Kamis, 01 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 4: Daerah Bergolak)



21 Desember 1956: Jakarta pun buncah

Besok paginya Kol. Ismael Lengah berangkat ke Jakarta dengan pesawat pertama dari Padang. Ia membawa segulungan harian Nyata yang memuat berita peristiwa serah terima kekuasaan di Sumatera Tengah malam sebelumnya. Siang itu juga berita harian Nyata terbitan Bukittinggi itu sudah menjadi rujukan bagi sejumlah harian nasional tentang peristiwa menggemparkan itu.
Malamnya kabinet Ali mengadakan sidang darurat membahas perkembangan di Sumatera Tengah. Diputuskan untuk mengirim misi yang dipimpin oleh orang yang mengerti benar dengan persoalan yang terjadi. Ditunjuklah Kolonel Dahlan Djambek, mantan panglima Divisi Banteng, yang waktu itu baru kembali dari tugasnya sebagai atase pertahanan di London.

22 Desember 1956: Kongres Rakyat Jambi
Melihat perkembangan yang terjadi, masyarakat Jambi mengadakan suatu pertemuan se-keresidenan Jambi. Hasilnya adalah pertama, rakyat Jambi mendukung Dewan Banteng dan kedua, hasrat rakyat Jambi untuk memperoleh otonomi sebagai provinsi disalurkan melalui Dewan Banteng.
Hasil kongres ini disampaikan kepada Ketua Daerah Sumatera Tengah di Padang empat hari kemudian oleh beberapa utusan dan diterima dengan baik.

22 Desember 1956: Dewan Gajah mengambil alih kekuasaan Sumatera Utara
Kol. Maludin Simbolon
Melihat apa yang terjadi di Sumatera Tengah, Panglima TT-I/Bukit Barisan Kol. Maludin Simbolon melalui RRI Medan juga mengumumkan berdirinya Dewan Gajah sekaligus kondisi darurat perang di wilayah komandonya. Ia juga menyatakan mengambil alih kekuasaan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Berbeda dengan langkah negosiasi yang akan ditempuh Jakarta untuk Sumatera Tengah, keesokan harinya Presiden Soekarno langsung memecat Simbolon dan menunjuk Kepala Staf-nya Let.Kol Djamin Ginting sebagai pengganti. Kalau Ginting gagal atau tidak mau, maka tugas itu jatuh kepada DanRem 2 Let.Kol Wahab Makmoer. Setelah sempat ragu beberapa saat -mungkin karena upacara pecah gelas beberapa hari yang lalu- Ginting akhirnya men-take over komandannya. Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Simbolon bersama pasukan yang setia padanya pun menyelinap keluar dari Medan menuju Balige dan terus ke Bukittinggi bergabung dengan Ahmad Husein.

24 Desember 1956: Misi Kolonel Dahlan Djambek ke Padang
Meskipun diterima baik sebagai tamu, misi Kol. Dahlan Djambek untuk berunding dengan Dewan Banteng tidak terwujud. Hal ini karena misi ini tidak memenuhi syarat yang disampaikan oleh Ahmad Husein pada tanggal 20 Desember di Bukittinggi, yaitu "mandat langsung dari Kepala Negara". Misi ini ternyata hanya membawa mandat dari PM Ali. Akibatnya yang dapat dilaksanakan hanyalah sekadar kegiatan "tinjau-meninjau" saja. Misi pun kembali ke Jakarta tanggal 26 Desember karena tanggal 25-nya tidak ada pesawat.

27 Desember 1956: Perutusan rakyat Riau menemui Ketua Daerah Sumatera Tengah
Beberapa hari setelah kedatangan utusan rakyat Jambi, Ketua Daerah Sumatera Tengah juga menerima 13 orang perutusan dari masyarakat Riau. Penyampaiannya mirip dengan apa yang disampaikan oleh utusan Jambi yaitu mendukung Dewan Banteng dan menyatakan hasrat untuk membentuk provinsi sendiri. Dalam hal ini pun Ketua Dewan Banteng menyetujuinya.

