Jumat, 28 Maret 2025

Kronik PRRI (Bagian 8: Perselisihan Internal dan Kontak Eksternal)

Sebelumnya di Bagian 7: Perang Saudara


Januari 1959: Pertemuan para pemimpin sipil

Pagadis adalah sebuah desa terpencil perbatasan Kabupaten Agam dan Kabupaten 50 Kota. Disanalah para pemimpin sipil PRRI mengadakan pertemuan untuk membahas perkembangan kondisi terakhir. Kekuatan Jakarta yang dibantu OPR sebagai warga lokal membuat pertempuran di pedalaman menjadi semakin brutal.

Karena itu para tokoh sipil yang hadir antara lain Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohammad Natsir, Mr. Burhanuddin Harahap dan Mr. Asaat berupaya kembali merumuskan garis perjuangan PRRI. Sepertinya senjata lawan senjata harus dilengkapi dengan siasat politik. Bahkan dalam pandangan Natsir dan Sjafruddin, tuntutan PRRI kembali ke UUD 1945 justru akan memperlemah perjuangan otonomi yang disuarakan PRRI. Karena itu sekaligus berarti akan memperkuat legitimasi Soekarno selaku presiden. Karenanya mereka mendorong didirikannya pemerintah federasi yang menggabungkan semua daerah yang berontak di Sumatera dan Sulawesi dalam suatu sistem federal yang otonom.

10 Februari 1959: HUT pertama PRRI

Setelah setahun perang saudara, praktis APRI hanya menguasai daerah perkotaan dan sekitarnya. Namun hampir seluruh wilayah pedesaan di Sumatera Tengah masih berada di bawah kontrol PRRI. Para pemimpin PRRI pun berusaha membuat suasana di wilayahnya berlangsung seperti biasa, untuk menunjukkan bahwa semua baik-baik saja.

Seperti pada hari itu, tanggal 10 Februari 1959, seluruh tokoh sipil dan militer PRRI berkumpul di Bonjol, Pasaman untuk memperingati Hari Ulang Tahun pertama PRRI dengan sebuah upacara resmi. Dalam upacara tersebut dilakukan pengibaran sang merah putih dengan diiringi nyanyian lagu Indonesia Raya. Pidato disampaikan oleh Ahmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara yang intinya mengajak agar tetap konsisten dengan tujuan perjuangan semula.

5 Juli 1959: Dekrit Presiden

Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengumumkan dekrit yang berisi pembubaran konstituante, pembatalan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD 1945. Tokoh-tokoh politik PRRI menentangnya karena dalam UUD 1945 Presiden menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Itu artinya Soekarno yang selama ini mereka lawan semakin kokoh kedudukannya. Sementara bagi tokoh-tokoh militer, kembali ke UUD 1945 berarti secara tidak langsung akan menguatkan peran militer. Mereka merasa akan terbuka peluang untuk berkompromi. Dari sini terjadi semacam peselisihan paham di antara pemimpin sipil dan militer PRRI.

8 Februari 1960: Proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI)

Sejak pertemuan di Pagadis setahun sebelumnya, para pemimpin PRRI telah membangun kontak dengan daerah-daerah bergolak lainnya. Dan diantara mereka bersepakat untuk mengubah struktur negara Republik Indonesia menjadi sistem federasi dengan nama Republik Persatuan Indonesia (RPI)

RPI diproklamasikan di Bonjol dua tahun setelah PRRI diproklamasikan dan terdiri dari 10 (sepuluh) negara bagian yang otonom yaitu Negara Islam Aceh, Tapanuli/Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Negara Islam Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Maluku Selatan. Pemerintah pusatnya dirancang tidak bersifat sentralistik dan hanya mengurusi urusan tertentu saja seperti luar negeri, pertahanan dan perhubungan.

Yang menarik adalah RPI dianggap sebagai kelanjutan dari negara RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan lambang negara, lagu kebangsaan, dasar negara dan bahasa adalah tetap seperti yang ada di negara RI. Bedanya adalah RPI memiliki konstitusi sendiri sebagai pengganti UUD 1945. Konsitusi ini cakupannya lebih luas, mengubah bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi, memberi otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah serta mencantumkan pasal-pasal yang rinci tentang Hak Azazi Manusia (HAM).

Pada titik ini, sebagian pimpinan militer dan sipil tidak sepenuhnya menerima konsep RPI. Bagi kalangan militer, yang mereka perjuangkan adalah penggantian rezim Jakarta yang semakin condong ke komunis, dan bukan UUD 1945, apalagi negara RI. Bagi sebagian pemimpin sipil, terutama yang berasal dari luar partai Masyumi,  memasukkan Aceh dan Sulawesi Selatan yang berjuang menentang pemerintahan Soekarno atas dasar ideologi Islam, sangatlah berbeda dengan tujuan perjuangan PRRI. Apalagi di dalam PRRI/Permesta sendiri ada daerah yang mayoritas bukan Islam seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Mereka khawatir ini akan menjerumuskan PRRI seperti gerakan Darul Islam.

Apalagi jika selama ini PRRI tidak mengangkat kepala negara, namun RPI mengangkat Mr. Sjafruddin sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri. Semakin nyata perbedaannya dengan PRRI.

