Jumat, 25 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 3: Dewan Banteng)



...Ketika kegelisahan dan kegusaran bertemu...


Agustus 1956: Misi Gubernur Roeslan ke Jakarta
Gubernur Roeslan dan DanRem Let.Kol. Ahmad Husein memimpin delegasi Sumatera Tengah ke Jakarta untuk melaporkan buruknya kondisi daerah dan meminta perhatian pemerintah pusat. Namun belakangan sepertinya misi ini tidak menunjukkan hasil.

21 September 1956: Silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di Jakarta
Atas prakarsa dua orang perwira  eks Divisi Banteng yang sedang belajar di Akademi Hukum Militer di Jakarta yaitu Jusuf Nur dan Djamhur Djamin,  diadakan silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di kompleks perfilman Persari milik Djamaluddin Malik. Acara ini dihadiri oleh 123 orang yang umumnya berdomisili di Jakarta. Dari Padang hadir antara lain Gubernur Roeslan Moeljohardjo, Komandan Resimen 4/TT-I Let.Kol. Ahmad Husein, Komandan Batalyon 140 Kapten Nurmatias serta beberapa perwira Banteng yang sudah mengundurkan diri dari dunia militer. Silaturrahmi ini menghasilkan rencana reuni eks Divisi Banteng guna menjaga tali persaudaraan sekaligus membicarakan nasib para prajurit dan para mantan prajurit serta keluarganya.

11 Oktober 1956: Pembentukan panitia reuni eks Divisi Banteng di Padang
Dalam rapat yang diselenggarakan di gedung Kencana Padang, disepakati menunjuk Let.Kol.Ahmad Husein sebagai ketua panitia reuni serta melibatkan para mantan Panglima Divisi Banteng dalam kepanitiaan reuni. Sementara Panglima TT-I/Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon ditunjuk sebagai penasehat dan KSAD A.H. Nasution sebagai pelindung. Hasil rapat juga memutuskan bahwa setiap bekas perwira Banteng dengan pangkat Letnan ke atas diminta menyumbang Rp. 50,- per orang untuk acara reuni. Namun dalam prakteknya banyak juga yang menyumbangkan angka yang jauh lebih besar.

20-24 Nopember 1956: Berdirinya Dewan Banteng
Suasana reuni eks Divisi Banteng di Padang dengan kemeja putihnya
Kota Padang penuh sesak dengan lebih 1.000 orang mantan prajurit Banteng yang sedang be-reuni. Juga hadir Panglima TT-I/Bukit Barisan Kol. Maludin Simbolon  dan Panglima TT-II/Sriwijaya Let.Kol Barlian. Sedangkan KSAD Nasution diwakili oleh Kol. Sadikin. Uniknya, peserta sepakat menentukan dress code kemeja putih dengan dasi. Tujuannya agar tidak ada strata dan kesungkanan akibat perbedaan pangkat dan jabatan dalam berbicara. Betul-betul egaliter ala minang.
Reuni menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah pusat agar segera menyelenggarakan otonomi yang luas dan mengisi jabatan-jabatan penting di Provinsi Sumatera Tengah serta membentuk komando utama tentara di Sumatera Tengah. Disamping itu juga meminta untuk mengaktifkan kembali Divisi Banteng sebagai satu korp dalam Angkatan Darat serta menghapus sistem sentralisasi pemerintahan yang menyebabkan "birokrasi yang tidak sehat, pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah serta hilangnya inisiatif daerah dan kontrol." Secara khusus reuni juga menuntut perbaikan di jajaran pimpinan Angkatan Darat dan negara demi "keutuhan Negara Republik Indonesia" serta meminta pemerintah pusat agar mengusahakan kehidupan yang lebih layak kepada para bekas pejuang, veteran, janda dan yatim piatu akibat perjuangan kemerdekaan.
Untuk menjalankan keputusan reuni ini, para peserta sepakat membentuk wadah yang bernama Dewan Banteng yang diketuai oleh Let.Kol. Ahmad Husein. Dewan ini terdiri dari 17 orang yang berasal dari tentara aktif (8 orang), veteran (2 orang), polisi (2 orang), pamong praja (3 orang), ulama (1 orang) dan ninik mamak (1 orang). Dari sisi daerah asal, anggota Dewan Banteng berasal dari Sumatera Barat (11 orang), Riau (3 orang), Jambi (1 orang), Jakarta (2 orang). Komposisi ini dianggap cukup mewakili seluruh elemen masyarakat yang ada di Sumatera Tengah.