3 Januari 1957: PKI menantang Dewan Banteng
PKI Sumatera Tengah mengeluarkan seruan agar segenap masyarakat Sumatera Tengah tidak memberikan dukungan nyata terhadap Dewan Banteng. Seruan ini muncul karena seminggu sebelumnya Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta menuduh Dewan Banteng adalah gerakan yang anti demokrasi dan reaksioner. Hal ini menyambung tuduhan ketuanya D.N. Aidit bahwa peristiwa di Sumatera Barat didalangi oleh Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan tidak mendapat dukungan rakyat.
Tuduhan ini dibalas oleh Dewan Banteng dengan menahan beberapa anggota serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI di Pekanbaru dan mengirim mereka ke penjara di Padang dan Bukittinggi dengan tuduhan "menyerang secara lisan dan tulisan serta menyusupi badan-badan pemerintah untuk melemahkan". Akibatnya konflik antara Dewan Banteng dan PKI semakin terbuka.

10 Januari 1957: Dukungan Persatuan Wali Nagari terhadap langkah Dewan Banteng
Dalam konferensinya di Padang, Persatuan Wali Nagari se-Sumatera Tengah menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah yang diambil Dewan Banteng. Dukungan ini menjadi vital karena ini artinya seluruh nagari di Sumatera Tengah telah berdiri di belakang Dewan Banteng.

21-28 Januari 1957: Misi Menteri Eny Karim ke Padang
Eny Karim
Gagal dengan misi Dahlan Djambek, Jakarta kembali mengirim misi baru ke Padang. Kali ini dipimpin oleh Menteri Pertanian Eny Karim, urang awak kelahiran Batusangkar yang pernah menjadi sekretaris residen Mr. St. M. Rasyid di Bukittinggi dulu.
Mengantisipasi kegagalan misi sebelumnya, kali ini misi Eny Karim sudah dipersenjatai dengan mandat langsung dari Presiden Soekarno. Misi ini disambut demo ribuan pelajar dan mahasiswa yang menyatakan bahwa mereka mendukung Dewan Banteng dan mengharapkan agar tuntutan Dewan Banteng  berhasil dengan gilang gemilang. Eny Karim pun menerimanya. Namun demikian ternyata pembicaraan juga akhirnya mentok karena Ahmad Husein mensyaratkan agar pemerintah pusat berhenti mengadu domba aparat negara dengan rakyat Sumatera Tengah sebelum perundingan bisa dilanjutkan. Misi ini akhirnya berakhir sama dengan misi sebelumnya yaitu hanya sebatas tinjau-meninjau saja. Belakangan berhembus isu bahwa misi Eny Karim juga membawa uang sebesar Rp 150 juta dari Pemerintah Pusat untuk membantu Sumatera Tengah, namun hal ini dibantah oleh Dewan Banteng.

5 Februari 1957: Rapat raksasa dan resolusi rakyat Sumatera Tengah
Sebuah badan yang bernama Badan Aksi Rakyat Sumatera Tengah (BARST) memprakarsai sebuah rapat raksasa di Lapangan Banteng (sekarang lapangan Imam Bonjol) Padang yang konon dihadiri oleh jumlah yang "jarang bersua" dalam sejarah kota ini. Para orator membangkitkan semangat jiwa proklamasi 17 Agustus 1945, mengecam kabinet Ali dan mendukung Dewan Banteng. Aksi ini diikuti oleh sebuah "Resolusi Rakyat Sumatera Tengah" yang meminta Presiden untuk mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta, menarik mandat kabinet Ali serta mendesak Dewan Banteng mengambil langkah-langkah yang lebih radikal revolusioner agar tuntutannya dapat dipenuhi.
Tidak hanya sampai disitu. Resolusi ini diantarkan oleh pimpinan BARST langsung ke Presiden, Ketua Parlemen dan PM Ali sendiri. Presiden Soekarno dan Ketua Parlemen menerimanya. Hanya PM Ali yang tidak bersedia  dengan alasan menunggu keputusan Parlemen tentang persoalan Sumatera Tengah.