Juni 1960: Pembentukan Komando Tunggal

Meskipun Ahmad Husein sendiri selaku pimpinan militer PRRI sepertinya tidak keberatan dengan adanya RPI, namun ia menyadari bahwa ada pertentangan di kalangan anak buahnya. Termasuk dengan wakilnya, Mayor Djohan yang kukuh dengan pendapatnya bahwa PRRI tidak bermaksud untuk membubarkan negara RI, melainkan hanya untuk membentuk pemerintahan alternatif sementara.

Agar perbedaan pandangan itu tidak menjadi perpecahan, Husein memutuskan untuk membentuk Komando Tunggal dengan ia sebagai pimpinannya dan Mayor Djohan sebagai wakilnya. Namun para pimpinan sipil, khususnya Natsir, menilai hal itu sebagai upaya militer menjauhkan diri dari RPI. Anggapan itu setidaknya membuat ketegangan di kalangan para pemimpin PRRI bertambah-tambah.

Juli 1960: Koto Tinggi jatuh

Pasukan APRI yang saat ini mayoritas berasal dari divisi Diponegoro yang bernuansa kiri bergerak lebih ofensif daripada divisi Brawijaya yang sebagian besarnya telah ditarik. Pada akhirnya mereka menduduki Koto Tinggi, dimana para pemimpin sipil PRRI bermarkas. Sjafruddin, Natsir, Burhanuddin dan Asaat terpaksa mengungsi jauh ke dalam jantung rimba Bukit Barisan.

Akhir 1960: Kembalinya enam pemuda 

Sjofjan Kahar, adik Ahmad Husein yang berangkat ke Okinawa bersama enam temannya dengan pesawat Catalina dari danau Singkarak sehari sebelum Padang diserang APRI, kembali pulang. Mereka mendarat di Aceh lalu berjalan kaki melewati hutan-hutan pegunungan Bukit Barisan selama berbulan-bulan agar dapat bergabung dengan pasukan Ahmad Husein di Solok Selatan.

Selain ilmu militer dan komunikasi radio, mereka sekaligus juga membawa sebuah peralatan komunikasi canggih yang bisa menjangkau Permesta di Sulawesi bahkan ke luar negeri. Alat itu juga bisa mengirim dan menerima pesan morse dan radiogram dari peralatan milik pemerintah maupun tentara. Ini tentu berguna untuk penyadapan.

3 Maret 1961: Operasi Pemanggilan Kembali

Setelah 3 tahun berperang, tidak satupun pentolan PRRI dapat ditangkap. Ditambah dengan adanya informasi tentang perselisihan antara sipil dan militer di tubuh PRRI, KSAD Jenderal Nasution melancarkan operasi Pemanggilan Kembali yang ditujukan agar para perwira pemberontak "kembali ke pangkuan ibu pertiwi". Ia pun mengirim kontak-kontak untuk berunding dengan para perwira tersebut ke Sumatera, Sulawesi dan Singapura. Nasution pun menjanjikan bahwa mereka "akan diberi kedudukan yang sesuai". Bahkan Presiden Soekarno sendiri menjanjikan amnesti dan abolisi bagi para prajurit PRRI/Permesta yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum Oktober 1961.

Menanggapi hal ini, Simbolon berkata kepada Husein bahwa "inilah satu-satunya jalan terbaik bagi kita saat ini, " mengingat posisi mereka yang "sudah tidak memiliki harapan lagi". Menurut Simbolon, Husein setuju dengannya.

Pertengahan 1961: Kontak pertama

Radio yang dioperasikan Sjofjan Kahar berhasil kontak dengan radio Kodam III/!7 Agustus di Padang. Selanjutnya dilakukan komunikasi untuk menjajaki kemungkinan dan persyaratan perundingan damai. Akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan kurir sebagai kontak lanjutan.

Husein pun mengutus Kapten Djamhur Djamin untuk bertemu dengan Komandan Kodam 17 Agustus Kolonel Soerjosoempeno di Padang. Namun sesampainya di Padang ia tidak diperlakukan sebagai utusan namun malah dianggap menyerahkan diri. Hal ini tentu membuat kecewa Husein dan pasukannya sehingga mereka menyatakan akan terus berjuang.

Namun beberapa pekan kemudian, Kodam III/17 Agustus mengirim radiogram yang berisi bahwa mereka siap menerima utusan Husein berikutnya. Bahkan setelah urusan mereka selesai, Husein dan pasukannya dijanjikan akan bertemu Deputi KSAD Wilayah Sumatera Mayjen Soeprapto.

Husein mulai menimbang-nimbang tawaran itu bersama para pembantunya. Salah satunya adalah menganggap bahwa persoalan PRRI tidak ada kalah menangnya, sehingga "tidak ada soal tuntut menuntut". Selain itu mereka juga mempertimbangkan masa depan para pelajar dan mahasiswa yang sampai saat itu sebenarnya masih mendukung PRRI. Karena bagi Husein "generasi muda harus diselamatkan, karena merekalah penerus perjuangan kita di masa depan."


Selanjutnya: Bagian 9: Menyerah dan Kalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 8: Perselisihan Internal dan Kontak Eksternal)

Sebelumnya di Bagian 7: Perang Saudara Januari 1959: Pertemuan para pemimpin sipil Pagadis adalah sebuah desa terpencil perbatasan Kabupaten...