Jumat, 25 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 3: Dewan Banteng)



...Ketika kegelisahan dan kegusaran bertemu...


Agustus 1956: Misi Gubernur Roeslan ke Jakarta
Gubernur Roeslan dan DanRem Let.Kol. Ahmad Husein memimpin delegasi Sumatera Tengah ke Jakarta untuk melaporkan buruknya kondisi daerah dan meminta perhatian pemerintah pusat. Namun belakangan sepertinya misi ini tidak menunjukkan hasil.

21 September 1956: Silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di Jakarta
Atas prakarsa dua orang perwira  eks Divisi Banteng yang sedang belajar di Akademi Hukum Militer di Jakarta yaitu Jusuf Nur dan Djamhur Djamin,  diadakan silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di kompleks perfilman Persari milik Djamaluddin Malik. Acara ini dihadiri oleh 123 orang yang umumnya berdomisili di Jakarta. Dari Padang hadir antara lain Gubernur Roeslan Moeljohardjo, Komandan Resimen 4/TT-I Let.Kol. Ahmad Husein, Komandan Batalyon 140 Kapten Nurmatias serta beberapa perwira Banteng yang sudah mengundurkan diri dari dunia militer. Silaturrahmi ini menghasilkan rencana reuni eks Divisi Banteng guna menjaga tali persaudaraan sekaligus membicarakan nasib para prajurit dan para mantan prajurit serta keluarganya.

11 Oktober 1956: Pembentukan panitia reuni eks Divisi Banteng di Padang
Dalam rapat yang diselenggarakan di gedung Kencana Padang, disepakati menunjuk Let.Kol.Ahmad Husein sebagai ketua panitia reuni serta melibatkan para mantan Panglima Divisi Banteng dalam kepanitiaan reuni. Sementara Panglima TT-I/Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon ditunjuk sebagai penasehat dan KSAD A.H. Nasution sebagai pelindung. Hasil rapat juga memutuskan bahwa setiap bekas perwira Banteng dengan pangkat Letnan ke atas diminta menyumbang Rp. 50,- per orang untuk acara reuni. Namun dalam prakteknya banyak juga yang menyumbangkan angka yang jauh lebih besar.

20-24 Nopember 1956: Berdirinya Dewan Banteng
Suasana reuni eks Divisi Banteng di Padang dengan kemeja putihnya
Kota Padang penuh sesak dengan lebih 1.000 orang mantan prajurit Banteng yang sedang be-reuni. Juga hadir Panglima TT-I/Bukit Barisan Kol. Maludin Simbolon  dan Panglima TT-II/Sriwijaya Let.Kol Barlian. Sedangkan KSAD Nasution diwakili oleh Kol. Sadikin. Uniknya, peserta sepakat menentukan dress code kemeja putih dengan dasi. Tujuannya agar tidak ada strata dan kesungkanan akibat perbedaan pangkat dan jabatan dalam berbicara. Betul-betul egaliter ala minang.
Reuni menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah pusat agar segera menyelenggarakan otonomi yang luas dan mengisi jabatan-jabatan penting di Provinsi Sumatera Tengah serta membentuk komando utama tentara di Sumatera Tengah. Disamping itu juga meminta untuk mengaktifkan kembali Divisi Banteng sebagai satu korp dalam Angkatan Darat serta menghapus sistem sentralisasi pemerintahan yang menyebabkan "birokrasi yang tidak sehat, pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah serta hilangnya inisiatif daerah dan kontrol." Secara khusus reuni juga menuntut perbaikan di jajaran pimpinan Angkatan Darat dan negara demi "keutuhan Negara Republik Indonesia" serta meminta pemerintah pusat agar mengusahakan kehidupan yang lebih layak kepada para bekas pejuang, veteran, janda dan yatim piatu akibat perjuangan kemerdekaan.
Untuk menjalankan keputusan reuni ini, para peserta sepakat membentuk wadah yang bernama Dewan Banteng yang diketuai oleh Let.Kol. Ahmad Husein. Dewan ini terdiri dari 17 orang yang berasal dari tentara aktif (8 orang), veteran (2 orang), polisi (2 orang), pamong praja (3 orang), ulama (1 orang) dan ninik mamak (1 orang). Dari sisi daerah asal, anggota Dewan Banteng berasal dari Sumatera Barat (11 orang), Riau (3 orang), Jambi (1 orang), Jakarta (2 orang). Komposisi ini dianggap cukup mewakili seluruh elemen masyarakat yang ada di Sumatera Tengah.

