
Bersempena dengan hari Kartini, ambo teringat dengan "Kartini Ranah Minang" yang gaungnya tidak semeriah ibu kita Kartini. Beliau adalah Rangkayo Siti Roehana Kudus.
Lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 dari ayah yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibu bernama Kiam. Roehana adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir dan sepupu H. Agus Salim. Roehana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuatnya cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu.
Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa.
Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa.


Pada tahun 1915 Keradjinan Amai Setia mendapat pengakuan Rechtperson atau Badan Hukum dengan surat Putusan No. 31 tanggal 16 Januari 1915 dan pada waktu itu hampir seluruh penduduk wanita Koto Gadang menjadi anggotanya. Selanjutnya mulailah dibangun sekolah diatas sebidang tanah yang telah dibeli tahun 1916 dan dapat diselesaikan dan dipergunakan pada tgl 23 Februari 1919.

Sementara di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah Roehana School yang dilengkapi ruang pamer untuk hasil karya murid-muridnya. Reputasinya di Sunting Melayu ikut mendongkrak reputasi sekolah tersebut. Selanjutnya ia juga turut serta dalam pergerakan politik kebangsaan baik secara langsung maupun melalui tulisan-tulisannya yang membakar semangat.
Dalam selang beberapa tahun ke depan beberapa surat kabar juga sempat dibidaninya, antara lain Perempuan Bergerak dan Cahaya Sumatra. Demikianlah ia terus bergerak hingga akhir usianya pada 17 Agustus 1972 di Jakarta.
Ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia pada 1974. Pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya gelar sebagai Perintis Pers Indonesia dan pada tahun 2008 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
Begitulah kisah hidup pejuang emansipasi dari Ranah Minang. Setiap gerak langkahnya selalu tidak pernah melepaskan diri dari identitas dan harkat ke-perempuan-annya. Ia yang telah berbuat nyata, namun tidak sepopuler Kartini.
(Sumber : Wikipedia, kotogadangpusako.com; KITLV)