8 Februari 1957: Peresmian berdirinya Provinsi Jambi
Tanpa menunggu lama, rakyat Jambi memperoleh apa yang dicitakannya. Pada hari itu Residen Jambi diangkat sebagai akting Gubernur Kepala Daerah Jambi oleh Ketua Daerah Sumatera Tengah.

21 Februari 1957: Konsepsi NASAKOM Bung Karno
Buku Nasakom terbitan
Departemen Penerangan 
Presiden Soekarno mengajukan konsep baru demokrasi yang menurutnya berbeda dengan demokrasi ala Barat. Dalam konsep itu ia menginginkan semua partai politik memiliki wakil dalam sebuah kabinet yang bernama "Kabinet Gotong Royong". Belakangan ide ini terkenal dengan nama Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
Semua pimpinan partai politik akhirnya terpaksa menerima konsepsi ini, kecuali Ketua Partai Masjumi M. Natsir dan Ketua Parkindo I.J. Kasimo. Bahkan Natsir mengatakan "lebih baik membubarkan Masjumi daripada menurutkan keinginan Soekarno."

Maret 1957: Dukungan Pemangku Adat dan Ulama se-Sumatera untuk Dewan Banteng
Di bulan Maret terjadi beberapa kongres yang menyatakan dukungan kepada langkah-langkah dan tuntutan Dewan Banteng. Pertama Kongres Pemangku Adat se Sumatera Tengah (28 Februari - 2 Maret 1957) yang diikuti oleh Kongres Adat se-Sumatera (12-17 Maret 1957). Selanjutnya adalah Kongres Alim Ulama se-Sumatera pada tanggal 14-17 Maret 1957 yang dihadiri oleh 751 orang. Semua kongres yang berlangsung di Bukittinggi ini pada akhirnya semakin memperkuat posisi Dewan Banteng di mata masyarakat Sumatera Tengah.

2 Maret 1957: Permesta mengambil alih Indonesia Timur
Let.Kol. Ventje Sumual
Tuntutan otonomi rupanya juga bergema di Sulawesi. Menyikapi kondisi yang terjadi, KSAD Nasution berusaha agar para perwira di Sulawesi tidak mengikuti jejak rekannya di Sumatera. Apalagi saat itu Kahar Muzakkar, mantan pimpinan laskar kemerdekaan yang bergabung dengan Darul Islam karena tidak setuju dengan pembubaran laskar gerilyanya, masih menguasai sebagian besar pedalaman Sulawesi Selatan.
Namun tak ayal, setelah berunding dengan para perwiranya, Panglima TT VII/Wirabhuana Let.Kol H.N.Ventje Sumual mengumumkan keadaan bahaya  dan memberlakukan Undang-Undang Darurat Perang di Indonesia Timur. Selanjutnya Let.Kol Saleh Lahade membacakan "Piagam Perjuangan Rakyat Semesta" (Permesta) di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar yang isinya hampir senada dengan tuntutan Dewan Banteng di Sumatera yaitu otonomi lokal, pembangunan ekonomi dan pengendalian devisa serta mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Mengikuti Proklamasi Permesta itu, Sumual membentuk pemerintahan militer dengan menjabat sebagai "Administratur Militer" yang membawahi empat gubernur militer.  Sama seperti jabatan Ketua Daerah-nya Ahmad Husein, jabatan ini juga tidak dikenal sebelumnya di pemerintahan.

9 Maret 1957: Dewan Garuda mengambil alih Sumatera Selatan
Let.Kol. Barlian
Sepekan setelah proklamasi Permesta, Panglima TT-II/Sriwijaya Let. Kol. Barlian pun ikut terpengaruh. Ia mengumumkan mengambil alih kekuasaan sipil di wilayahnya dan memecat Gubernur Winarno. 
Sama seperti terhadap Medan, salah satu DanRem ditugaskan men-take over Barlian. Namun Barlian meradang dengan mempersenjatai 2.000 orang veteran dan mengancam akan membumihanguskan penyulingan-penyulingan minyak yang ada di Sumatera Selatan. Ia juga menghubungi Ahmad Husein yang lalu menjanjikan bantuan 1.200 tentara seandainya tentara pusat menyerang Palembang.
Akhirnya Jakarta mengalah dan menarik pasukan yang sempat digeser dari Jakarta ke Palembang. Sumatera Selatan pun berangsur tenang kembali.