27 Nopember 1956: Misi Dewan Banteng ke Jakarta
Sesuai amanat peserta reuni, satu delegasi Dewan Banteng bertolak ke Jakarta untuk menyampaikan hasil-hasil reuni kepada Presiden Soekarno, namun gagal untuk bertemu Presiden dan hanya bisa bertemu dengan PM Ali di kediamannya. Saat itu PM Ali berjanji akan memperhatikan hasil-hasil reuni tersebut.

1 Desember 1956: Wakil Presiden M. Hatta mengundurkan diri
Drs. M. Hatta
Bagaikan petir di siang bolong, dwi tunggal Soekarno-Hatta pecah. Meskipun tidak berkaitan langsung dengan tuntutan daerah, namun pengunduran diri Bung Hatta semakin menambah kekecewaan orang Minang dan rakyat Sumatera Tengah  terhadap pemerintah pusat. Asumsinya adalah Bung Hatta yang dianggap representasi dan kebanggaan daerah di pusat sudah tidak dianggap dan dipinggirkan dari pentas politik nasional.

Desember 1956: Dukungan masyarakat kepada Dewan Banteng
Dewan Banteng dengan hasil reuninya segera mendapat dukungan rakyat Sumatera Tengah. Berturut-turut Tentara Pelajar melalui kongresnya tanggal 11-13 Desember 1957, Persatuan Wali Nagari se-Sumatera Tengah (Perwanest) melalui konferensi tanggal 14-15 Desember 1957 dan para alim ulama yang dimotori oleh Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) melalui kongres tanggal 21 Desember 1957 menyatakan dukungannya kepada Dewan Banteng. Bahkan Perwanest sampai mengeluarkan deadline tanggal 1 Maret 1957 bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan keputusan-keputusan reuni eks Divisi Banteng. Jika tidak, putus hubungan!

16 Desember 1956: Ikrar bersama perwira TT-I/Bukit Barisan di Medan
Pada tanggal 16 Desember 1956 diadakan pertemuan 48 orang perwira yang memegang jabatan kunci di wilayah TT-/Bukit Barisan. Dalam pertemuan itu Let.Kol. Ahmad Husein menyatakan bahwa jika pertentangan antara pusat dan daerah tidak terselesaikan, maka ia selaku Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen akan mengambil tindakan di wilayahnya.
Pertemuan ini ditutup dengan ikrar yang ditandatangani oleh seluruh peserta termasuk Panglima TT-I Kol. Maludin Simbolon, Kepala Staf TT-I Let.Kol Djamin Ginting dan seluruh Komandan Resimen di jajaran TT-I/Bukit Barisan, termasuk Ahmad Husein. Salah satu isinya adalah memberikan dukungan kepada keputusan hasil reuni eks Divisi Banteng dan mengedepankan jiwa kesetiakawanan. 
Sebuah upacara kecil mengakhiri pertemuan berupa toast yang diikuti pembantingan gelasnya ke lantai hingga berderai. Sebuah selebrasi yang unik untuk menunjukkan jiwa korsa.

