Selasa, 29 November 2011
Datuk dari Jepang? (1942-1944)
Sepintas foto disamping memperlihatkan foto seorang Angku Datuak dengan pakaian kebesarannya : saluak, kain bugis, baju dan celana dengan sulaman benang emas, lengkap dengan terompah datuak-nya.
Tapi kalau diamati lebih detail ada sedikit yang berbeda dari angku datuak kita ini. Mata sipit, rambut agak gundul, berkumis, muka bulat, kacamata bulat dan perut juga bulat. Tongkrongannya kayak tentara jepang saja. Tunggu dulu, tentara jepang?
Ini ada foto dua serdadu jepang diapit oleh anak-anak gadis minang berpakaian adat.Meskipun pada saat itu belum ada festival uda-uni, kalaulah salah satu gadis-gadis ini mengikuti festival itu sekarang, dijamin minimal juara favorit dapat-lah. Laahh, jadi ngelantur...
Back to basic. Sepertinya tentara jepang yang ditengah mukanya mirip dengan foto datuak tadi ya? Ya kumisnya, ya kacamatanya, ya bulat-bulat tongkrongannya. Ternyata bukan hanya mirip, tapi memang itu foto orang yang sama. Namanya adalah Kenzo Yano. Tapi dia bukan tentara, meskipun pakaiannya kayak tentara --pakai samurai pula. Dia adalah Gubernur Sipil Sumatera Barat sewaktu penjajahan Jepang. Shu-Chokan, bahasa Jepangnya. Mantan Gubernur Prefektur Toyama di Jepang sana. Ia mendarat di Padang pada tanggal 9 Agustus 1942 bersama 68 orang pejabat sipil lainnya.
Gubernur sipil? Ya, waktu penjajahan Jepang di Sumatera Barat ada 2 penguasa. Penguasa militer dibawah pimpinan Jenderal Tanabe berkedudukan di Bukittinggi. Sedangkan Gubernur Sipil ya pak Yano tadi, berkedudukan di Padang. Untuk memperlihatkan betapa pentingnya posisinya, coba perhatikan foto disamping ini. Deretan pejabat penguasa Jepang sedang berpose. Di barisan depan, ditengah-tengah adalah Jenderal yang sangat terkenal yaitu Penguasa Wilayah Selatan, Field Marshall Hisaichi Terauchi yang berkedudukan di Singapura. Disebelah kanan Terauchi adalah Jenderal Tanabe, Panglima Divisi ke-25 yang berkedudukan di Bukittinggi. Di sebelah kiri Terauchi tak lain tak bukan adalah Gubernur Yano. Dari posisi duduknya sudah kelihatan, bukan?
Mungkin karena basic-nya orang sipil maka Gubernur Yano melakukan pendekatan lebih manusiawi kepada rakyat Sumatera Barat dibanding penguasa militer. Dialah yang berprinsip untuk 'merebut hati dan perasaan rakyat' dalam menghadapi sekutu. Dia menghargai kebudayaan Minang, sehingga tak heran dia berpose dengan pakaian datuak tadi. Konon dia sangat menyenangi legenda rakyat Minang yang menyatakan asal-usul orang Minangkabau dari 3 orang bersaudara yang turun dari Gunung Merapi. Seorang menjadi raja di negeri Japang (Jepang), seorang menjadi raja di negeri Rum (Romawi) --yaitu Iskandar Zulkarnain, dan seorang lagi menjadi raja Minangkabau. Dengan legenda ini Gubernur Yano berusaha merebut hati rakyat Minangkabau bahwa sebenarnya 'kitorang basudara'.
Pendekatan yang relatif lunak seperti ini sering membuat penguasa militer gerah. Tapi Pak Gubernur ini jalan terus. Selanjutnya dia mengusulkan kepada penguasa Jepang untuk membentuk suatu laskar sukarela yang isinya orang Indonesia semua. Maksudnya tentu untuk mengambil hati. Laskar inilah nanti yang dikenal diseantero nusantara sebagai 'giyugun' atau Laskar Rakyat. Tak tanggung-tanggung, Gubernur Yano sampai terbang ke Jakarta dan berdiskusi dengan para founding fathers republik ini. Di foto samping terlihat ia bersama Mr. Ali Sosroamidjojo, Mr. M. Yamin, H. Agus Salim, Bung Hatta dan Bung Karno. Coba bayangkan bagaimana hangatnya diskusi yang terjadi kalau pesertanya adalah bapak-bapak itu!
