http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/1745/2506.
Johannes van den Bosch |
***
Sampai pertengahan abad kesembilan belas, hubungan
antara daerah pantai dengan pedalaman Minangkabau diadakan masih melalui jalan
setapak. Setidaknya ada lima kelompok jalan setapak pada saat itu.
Kelompok pertama ada dua jalur di Pasaman yaitu menghubungkan antara Air Bangis-
Rao serta menghubungkan Sasak-Lundar-Bonjol. Kelompok
kedua ada di Agam yaitu dari Tiku, menyusur sepanjang tepi kanan Sungai Antokan
dan sisi utara Danau Maninjau, ke Bukittinggi. Kelompok ketiga menghubungkan
kota-kota pesisir Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, dan Padang melalui Kayu Tanam,
terus ke Lembah Anai dan Padang Panjang. Dari Padang Panjang jalan bercabang
lagi ke arah Bukittinggi dan Tanah Datar. Kelompok keempat adalah kelompok
Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pesisir seperti Koto Tangah dan Padang ke
Tanah Datar, melalui kota-kota sekitar Danau Singkarak. Kelompok kelima adalah
kelompok Solok, terdiri dari dua jalan setapak. Yang pertama menghubungkan
Padang dan wilayah XIII Koto Solok. Yang kedua menghubungkan Bandar X dan Solok
Selatan.
Jalan-jalan setapak ini tercipta umumnya karena kebutuhan masyarakat pedalaman Minangkabau akan garam.
Selanjutnya jalan setapak ini berkembang menjadi
jalan dagang sekitar abad ke-15. Berbagai barang dibawa turun melalui jalan
perdagangan. Emas adalah salah satu produk pertama dan paling penting dibawa di hampir semua jalan setapak. Juga beberapa komoditas lainnya seperti kayu
obat, kapur barus, resin, lilin, madu, dan produk non-kayu hutan lainnya. Dari
pantai dibawa kain, katun, sutra, kering, ikan asin, dan tentu saja, garam.
Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilintasi orang
dan kuda beban. Perjalanan biasanya hanya dilakukan pada siang hari secara
berkelompok dengan didampingi oleh seorang atau lebih ahli bela diri, untuk
menghindari perampokan. (Jadi ingat cerita Giring-giring Perak-nya Makmur
Hendrik...). Mereka bisa berjalan sekitar tiga puluh kilometer sehari, dengan
waktu tempuh rata-rata untuk perjalanan dari pedalaman ke pantai pulang pergi
selama enam sampai sepuluh hari.
Jalan Air Bangis (1890) |
Jalan dekat Pangkalan Koto Baru (1903) |
Pangkalan, panambatan, dan pamuatan semuanya
terletak di tepi sungai dari ujung hulu sungai yang bermuara di pantai timur
Sumatra. Beberapa jalan setapak yang terkenal adalah jalan dari Rao ke Pamuatan
Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di
Sungai Kampar Kanan), dan jalan dari Tanah Datar dan Sijunjung ke Pangkalan Kureh
(di Sungai Kuantan).
Pada saat Perang Padri, jalan setapak dianggap
tidak memadai oleh kolonial Belanda untuk mobilitas tentara. Peningkatan jalan
setapak menjadi jalan terjadi setelah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch berkunjung
ke Sumatra’s Westkust pada 1833.
Jalan di Lembah Anai (1880) |
Jalan Lubuk Sikaping - Bonjol (1890) |
Jalan di Maninjau (1867) |
Pada akhir 1840-an, pemerintah kolonial memberikan
perhatian serius terhadap perbaikan jalan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Yang paling mendapat perhatian adalah jalan dari Padang ke Padang Panjang
melalui Lembah Anai. Pemerintah kolonial menyiapkan beberapa fasilitas untuk
memudahkan pengguna jalan, yaitu rumah istirahat, tempat di mana orang bisa
beristirahat dan mendapatkan kuda segar. Pos penjagaan militer juga dibangun untuk
keamanan pengguna jalan.
Jalan Pariaman - Padang Panjang (1880) |
Peningkatan fasilitas di sepanjang jalan itu
terkait erat dengan status jalan utama yang Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh
dan Padang Panjang-Batu Sangkar untuk membawa kopi dari pedalaman ke Pariaman dan
Padang, pelabuhan di barat.
Jalan di Singkarak (1880) |
Konstruksi jalan mencapai puncaknya pada akhir abad
kesembilan belas. Pembukaan perkebunan besar beberapa dari pada 1870-an
mendukung perluasan pembangunan jalan. Cabang jalan dari jalan sekunder di
Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, dan Pasaman dibangun ketika perkebunan
besar dibuka di daerah-daerah.
Sebagai hasil dari semua kegiatan pembangunan jalan
itu, pada tahun 1900 Gouvernement van Sumatera's Westkust merupakan provinsi dengan jarak
jalan terpanjang dan jumlah jembatan terbesar di luar Jawa.
Jalan kelas I (standar tertinggi) membentang
sekitar 153 km, sementara ada sekitar 651 km Jalan kelas II, dan sekitar 2,525
km jalan kelas III. Ada 6 jembatan lengkung (Boogbruggen) dengan
panjang lebih dari sepuluh meter, dan 115 jembatan lengkung dengan panjang
kurang dari sepuluh meter. Disamping itu terdapat 1.783 jembatan dengan kompleksitas teknis
menengah {liggers dan vakbruggen), dengan panjang rata-rata 8 meter. Untuk
tingkat teknik sederhana, ada 729 jembatan sementara (Noodbruggen) dan 2.092 gorong-gorong
(kleine doorlaten).
Jalan Tapan - Sungai Penuh (1918) |
asalamualaikum uda ntonk, rancak bana postingan2 uda ko eh..
BalasHapusado info mengenai jalan nan lah ilang, antaro kayu tanam jo tambangan, tu dari kayu tamam kalua di kandang guguak, jo dari limau manih kalua di saniangbaka. kami ado rencana manuruik jalan2 nantun.. tarimokasi da..
Lebih jauh tentang Intepretasi tentang gerakan kaum paderi ini akan di bahas selama 2 hari penuh bersama Prof. Gusti Asnan dalam jalan-jalan Sejarah & budaya Minang, 21-22 Feb 2015. Lihat di FB Rumah Gadang Nantigo atau kontak email. pemilik.rumahgadang@gmail.com
BalasHapus