20 Desember 1956: Gubernur Roeslan menyerahkan Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng
Let.Kol. Ahmad Husein berpidato setelah timbang terima dari Gubernur Roeslan
Kota Bukittinggi yang dingin malam itu tenang, sama seperti malam-malam lainnya. Hanya di seputaran gedung Tamu Agung (sekarang Istana Bung Hatta) terlihat kesibukan. Banyak mobil dan para pejabat teras Sumatera Tengah mondar-mandir.
Kol. Ismael Lengah yang datang sore itu dari Padang "menyelundupkan" seorang wartawan ke dalam gedung. Wartawan itu bernama Soewardi Idris, wakil pimpinan redaksi harian Njata yang terbit di Bukittinggi, dimana Ismael Lengah menjabat sebagai Pemimpin Umumnya. Ismael Lengah tidak mengatakan apa-apa kepada Soewardi selain bahwa malam itu "mungkin akan terjadi sesuatu". Dan memang, didalam gedung Soewardi mendapati suasana hening dan mencekam "seolah-olah menunggu malaikat". 
Yang ditunggu itu baru ketahuan bentuknya pada pukul 19.45 saat Sekjen Dewan Banteng membacakan "Naskah Timbang Terima Jabatan Kepala Daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo kepada Ketua Dewan Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein."  Selesai pembacaan, dengan langkah ringan Gubernur Roeslan maju ke depan, mencabut pena dari sakunya dan menandatangani naskah tersebut, lalu kembali ke kursinya. Seolah-olah yang ditandatanganinya adalah surat administrasi kantor biasa dan bukan sesuatu yang luar biasa.
Sikap santuy Gubernur Roeslan ini terjawab dalam pidatonya setelah itu. Ia menyatakan bahwa ia menyerahkan kendali pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng dengan penuh kesadaran dan keinsyafan karena "ini adalah satu-satunya jalan untuk menyalurkan keinginan-keinginan rakyat Sumatera Tengah agar gelora perasaan tidak puas dapat dibendung". Selanjutnya Gubernur Roeslan juga menyatakan bahwa ia "yakin pula seyakin-yakinnya bahwa Dewan Banteng khususnya dan rakyat Sumatera Tengah umumnya tidak bermaksud mendirikan negara dalam negara, karena hubungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat pasti akan berjalan normal kembali sekiranya ada satu kabinet yang dapat melenyapkan semua keruwetan dan suasana pertentangan serta perasaan serba tak puas yang mengancam keselamatan negara dan bangsa Indonesia."
Sementara Ketua Dewan Banteng, Let.Kol Ahmad Husein, setelah menandatangani naskah timbang terima jabatan juga memberikan pidato singkat. Ia menyatakan bahwa peristiwa malam itu terjadi karena rakyat Sumatera Tengah sejak lama telah menuntut "pemerintahan yang dapat menjamin keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan yang merata" sementara pimpinan negara "belum lagi berhasil menemukan jalan keluar." Ahmad Husein juga menyatakan bahwa "penyelesaian selanjutnya dengan pemerintah pusat Republik Indonesia yang mendapat kuasa penuh dari Kepala Negara akan berlangsung dengan segera."
Terlihat bahwa pidato Gubernur Roeslan dan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein memiliki kecocokan. Bahkan dalam penutup pidatonya Gubernur Roeslan meminta kepada seluruh pejabat dan masyarakat Sumatera Tengah agar membantu Ketua Daerah Sumatera Tengah Let.Kol Ahmad Husein. "Ketua Daerah" adalah istilah yang dipilih oleh Ahmad Husein dan tidak pernah ada dalam aturan ketatanegaraan. Mungkin hal itu dibuat untuk menegaskan bahwa ia bukan gubernur yang diangkat pemerintah pusat.
Setelah timbang terima yang berlangsung singkat itu pimpinan Dewan Banteng bergeser ke RRI Bukittinggi untuk memberitahukan peristiwa penting yang baru saja berlangsung. RRI Padang diminta untuk merelay-nya agar berita itu sampai ke Jakarta malam itu juga.


Selanjutnya di Bagian 4: Daerah Bergolak

Kamis, 10 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 2: Kegusaran Para Politisi)


Sementara itu, pada saat para tentara bergelut dengan kegelisahannya, para politisi di Sumatera Tengah juga punya kegusaran tersendiri....

