di Fort van der Capellen, yang dikunjungi peminat dan seluruh keresidenan. Kedua peristiwa itu mirip satu sama lain, yaitu kedua nya membutuhkan persiapan yang hiruk-pikuk, yang tidak sepadan dengan lamanya perayaan itu sendiri. Selanjutnya peristiwa itu pun menjadi beban keuangan seorang amtenar muda, yang terbatas daya dukung nya karena ia tidak menerima tunjangan untuk menerima tamu. 

Tapi memang kompensasinya adalah mendapat kehormatan. Tentu saja tugas itu tidak hanya menjadi tanggungan kepala onderafdeling. Bagian terbesar tanggungjawab itu dipikul oleh pamong praja dan, tidak sangsi lagi, juga calon kontrolir yang ditempatkan di Fort van der Capellen.

Ada perbedaan yang tegas antara kedua peristiwa itu. Kunjungan gubernur jenderal itu bersifat resmi, bahkan khidmat; semua orang takut setengah mati kalau-kalau melakukan kesalahan. Kesalahan memang terjadi: hari itu suara saya hilang, dan celana Tuan Tjarda yang bersih tanpa noda terkena percikan susu coklat. Namun, bagian resmi acara itu berlangsung megah. 

Ratusan kepala dengan pakaian adat mendengankan wejangan Wali Negara di lapangan depan rumah kontrolir yang dihias dengan gaya Minangkabau. Sebaliknya, pacuan kuda itu betul-betul merupakan pesta rakyat. Tetapi keluarga kontrolir harus menenima serombongan tamu Belanda yang datang minum-minum dan makan nasi dengan bermacam lauknya.

Pengalaman ketiga lebih seru, dan agak seram. Kisah dimulai dengan datangnya laporan bahwa seorang penumpang bus dari Jambi yang turun dan menginap di losmen dekat pasar Fort van der Capellen ternyata mendenita cacar. Biasanya saya tidak perlu mencampuri urusan kesehatan masyarakat secara langsung, karena ada dokter pemenintah orang Indonesia yang memimpin sebuah rumah sakit kecil. Tapi kini saya terpaksa cepat mengambil sejumlah tindakan untuk menemukan penumpang bus lainnya yang masih berada di onderafdeling saya untuk diisolasi, dan bila perlu mengingatkan rekan-rekan saya dan bekerja sama dengan dinas kesehatan masyarakat mengadakan vaksinasi ulang terhadap seluruh penduduk. Untung yang tertular hanya beberapa orang. Nasib para penderita itu sangat mengibakan. 

Tentang masa itu masih terbayang oleh saya satu peristiwa yang pedih, yaitu ketika saya mengikuti dokter menjenguk seorang penderita cacar. Lelaki itu terbaring di dalam bangunan samping sebuah rumah adat yang setengah terbuka. Dan jarak sekitar 10 meter dokter minta penderita itu mengangkat lengannya supaya ia (dokter) dapat mengetahui tahap penyakitnya. Dengan itu selesai konsultasi dokter. Seingat saya penderita itu sempat sembuh dan penyakitnya, mungkin berkat perawatan yang balk dan sanak saudara nya.

Dan seluruh tugas pemerintahan, bagi saya — dan bagi rekan-rekan saya umumnya tak kan jauh berbeda — yang paling memberikan kepuasan ialah dalam meningkatkan kesejahteraan. 

Tapi baru sekarang ini di tahun 1975 saya sadari benar bahwa di tahun-tahun 1933-1941 ketika saya terlibat dalam tugas itu sedikit sekali kemungkinan yang tersedia. Kebijakan pemerintah waktu itu sangat statis. Penyebabnya tak sangsi lagi harus dicari pertama-tama dalam krisis ekonomi yang juga menimpa Hindia Belanda. 

Berlibur ke daerah lain di Hindia Belanda ketika kami tinggal di Minangkabau waktu itu, merupakan perkecualian besar. Sehari sebulan bepergian ke ibu kota afdeling untuk keperluan dinas, dan sesekali diperpanjang menjadi dua hari berkat kebaikan hati atasan, itu lah puncak hiburan di onderafdeling Lubuk Sikaping dan Ophir yang termasuk wilayah perbatasan keresidenan itu. Jika seorang istri kontrolir suatu kali mendapat kesempatan untuk turut turne, maka itu merupa kan peristiwa yang disukai juga oleh penduduk setempat. 

Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjamu para tamu. Tentu saja dapat dipertanyakan di sini sejauh mana sikap itu dapat dianggap sebagai pernyataan simpati yang tulus. Ataukah keramahan itu harus dipandang sebagai kewajiban yang harus dipenuhi menurut tradisi? Bagaimanakah umumnya penilaian penduduk Minangkabau atas amtenar BB?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu merupakan tugas yang sulit. Jawabannya tidak mungkin lebih dan penilaian yang sangat subyektif. Wilayah onderafdeling dapat terdiri dan 900 km dengan penduduk 160.000 orang (Fort van der Capelen) sampai 3.000 km dengan pen duduk 60.000 orang (Lubuk Sikaping). Bagi pamong praja dan penduduk Indonesia, kontrolir sebagai kepala onderafdeling pertama-tama adalah wakil kekuasaan Belanda. Dengan kata-kata lain yang kasar: eksponen penjajahan negara asing. Namun dalam fungsinya itu ia pun pelindung bagi banyak orang. Padanya orang mencari dukungan, waktu orang menghadapi kesulitan. Ia pun tempat bertanya. Ia turut merasa kan kesukaran orang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan ia mengerti banyak aspek lain dan masyarakat Indonesia. Namun saya pun membayangkan, bahwa ia juga disorot orang terutama sebagai pihak yang menuntut uang pajak, dan uang itu menghilang tak tentu rimbanya ke dalam kas besar pemerintah. Dan bila ia mengendarai mobilnya di jalan, dan tanpa sengaja mengepulkan awan debu kepada para pejalan kaki, tidak akan orang berterima kasih kepadanya.

Bimbingan yang kritis dan konstruktif dan atasan langsung, yaitu asisten residen, dapat membantu mencegahnya menilai diri sendiri secara berlebihan. Mereka yang di masa jabatan kontrolirnya memperoleh atasan semacam itu dapat menganggap dirinya beruntung.

Westenenk, mantan amtenar BB yang sekitar tahun 1927 diperbantukan pada Kementenian Daerah Jajahan sebagai penasihat urusan pelajar, membekali seorang kawan saya dan saya dengan pedoman dasar, yaitu bahwa sebagai seorang penguasa yang baik kami harus mampu mengkombinasikan ketegasan dengan keadilan. 

Pengalaman di Minangkabau mengajarkan kepada saya untuk menambahkan satu pedoman lagi, yaitu bahwa baik si penguasa maupun yang dikuasai adalah manusia biasa, bisa baik bisa jahat. Namun kesamaan itu tidak dapat meniadakan kenyataan, bahwa kedua belah pihak tetap asing satu sama lain. 

Bulan Juni 1941 saya dipindahkan ke Batavia. Dengan demikian berakhirlah kurun waktu selama 8 tahun yang tidak dapat dihapus dan kenangan kami. Tentang Minangkabau, sampai hari ini bagi kami masih berlaku pepatah: Jauh di mata dekat di hati.


(Sumber: ajochalidi.blogspot.com; nabilfoundation.org;)

2 komentar:

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...