Rabu, 22 Maret 2017

Taman Pantai Padang (1880 - 1900)

Beberapa tahun yang lalu pantai Padang masih dikenal sebagai lokasi yang tidak ramah keluarga. Betapa tidak, para ABG, anak alay maupun Abege tua dengan leluasa memadu kasih di sana tanpa peduli orang sekitarnya. Ditambah lagi darah dagang masyarakat sekitar pantai yang segera menggelegak melihat peluang pasar yang tersedia untuk segera menyediakan fasilitas yang dibutuhkan para pencinta itu. Muncullah inovasi mereka berupa tenda ceper (payung besar yang bikin kepala orang yang duduk dibawahnya tidak kelihatan) atau kursi pilot (kursi yang sandarannya tinggi sekali dan menghadap kelaut sehingga kita nggak tau ada orang dibaliknya apa tidak). Maksudnya jelas agar para pelanggan betah berlama-lama berduaan dan dagangan yang berupa makanan dan minuman jadi laku. Belum lagi tukang parkir yang merangkap profesi sebagai pemalak sehingga lengkaplah ketidakramahan pantai Padang itu terutama bagi pengunjung yang membawa anak-anak. Terutama risih menyaksikan aktivitas para lover itu.

Namun kini gambaran itu berangsur-angsur berubah. Sejak Pak Walikota Mahyeldi berhasil merelokasi warung-warung yang sebelumnya ada di sepanjang pantai ke seberang jalannya, menata pantai dengan taman-taman dan trotoar yang lebar, membuatkan lokasi parkir yang representatif, serta membuatkan tugu-tugu sebagai point of interest, pantai Padang tiba-tiba menjadi populer lagi. Jogging, bermain sepatu roda, bersepeda atau sekedar melepas penat bersama sahabat atau keluarga adalah pemandangan pantai Padang hari ini.  Rami (ramai), kata orang Padang. Padahal penataannya belum selesai :)

Tapi sebenarnya lebih seabad lalu pantai Padang juga sudah dijadikan objek wisata keluarga oleh pemerintah kolonial. Dan modelnya meski terbilang sederhana, tapi cukup asri dan bikin betah sinyo dan noni main-main di sana.

Di atas adalah koleksi Tropen Museum, dipotret tahun 1880. Pak Meneer dengan baju putih berkanji-nya lagi santai di pinggir laut. Ada pohon-pohonan dan jalan setapak yang sengaja dibikin berkelok-kelok. Pohonnya terlihat seperti cemara laut yang biasa kita temui di pinggir pantai sampai saat ini.

Sementara foto kedua datang dari tahun 1895, juga koleksi Tropen Museum. Di dalam foto ini terlihat jalan setapaknya sudah bagus, diperkeras dan dihias tanaman bunga-bunga kecil di kiri-kanannya. Tamannya didisain berbukit-bukit kecil dan ditanami rumput-rumputan agar nyaman untuk meluruskan kaki. Di foto ada tiga orang yang terlihat duduk-duduk santai. Mungkin juga sambil ngeteh atau ngopi.  

Sudah terbayang nyamannya duduk-duduk di siang yang terik di bawah lindungan pepohonan sambil dihembus sepoi-sepoi angin Samudera Hindia.

Foto terakhir dijepret tahun 1900. Kali ini koleksi KITLV. Lokasinya masih sama sepertinya. Terlihat dari struktur konstruksi jalannya, lengkap dengan bunga-bunga kecil dikiri kanan jalannya, seperti foto sebelumnya. Juga bukit kecilnya.

Tapi di foto terakhir ini kita lihat ada sebuah gazebo dan disebelahnya ada bangku panjang.  Pada saat foto ini dijepret diduduki oleh seseorang. Sementara di latar depan terlihat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak sedang menikmati quality time mereka di taman tepi pantai.

Hmmm...manakah yang lebih nyaman menurut dunsanak antara taman pantai jaman dulu apa jaman sekarang?

15 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Saran buat admin, ketika blog ini dibuka dengan browser hp gambar nya gak keluar harus di ubah ke mode web baru muncul gambarnya, kalau bisa admin ganti tema/template yg mobile friendly supaya infonya lebih bisa dinikmati, tks pak admin

    Salam

    Jeffri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  3. Mungkin bukan hanyo pantai padang sajo, dimana mana sudah diracuni budaya barat..

    Kalau di ijinkan, izin Copas.. Salam kenal Da..

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. mantap salam kenal da dari Payakumbuh

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...