Namun demikian, ternyata militer lebih kuat. Yano dianggap tidak sejalan karena lebih condong kepada mendorong semangat kemerdekaan anak negeri. Gubernur Yano akhirnya meletakkan jabatan pada Maret 1944 dan digantikan oleh Hattori Naoaki. Sebagian orang berpendapat bahwa ia dipaksa untuk mundur. Jawabnya tentu ada pada diri Sang Mantan sendiri...
(Sumber : hermes-ir.lib.hit-u.ac.jp --Akira Oki, Social Change in West Sumatera Village 1908-1945; wikipedia; googlebooks -- Audrey R. Kahin,Rebellion to Integration )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)
Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...
-
Suatu hari di awal Ramadhan lalu, ambo tercenung di depan tumpukan buku di toko buku Gramedia Palembang. Di tangan ambo ada sebuah buku b...
-
Dalam posting-posting terdahulu seringkali kita menyebut Sumatera Barat dengan istilah yang dipakai dalam adminstrasi pemerintahan kolon...
-
Dunsanak semua, Karena jadwal yang padat maka minggu ini kegiatan penterjemahan buku Van Batavia Naar Atjeh terpaksa tertunda dulu. Namun u...
Salam dari Kyoto,
BalasHapusWah kelihatannya yang punya blog bongkar bongkar arsip untuk menulis postingan ini ya ?
Menambahkan info tentang Gyu Gun Ko En Kai, Kenzo Yano menunjuk 3 orang tokoh sebagai penanggung jawab laskar rakyat ini, yaitu : Ahmad Dt. Simarajo, Chatib Sulaiman dan H. Mahmud Yunus.
Bila kita perhatikan ketiga tokoh tersebut adalah representasi dari Ninik Mamak, Cendekiawan, dan Ulama. Penunjukan mereka bertiga sebagai penanggung jawab jelas menunjukkan bahwa pak Kenzo Yano ini mengerti apa yg dinamakan Tali Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan dalam adat Minang, sehingga Gyu Gun tidak kesulitan merekrut pemuda pemuda Miangkabau. Hampir semua tokoh pergerakan pada saat itu bergabung kedalam Gyu Gun, termasuk tokoh wanita seperti Rasuna Said dan Rahmah el-Yunusiah.
Peranan Gyu Gun dalam pergerakan di Minangkabau menarik juga. Dengan alasan membela ranah minang (yang pada dasarnya adalah membela Jepang), Jepang merekrut dan melatih para pemuda dalam Gyu Gun untuk dijadikan satuan satuan milisi yg bisa dimanfaatkan menghadapi tentara Sekutu. Eh setelah Gyu Gun menjadi organisasi besar dan cukup terlatih, para tokoh pergerakan diam diam menggunakan Gyu Gun sebagai tenaga untuk persiapan untuk kemerdekaan Indonesia, yang berarti menentang semua penjajah, termasuk Jepang.
Dasar orang Minang, main manang sajo, hehe..
Akmal
Bung Akmal di Kyoto,
BalasHapusWah..senang sekali membaca komen anda. Kalau dulu Jepang yang ke sini, sekarang anda yang kesana..hehe
Terimakasih atas tambahan infonya. Melihat bahasanya, sepertinya bung Akmal ini penikmat sejarah juga ya.
Soal main manang, podo se ndak namuah do...hehe
Senangnya bisa mengetahui sejarah seperti ini :)
BalasHapustapi arti pada akhir komen masing-masing tidak saya mengerti tuh, tapi memang bahsa daerah harus terus di lestarikan, setuju ??
mantap...
BalasHapusditunggu terus postingannya pak.
mantab pak postingannya,
BalasHapusditunggu postingan ttg sejarah minang lampau selanjutnya pak,
titoreds.wordpress.com
Mr. SM (gak enak nulisnya hehe...) : thanks...soal bahasa daerah jangan diambil hati...yang pasti bukan ngomong jorok...:))
BalasHapusMr. duo Anonim : tengkyu...:)
pak datuak japang ko ikuik pulo manyuruah romusha mambuek jalan kareta muaro tu ndak ?
BalasHapusBung Anonim : Jaweknyo maybe yes maybe no...Yang pasti dia pasti tau ado aktivitas pembuatan jalan KA. Tapi soal manyuruah...antahlah tu....
Hapusapak datuak tu, manyuruah mambuek lubang, japang, hahahhaa
BalasHapusBung PB,
HapusMeski bercanda, tapi itu salah satu fakta yang perlu dicari. Sia nan memerintahkan mambuek lubang ko, dari ma tenaganyo, bara biayanyo, dll. Mestinya Pemko Bukittinggi bisa mulai menjajaki...
menarik :)
BalasHapus