Januari 1950: Aktifnya Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah
Mr. M. Nasroen
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada akhir Desember 1949, maka pemerintahan provinsi Sumatera Tengah yang praktis beku sejak dibentuk tahun 1948 karena agresi militer Belanda,  mulai bergerak kembali. Kedudukan ibukotanya tetap berada di Bukittinggi dengan gubernur Mr. M. Nasroen, sebagai pengganti gubernur militer zaman revolusi Mr. Sutan Muhammad Rasyid yang ditarik ke pemerintah pusat. Sebelumnya Mr. M. Nasroen adalah Gubernur Muda Sumatera Barat.

April 1950: Mosi Tan Tuah
Kota Bukittinggi yang dingin sontak berubah panas ketika sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) memunculkan sebuah mosi yang dimotori oleh anggotanya Tan Tuah Bagindo Ratu. Mosi tak percaya yang dikenal sebagai mosi Tan Tuah menuntut pemerintah pusat menarik Gubernur Nasroen dari posisinya dan menggantinya dengan Iljas Jacoub, ketua DPR-ST. Alasannya, Gubernur Nasroen dinilai kurang cakap dan terlalu moderat terhadap eks pejabat-pejabat zaman kolonial. Dikabarkan Gubernur Nasroen sempat jatuh sakit dan meminta cuti satu bulan setelah mosi ini. Selama Gubernur Nasroen cuti, urusan pemerintahan dijalankan oleh salah seorang anggota Dewan Pemerintahan Sumatera Tengah, S.J. St. Mangkuto.

9 Agustus 1950: Kepergian Gubernur Nasroen
Akhirnya Gubernur Nasroen ditarik ke Kementerian Dalam Negeri. Praktis kepergian ini membuat Sumatera Tengah saat itu tidak memiliki seorang kepala daerah. Adapun Mr. M. Nasroen sendiri jatuah asok karena  setahun sesudahnya diangkat sebagai Menteri Kehakiman pada kabinet Sukiman (1951-1952). 

28 Oktober 1950: Penolakan pengangkatan Gubernur Roeslan
Roeslan Moeljohardjo
Untuk mengisi posisi Gubernur Sumatera Tengah, Perdana Menteri Mr. Muhammad Natsir mengangkat Roeslan Moeljohardjo sebagai acting Gubernur. Alasannya meskipun Roeslan seorang Jawa tetapi ia memiliki pengalaman administrasi dan pernah bekerja di Bukittinggi sebagai Asisten Residen sebelum agresi militer Belanda tahun 1948. Jadi istilahnya sudah kenal medan. Alasan lainnya, Roeslan berasal dari Partai Masjumi, sama dengan sebagian besar anggota DPR-ST dan sama juga dengan PM Natsir. Harapannya tentu agar lebih mudah bekerjasama.
Namun  apa daya, DPR-ST menolak karena nama Roeslan tidak termasuk dalam daftar nama yang mereka usulkan kepada pemerintah pusat setelah Iljas Jacoub menyatakan menolak untuk dicalonkan. Selanjutnya DPR-ST  tidak menyetujui diadakannya serah terima jabatan dari penjabat Gubernur S.J. St. Mangkuto ke pejabat baru. Ironisnya, Roeslan sudah berada di Padang untuk mengikuti acara pelantikan dan serah terima jabatan itu. Akhirnya ia terpaksa kembali ke Jakarta pada 20 Desember.

8 Januari 1951: Pembekuan DPR-ST
Mr. M. Natsir
Balik kanannya (calon) Gubernur Roeslan membuat PM Natsir meradang. Sebagai seorang Minang dan ketua Partai Masjumi, pembangkangan DPR-ST yang mayoritas anggotanya berasal dari Partai Masjumi tentu menggusarkannya. Keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1951 yang isinya membekukan DPR-ST.