14 Maret 1957: Kabinet Ali jatuh
Mr. M. Yamin
Akhirnya kabinet Ali jatuh setelah sebelumnya sempat bersoal jawab dengan anggota parlemen asal Sumatera Tengah Mr. Muhammad Yamin. Tuduhan Ali bahwa Dewan Banteng ditunggangi oleh orang-orang Masjumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan NICA, dijawab Yamin bahwa pihak pemerintah pasti tahu bahwa tidak ada satu pun orang partai diantara 17 orang anggota Dewan Banteng. Selanjutnya soal keterlibatan NICA dalam Dewan Banteng, Yamin menjawab bahwa tuduhan itu "dusta belaka".  Karena faktanya selama ini Belanda tidak pernah berhasil membuat sebuah negara boneka di Minangkabau. Karena itu  kata Yamin "sebelum mencari di bawah jam gadang di Bukittinggi atau di Muaro Padang, carilah ahli penyeberang itu terlebih dahulu di kota Jakarta ini. Boleh juga dimulai dari Pejambon." Pejambon yang dimaksud Yamin adalah kantor PM Ali sendiri. Pedas.

30 Maret 1957: Pembentukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah
Hubungan Jakarta dan Sumatera Tengah menjadi semakin "ajaib" ketika Ahmad Husein diangkat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDM-ST) yang baru dibentuk, sekaligus sebagai Penguasa Militer Daerah. Bahkan KSAD Nasution sendiri yang datang melantiknya ke Padang. Ini berarti salah satu tuntutan Dewan Banteng yang meminta komando sendiri untuk Sumatera Tengah dikabulkan oleh pemerintah pusat. Selain itu terkesan jabatan Ketua Daerah-nya Ahmad Husein tidak menjadi persoalan bagi Jakarta. Belakangan Ahmad Husein sendiri mengakui bahwa ia berkali-kali diundang ke Jakarta baik sebagai Ketua Daerah, Panglima KDM-ST maupun Penguasa Militer Daerah, namun ia tidak pernah ditegur atau ditanya baik oleh  KSAD maupun oleh Presiden.

23 April 1957: Kunjungan Perdana Menteri Djuanda ke Padang
Ir. Djuanda Kartawidjaja
PM. Ir. Djuanda Kartawidjaja yang diangkat seminggu sebelumnya, segera mengunjungi Padang. Meskipun proses pengangkatannya agak aneh, karena Presiden RI Soekarno menunjuk Ir. Soekarno yang "seorang warga negara RI" untuk menjadi formatur kabinet (yang akhirnya memilih Djuanda sebagai PM), namun sebagai seorang non-partisan PM Djuanda dinilai akan lebih bisa melihat persoalan daerah dengan jernih oleh Dewan Banteng. 
Kepada Djuanda Ahmad Husein kembali menyampaikan pokok-pokok tuntutan Dewan Banteng dan menyampaikan ide adanya perwakilan utusan daerah dalam wadah Dewan Nasional yang digagas Presiden Soekarno. Djuanda pun sepertinya mendukung ide itu. Dalam kesempatan itu PM Djuanda juga mengundang Husein untuk menghadiri pertemuan pimpinan daerah yang digagasnya.