27 Nopember 1956: Misi Dewan Banteng ke Jakarta
Sesuai amanat peserta reuni, satu delegasi Dewan Banteng bertolak ke Jakarta untuk menyampaikan hasil-hasil reuni kepada Presiden Soekarno, namun gagal untuk bertemu Presiden dan hanya bisa bertemu dengan PM Ali di kediamannya. Saat itu PM Ali berjanji akan memperhatikan hasil-hasil reuni tersebut.

1 Desember 1956: Wakil Presiden M. Hatta mengundurkan diri
Drs. M. Hatta
Bagaikan petir di siang bolong, dwi tunggal Soekarno-Hatta pecah. Meskipun tidak berkaitan langsung dengan tuntutan daerah, namun pengunduran diri Bung Hatta semakin menambah kekecewaan orang Minang dan rakyat Sumatera Tengah  terhadap pemerintah pusat. Asumsinya adalah Bung Hatta yang dianggap representasi dan kebanggaan daerah di pusat sudah tidak dianggap dan dipinggirkan dari pentas politik nasional.

Desember 1956: Dukungan masyarakat kepada Dewan Banteng
Dewan Banteng dengan hasil reuninya segera mendapat dukungan rakyat Sumatera Tengah. Berturut-turut Tentara Pelajar melalui kongresnya tanggal 11-13 Desember 1957, Persatuan Wali Nagari se-Sumatera Tengah (Perwanest) melalui konferensi tanggal 14-15 Desember 1957 dan para alim ulama yang dimotori oleh Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) melalui kongres tanggal 21 Desember 1957 menyatakan dukungannya kepada Dewan Banteng. Bahkan Perwanest sampai mengeluarkan deadline tanggal 1 Maret 1957 bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan keputusan-keputusan reuni eks Divisi Banteng. Jika tidak, putus hubungan!

16 Desember 1956: Ikrar bersama perwira TT-I/Bukit Barisan di Medan
Pada tanggal 16 Desember 1956 diadakan pertemuan 48 orang perwira yang memegang jabatan kunci di wilayah TT-/Bukit Barisan. Dalam pertemuan itu Let.Kol. Ahmad Husein menyatakan bahwa jika pertentangan antara pusat dan daerah tidak terselesaikan, maka ia selaku Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen akan mengambil tindakan di wilayahnya.
Pertemuan ini ditutup dengan ikrar yang ditandatangani oleh seluruh peserta termasuk Panglima TT-I Kol. Maludin Simbolon, Kepala Staf TT-I Let.Kol Djamin Ginting dan seluruh Komandan Resimen di jajaran TT-I/Bukit Barisan, termasuk Ahmad Husein. Salah satu isinya adalah memberikan dukungan kepada keputusan hasil reuni eks Divisi Banteng dan mengedepankan jiwa kesetiakawanan. 
Sebuah upacara kecil mengakhiri pertemuan berupa toast yang diikuti pembantingan gelasnya ke lantai hingga berderai. Sebuah selebrasi yang unik untuk menunjukkan jiwa korsa.