13 Januari 1951: Pelantikan Gubernur Roeslan
Dengan bekunya DPR-ST, pelantikan Gubernur Roeslan sekaligus serah terima jabatan dari S.J. St. Mangkuto akhirnya terlaksana pada 13 Januari 1951. Selanjutnya kabinet Natsir menjanjikan akan membentuk DPR-ST baru dalam waktu 6 bulan. Sebuah janji yang tidak pernah terlaksana, karena 4 bulan kemudian, tepatnya pada bulan April 1951, kabinet Natsir jatuh. Dan bagi kabinet-kabinet selanjutnya, ternyata pembentukan DPR-ST yang baru bukanlah prioritas.

1951 - 1955: Upaya mengaktifkan DPR-ST
Meskipun kabinet di Jakarta silih beraganti akibat sistem demokrasi parlementer yang dianut pada saat itu, upaya untuk mencabut pembekuan DPR-ST terus dilakukan oleh para politisi Sumatera Tengah. Namun upaya itu terasa semakin menjauh sejalan dengan tidak dilibatkannya orang-orang Partai Masjumi dalam kabinet Ali Sostroamidjojo (1953) dari PNI yang juga didukung PKI. Alasannya tentu jelas, perbedaan ideologi antara PNI yang Nasionalis dan PKI yang komunis dengan Masjumi yang menganut asas Islam. Sumatera Tengah sebagai basis Partai Masjumi tentu langsung terimbas karena tidak lagi memiliki orang yang akan menggemakan kepentingannya di kabinet. Namun demikian, alasan yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin selaku Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali adalah bahwa pembentukan DPR-ST lebih baik ditunda sampai adanya "pengaturan baru". Hal ini berarti bahwa semakin tidak jelas kapan rakyat Sumatera Tengah akan memiliki perwakilan politiknya lagi.

Juni 1955: Gubernur Roeslan mengeritik Jakarta
Pada titik ini Gubernur Roeslan, yang berasal dari Partai Masjumi, mengambil posisi sebagai pembela kepentingan daerah Sumatera Tengah. Khususnya tentang minimnya alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Roeslan secara terbuka melalui media massa mengecam pemerintah pusat yang "tidak mengalokasikan dana sedikitpun di Sumatera Tengah untuk membangun  jalan dan jembatan, gedung sekolah, rumah sakit, irigasi, membeli kapal dan lain seterusnya". Kritikan Gubernur Roeslan ini menjadi buah bibir masyarakat Sumatera Tengah. Apalagi sebelumnya dalam suatu kesempatan di Padang Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengungkap kepada publik bahwa 71% ekspor Indonesia saat itu berasal dari Sumatera. Sebuah perbandingan yang ironis.
Bagi Gubernur Roeslan sendiri kritikannya kepada pemerintah pusat menunjukkan bahwa meskipun ia orang Jawa (dan sempat ditolak kedatangannya), tetapi jiwanya Sumatera Tengah. Masyarakatpun membalasnya dengan memberi julukan Sutan Malin Marajo, sebuah nama khas Minang yang bunyinya mirip dengan Roeslan Moeljohardjo.

29 September 1955: Pemilihan Umum
Tanda gambar Masyumi pada Pemilu 1955
Alih-alih membaik, hasil pemilu 1955 membuat posisi Sumatera Tengah di mata Jakarta semakin terjepit. Di Sumatera Tengah, Partai Masjumi berjaya dengan 49 % suara, diikuti partai Islam lainnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan 28 % suara. PKI hanya mampu menguntit dengan 7 % suara. Sementara secara nasional PNI memimpin dengan 22 % diikuti Masjumi (21 %), Nahdhatul Ulama (18 %) dan PKI (16 %).
Meskipun prestasi PNI dan Masyumi secara nasional terlihat berimbang, namun konfigurasi pemilih menunjukkan bahwa suara Masjumi diperoleh dari luar Jawa, sedangkan tiga partai lainnya (PNI, NU dan PKI) menguasai Jawa. Sehingga ketika ketiga partai penguasa Jawa mendukung kabinet Ali dari PNI untuk kembali berkuasa, posisi daerah-daerah yang menjadi lawan politiknya otomatis termarjinalkan. Apalagi bagi Sumatera Tengah dimana suara PNI jeblok. Dari 11 anggota DPR RI utusan Sumatera Tengah hasil Pemilu 1955, tidak satupun wakil dari PNI. Akibatnya teriakan dari Sumatera Tengah seolah antara terdengar dan tidak di tengah hiruk pikuknya politik di ibukota negara. 
Kekecewaan itu pun semakin bertambah-tambah.