26-29 April 1957: Rapat Penguasa Militer Pusat di Istana Negara
Inilah pertemuan yang dimaksud PM Djuanda. Dalam kesempatan itu Ahmad Husein menyampaika kembali latar belakang tuntutan daerah, yaitu sentralisasi dan ketidakadilan pembangunan. Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap tanggapan pemerintah pusat yang menuduh daerah telah berkhianat. Husein mengatakan "...apabila kita boleh berkata tentang pengkhianatan, maka sejarahlah yang akan menentukannya. Tetapi pada masa silam, daerahlah yang telah menyelamatkan kelanjutan hidup negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini, dengan diselamatkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada waktu masa revolusi tengah bergejolak."
Di bagian lain pidatonya Husein menegaskan bahwa "harus kiranya dapat diinsyafi bahwa landasan perjuangan di daerah-daerah adalah tetap Proklamasi 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

13 Mei 1957: Dr. Soemitro menggabungkan diri di Padang
Dr. Soemitro
Djojohadikusumo
 
Awal 1957 adalah hari-hari yang berat bagi Dr. Soemitro Dojohadikusumo, mantan Menteri Keuangan kabinet Wilopo (1952-1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956). Ia yang anggota PSI di-bully oleh koran-koran komunis seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur soal dugaan penyalahgunaan keuangan. Isunya ia akan segera ditangkap. Karena merasa tidak bersalah, ia menemui ketua PSI Sutan Sjahrir dan menyampaikan keinginannya meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan daerah-daerah yang bergolak. Sebagai mantan Menteri Keuangan, ia mengerti ketidakadilan keuangan yang dituntut oleh daerah. Sjahrir pun menyetujui.
Setelah melalui perjalanan darat yang sambung bersambung, Soemitro tiba di Padang tanggal 13 Mei 1957 setelah sebelumnya singgah di Palembang dan bertemu dengan Let.Kol Barlian. Selama perjalanan itu ia menyamar sebagai Letnan Dua Rasjidin. Oleh Ahmad Husein, Soemitro dibekali selembar surat untuk meneruskan perjalanan ke Pekanbaru, Singapura, Saigon dan Manila untuk membuka kontak dengan Permesta dan pihak-pihak lain di luar negeri.
Sekembalinya ke Padang dari perjalanannya itu, Soemitro aktif mengembangkan dan mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas yang belum berumur setahun sejak diresmikan Bung Hatta.

9 Agustus 1957: Pemekaran Sumatera Tengah menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi
Pemerintah pusat melalui UU Darurat No. 19/1957 memekarkan Provinsi Sumatera Tengah menjadi 3 provinsi: Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Tindakan ini dinilai oleh Dewan Banteng sebagai upaya memecah persatuan Sumatera Tengah dan menggunakan cara "devide et impera"-nya Belanda.
Meskipun awalnya sempat menolak, namun akhirnya Dewan Banteng meresmikan ketiga provinsi hasil pemekaran Sumatera Tengah itu dengan dihadiri oleh utusan dari masing-masing provinsi baru  tersebut pada 6 September.

17-23 Agustus 1957: Kongres Pelajar/Mahasiswa Sumatera Tengah se-Indonesia
Setelah komponen masyarakat lainnya, kini 200-an peserta Kongres Pelajar/Mahasiswa Sumatera Tengah se-Indonesia menyatakan menyokong gerakan daerah dalam batas fungsi selaku pelajar dan mahasiswa.

24 Agustus 1957: Kolonel Dahlan Djambek pulang kampung
Sejak awal 1957, Kol. Dahlan Djambek ditunjuk oleh KSAD Nasution sebagai penghubung dengan daerah-daerah bergolak. Namun semakin lama ia malah dinilai semakin kritis terhadap kebijakan pusat. Mulailah koran-koran komunis melancarkan tuduhan kepadanya, dari isu korupsi sampai isu terlibat dalam konspirasi Dewan Banteng di Jakarta. Puncaknya ialah pada saat rumahnya dilempar granat pada 17 Agustus 1957.
Ia pun meninggalkan jabatannya selaku Deputi KSAD dan memboyong keluarganya pulang ke Bukittinggi. Ia menggambarkan tindakannya sebagai "sebuah protes melawan cara orang-orang di pusat menggunakan kekuasaannya." 

6 September 1957: Berdirinya Gebak (Gerakan Bersama Anti Komunis) di Bukittinggi
Sesampainya di Bukittinggi, Dahlan Djambek terlibat dalam pendirian organisasi Gebak dimana ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Organisasi ini segera mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat Sumatera Tengah. Kehadiran Gebak semakin memperkuat posisi Dewan Banteng dalam berhadap-hadapan dengan komunisme di Sumatera Tengah.