20 Desember 1956: Gubernur Roeslan menyerahkan Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng
Let.Kol. Ahmad Husein berpidato setelah timbang terima dari Gubernur Roeslan
Kota Bukittinggi yang dingin malam itu tenang, sama seperti malam-malam lainnya. Hanya di seputaran gedung Tamu Agung (sekarang Istana Bung Hatta) terlihat kesibukan. Banyak mobil dan para pejabat teras Sumatera Tengah mondar-mandir.
Kol. Ismael Lengah yang datang sore itu dari Padang "menyelundupkan" seorang wartawan ke dalam gedung. Wartawan itu bernama Soewardi Idris, wakil pimpinan redaksi harian Njata yang terbit di Bukittinggi, dimana Ismael Lengah menjabat sebagai Pemimpin Umumnya. Ismael Lengah tidak mengatakan apa-apa kepada Soewardi selain bahwa malam itu "mungkin akan terjadi sesuatu". Dan memang, didalam gedung Soewardi mendapati suasana hening dan mencekam "seolah-olah menunggu malaikat". 
Yang ditunggu itu baru ketahuan bentuknya pada pukul 19.45 saat Sekjen Dewan Banteng membacakan "Naskah Timbang Terima Jabatan Kepala Daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo kepada Ketua Dewan Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein."  Selesai pembacaan, dengan langkah ringan Gubernur Roeslan maju ke depan, mencabut pena dari sakunya dan menandatangani naskah tersebut, lalu kembali ke kursinya. Seolah-olah yang ditandatanganinya adalah surat administrasi kantor biasa dan bukan sesuatu yang luar biasa.
Sikap santuy Gubernur Roeslan ini terjawab dalam pidatonya setelah itu. Ia menyatakan bahwa ia menyerahkan kendali pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng dengan penuh kesadaran dan keinsyafan karena "ini adalah satu-satunya jalan untuk menyalurkan keinginan-keinginan rakyat Sumatera Tengah agar gelora perasaan tidak puas dapat dibendung". Selanjutnya Gubernur Roeslan juga menyatakan bahwa ia "yakin pula seyakin-yakinnya bahwa Dewan Banteng khususnya dan rakyat Sumatera Tengah umumnya tidak bermaksud mendirikan negara dalam negara, karena hubungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat pasti akan berjalan normal kembali sekiranya ada satu kabinet yang dapat melenyapkan semua keruwetan dan suasana pertentangan serta perasaan serba tak puas yang mengancam keselamatan negara dan bangsa Indonesia."
Sementara Ketua Dewan Banteng, Let.Kol Ahmad Husein, setelah menandatangani naskah timbang terima jabatan juga memberikan pidato singkat. Ia menyatakan bahwa peristiwa malam itu terjadi karena rakyat Sumatera Tengah sejak lama telah menuntut "pemerintahan yang dapat menjamin keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan yang merata" sementara pimpinan negara "belum lagi berhasil menemukan jalan keluar." Ahmad Husein juga menyatakan bahwa "penyelesaian selanjutnya dengan pemerintah pusat Republik Indonesia yang mendapat kuasa penuh dari Kepala Negara akan berlangsung dengan segera."
Terlihat bahwa pidato Gubernur Roeslan dan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein memiliki kecocokan. Bahkan dalam penutup pidatonya Gubernur Roeslan meminta kepada seluruh pejabat dan masyarakat Sumatera Tengah agar membantu Ketua Daerah Sumatera Tengah Let.Kol Ahmad Husein. "Ketua Daerah" adalah istilah yang dipilih oleh Ahmad Husein dan tidak pernah ada dalam aturan ketatanegaraan. Mungkin hal itu dibuat untuk menegaskan bahwa ia bukan gubernur yang diangkat pemerintah pusat.
Setelah timbang terima yang berlangsung singkat itu pimpinan Dewan Banteng bergeser ke RRI Bukittinggi untuk memberitahukan peristiwa penting yang baru saja berlangsung. RRI Padang diminta untuk merelay-nya agar berita itu sampai ke Jakarta malam itu juga.


Selanjutnya di Bagian 4: Daerah Bergolak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...