Senin, 07 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 1: Keresahan Para Tentara)


Pinjaik panjuluak bulan
Tibo di bulan patah tigo
Di langik hari nan hujan
Di bumi satitiak tido

(Let.Kol. Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng, 10 Februari 1958)

Pengantar: 
Masa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) mungkin adalah masa terkelam dalam sejarah perjalanan masyarakat Minang (dan Sumatera Tengah). Saking kelamnya, informasi tentang PRRI makin lama makin tak terdengar dan hilang dari telinga publik, termasuk di telinga anak-anak Minang sendiri. Informasinya sendiri bagalau alias tak jelas. Ada yang menyebut PRRI adalah sebuah pemberontakan, namun ada pula yang menyebut PRRI hanya menuntut otonomi dan keadilan pembangunan kepada pemerintah pusat. Bahkan ada lagi yang tidak bisa membedakan antara PRRI dan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang terjadi 10 tahun sebelumnya.
Untuk itu tulisan ini berupaya menyampaikan kronik alias babad alias rentetan peristiwa tentang PRRI dan kejadian yang melatarbelakanginya. Sedangkan penilaian apa dan bagaimananya diserahkan sepenuhnya kepada  sidang pembaca.
Dasar penyusunan kronik ini ada 4 buah buku. Satu, Perjalanan dalam Kelam yang ditulis oleh Soewardi Idris, seorang wartawan senior. Ia adalah 'orang dalam' PRRI karena terlibat dalam penerbitan buletin stensilan PRRI yang bernama Analisa. Dua, Perlawanan Seorang Pejuang: Biografi Kolonel Ahmad Husein yang ditulis bersama oleh Mestika Zed dan Hasril Chaniago, kombinasi antara sejarawan dan wartawan. Tiga, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 yang ditulis oleh sejarawan asing dari Cornell University Audrey Kahin. Empat, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 karya Rosihan Anwar, seorang tokoh wartawan nasional. 
Dengan kombinasi ini diharapkan rangkaian cerita yang terjalin dalam beberapa bagian tulisan ini menjadi utuh. 
Selamat membaca!

 ****

1 Januari 1946: Terbentuknya Divisi III/Tentara Sumatera
Kol. Dahlan Djambek
Divisi III/TS berkedudukan di Bukittinggi meliputi Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dipimpin oleh Kolonel Dahlan Djambek. Ia adalah seorang perwira eks Gyugun (tentara rakyat bentukan Jepang), sekaligus anak dari ulama besar Syekh Djamil Djambek dari Bukittinggi. Divisi ini dikenal dengan nama panggilan Divisi Banteng, sebagaimana juga halnya dengan Divisi Gajah di Sumatera bagian utara dan Divisi Garuda di Sumatera bagian selatan.
Mengapa di Bukittinggi? Karena selama masa pendudukan Jepang Bukittinggi telah menjadi markas bagi Divisi ke-25 Angkatan Darat Jepang yang wilayahnya meliputi Asia Tenggara, yang dipindahkan dari Singapura pada Mei 1943. Jika Jepang memandang Bukittinggi sebagai tempat yang strategis, tentu begitu pula pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada waktu itu.