8 September 1957: Piagam Palembang dan Pembentukan Dewan Perjuangan
PM Djuanda terus berusaha mencari kompromi dengan daerah-daerah bergolak. Kali ini ia menggagas sebuah pertemuan Musyawarah Nasional yang dihadiri seluruh wakil daerah di bulan September 1957. Untuk menghadapi event penting itu, Let.Kol Ahmad Husein, Let.Kol. Ventje Sumual dan Let.Kol Barlian mengadakan rapat di Palembang. Juga turut hadir Kol. Dahlan Djambek, Kol. Simbolon dan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Dalam pertemuan itu dilahirkan sebuah kesepakatan diberi nama Piagam Palembang. Isinya adalah; (1) Memulihkan dwitunggal Soekarno - Hatta (2) Mengganti pimpinan AD (3) Melaksanakan desentralisasi dengan otonomi luas kepada daerah (4) Membentuk senat (5) Meremajakan dan menyederhanakan pemerintahan (6) Melarang komunisme "yang berorientasi internasional". 
Dalam pertemuan itu juga disepakati membentuk Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Ahmad Husein sekaligus sebagai jurubicara daerah-daerah bergolak dalam Munas yang akan datang.

10 -13 September 1957: Musyawarah Nasional di Jakarta
Mantan Wapres Bung Hatta menandatangani hasil Munas
Dibelakangnya terlihat Presiden Soekarno dan PM Djuanda.

Tibalah hari yang ditentukan itu. Musyawarah yang berlangsung di Gedung Proklamasi ini dihadiri langsung oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Juga hadir seluruh perwakilan daerah yang diundang. Meskipun dalam prosesnya terjadi tarik menarik antara kepentingan pusat dan daerah, namun sepertinya jalan kompromi mulai terlihat. 
Dalam Munas Soekarno-Hatta menyatakan kesediaannya bekerja sama meskipun formatnya akan ditentukan parlemen di kemudian hari. Munas juga akan ditindaklanjuti dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang akan diselenggarakan pada bulan Nopember untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan ekonomi. Munas juga merekomendasikan pembentukan Panitia Tujuh untuk menyelesaikan konflik internal Angkatan Darat. Belakangan Panitia Tujuh ini merekomendasikan amnesti umum kepada para perwira daerah bergolak. Sepertinya hampir semua tuntutan daerah dapat terakomodir dalam Munas.
Dalam Munas ini juga terjadi adegan menarik. Saat Let.Kol Ahmad Husein selaku juru bicara daerah-daerah bergolak berbicara di mimbar, Presiden Soekarno membuka sepatunya, mengangkatnya ke depan matanya dan mengamat-amati sepatu tersebut. Ekspresi ini dinilai banyak orang sebagai bentuk ekspresi ketidaksenangan Bung Karno kepada pidato Husein yang mengeritik Jakarta atau bisa juga upaya Bung Karno agar peserta Munas teralih perhatiannya dari pidato Ahmad Husein. 
Kejadian lain,  di belakang panggung ternyata rombongan Presiden Soekarno yang meninggalkan lokasi acara berpapasan dengan rombongan dari Sumatera Tengah. Ahmad Husein cepat mengambil sikap sempurna dan memberi hormat ala militer. Melihat itu Bung Karno berkata, "Overste (Let.Kol dalam bahasa Belanda -pen) ternyata pintar pidato, ya?" Tak kalah sigap Husein menjawab ala garah lapau di Padang, "Kan Bapak yang ngajari." Semua tertawa, termasuk KSAD Nasution yang berdiri di belakang Bung Karno. Sebelum berlalu Bung Karno masih sempat menyapa angota rombongan Husein yang lain yaitu pendiri INS Kayu Tanam M. Sjafei yang pernah menjadi Menteri Pengajaran pada Kabinet Sjahrir. "Engku," kata Bung Karno sebelum melanjutkan langkahnya.
Sepertinya semua bakal baik-baik saja bagi Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...