25 Januari 1946: Pembentukan TRI
Seiring dengan bergantinya istilah TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), maka Divisi III/Banteng juga menyesuaikan diri dengan membentuk 4 Resimen, 3 di Sumatera Barat (Bukittinggi, Sawahlunto dan Lubuk Alung) dan 1 di Riau (Pekanbaru).

Juli 1946: Komandemen Sumatera di Bukittinggi
Peran strategis Sumatera Tengah bagi ketentaraan nasional di Sumatera dilanjutkan dengan pembentukan Komandemen Sumatera yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo. Kedudukannya masih di Bukittinggi.

3 Juni 1947: Perubahan TRI menjadi TNI
Kol. Ismael Lengah
Divisi III/Banteng ikut menyesuaikan perubahan TRI menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan perubahan nama menjadi Divisi IX/Banteng. Resimen pun ditambah 1 di Rengat (Riau) sementara 1 Resimen memindahkan markasnya dari Lubuk Alung ke Solok, yaitu resimen-nya Let.Kol Ahmad Husein. Pucuk pimpinan Divisi pun berganti dengan Kolonel Ismael Lengah, juga seorang perwira eks Gyugun. Pimpinan sebelumnya, Kolonel Dahlan Djambek ditarik ke Komandemen Sumatera di Bukittinggi. Jumlah personil pun membengkak menjadi lebih dari 23.000 orang dalam 30 batalyon karena TNI juga melebur seluruh laskar dan barisan rakyat yang ada.

Maret 1948: UU Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) Angkatan Perang
Konsolidasi ketentaraan terus dilakukan. Dengan UU RERA ini, brigade kerakyatan ditiadakan dalam TNI dan perwira dengan pangkat Letnan Dua ke atas diturunkan pangkatnya satu tingkat. Disini mulai muncul kegelisahan para tentara karena dua hal. Pertama, penurunan pangkat perwira kabarnya tidak merata di Jawa, tetapi di luar Jawa tanpa kecuali. Kedua, waktunya untuk mengurangi pasukan dianggap kurang tepat karena kabar bahwa Belanda akan  melakukan agresi  telah semakin santer.
Kolonel Ismael Lengah menyampaikan hal ini sampai ke Jogjakarta, namun pulang dengan tangan hampa. Sampai akhirnya Bung Hatta turun tangan agar RERA dilaksanakan di kampungnya, Sumatera Barat. Turun pangkatlah para perwira, kecuali Komandan Divisi sebagai pengecualian.

Nopember 1948: Komandemen Sumatera menjadi Tentara Teritorium Sumatera
Konsolidasi selanjutnya adalah perubahan nama Komandemen Sumatera menjadi Tentara Teritorium Sumatera dengan Panglima TTS diangkat Kolonel Hidayat untuk menggantikan Jenderal Mayor Soehardjo. Kedudukannya tetap di Bukittinggi.

Desember 1948: Pemisahan Komando TNI Teritorial Sumbar dan Riau
Kolonel Hidayat selaku PTTS membuat kebijakan memisahkan komando teritorial Sumatera Barat dan Riau. Disini muncul kegelisahan baru para perwira. Karena ini sama artinya dengan membubarkan Divisi Banteng. Ditambah lagi komandan mereka, Ismael Lengah, ditarik ke Jogjakarta untuk diperbantukan ke Panglima Besar Soedirman tanpa bisa ditawar lagi. Ia berangkat  dari lapangan terbang Piobang di Payakumbuh tanggal 10 Desember 1948. Selanjutnya sebagai Komandan Teritorial Sumatera Barat diangkat Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Meskipun demikian, dalam praktiknya anak buahnya tetap menganggap Dahlan Ibrahim sebagai Panglima Divisi Banteng.

Desember 1948 - Juli 1949: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer lagi, setelah tahun sebelumnya melakukan hal yang sama. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap di Jogjakarta. 
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, dan segera mengungsi ke Halaban di Kab. 50 Kota. Selanjutnya para pimpinan PDRI bergerak di jantung rimba raya Sumatera antara Koto Tinggi Suliki (50 Kota), Sumpur Kudus (Sijunjung) dan Bidar Alam (Solok Selatan). Kecuali PTTS Kol. Hidayat yang ternyata bergerak ke utara dan terus ke Aceh dan menetap di sana sampai perang usai.
Dalam kondisi ini kekuatan 23.000 anggota Divisi Banteng menjadi benteng dalam melindungi pusat  dan para pejabat PDRI. Di front utara, Koto Tinggi dipertahankan oleh pasukan Let.Kol Dahlan Djambek yang bermarkas di seputaran Kamang (Agam). Sedang di front selatan, Bidar Alam dipertahankan oleh pasukan Mayor Ahmad Husein yang bermarkas di seputaran Alahan Panjang dan Muara Labuh (Solok Selatan). Kedua-duanya dengan pangkat baru hasil RERA. Terbukti sampai PDRI usai, kedua lokasi tersebut tidak tersentuh oleh Belanda.

Desember 1949: Penciutan menjadi Brigade Banteng
Setelah gencatan senjata dengan Belanda tercapai, PTTS Kolonel Hidayat kembali dari Aceh. Ia kembali melanjutkan RERA yang belum tuntas dulu yaitu menciutkan Divisi Banteng menjadi Brigade Banteng dengan formasi 6 batalyon saja. Artinya pasukan harus disusutkan dari 23.000 menjadi 3.000-an personil. Caranya? Yang merasa tidak cakap diminta mundur atau mengajukan pengunduran diri. Banyak yang kecewa, termasuk Komandan Divisi Banteng sendiri Let.Kol Dahlan Ibrahim yang selanjutnya mengajukan pengunduran diri dari ketentaraan. Untuk itu PTTS menunjuk Let.Kol Dahlan Djambek sebagai komandan Brigade, konon dengan ancaman akan menembak Dahlan Djambek dengan tangannya sendiri jika tidak bisa bikin beres urusan penyusunan brigade ini.
Akhirnya brigade yang ciut ini terwujud dan menempati gedung Gementeehuis (Balai Kota) di Padang.

Juni 1950: Pemecahan Brigade Banteng menjadi Brigade "EE" dan "DD"
Ternyata penciutan masih belum usai. Brigade Banteng dipecah lagi menjadi Brigade "EE" di Sumatera Barat dan Brigade "DD" di Riau. Keduanya menginduk ke markas Komando Tentara Teritorium I (TT-I) yang baru di bentuk di Medan. Sejalan dengan itu Let.Kol Dahlan Djambek ditarik ke Jakarta dan digantikan Let.Kol A. Thalib sebagai komandan brigade.
Kegusaran para perwira pun tak terbendung karena merasa diperlakukan tidak adil. Dari 3 divisi yang ada di Sumatera, kenapa mesti divisi Banteng yang dipreteli, sementara Medan dan Palembang bertahan? Mereka merasa jasa tentara Sumatera Tengah dalam mempertahankan eksistensi republik, khususnya masa PDRI, tidak mendapat penghargaan yang selayaknya.  
Protes pun dilancarkan sampai ke Jakarta. Namun dalam tradisi militer keputusan adalah keputusan. Terima tanpa reserve!

April 1952: Peleburan Brigade "EE" dan "DD" menjadi Resimen 4
Letkol Ahmad Husein
Riwayat Divisi Banteng benar-benar tamat setelah Brigade "EE" dan "DD" dilebur lagi menjadi satu resimen dengan wilayah kerja Sumbar - Riau. Resimen ini menginduk ke Tentara Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan di Medan. Namanya Resimen 4. Sebagai komandan ditunjuk Mayor Ahmad Husein yang sejak Agustus 1951 sudah menjadi komandan Brigade "EE" menggantikan Let.Kol A. Thalib yang ditarik sebagai Kepala Staf TT-I.
Divisi yang pada masa revolusi begitu gagah perkasa dengan kekuatan 5 resimen dan memiliki 30 batalyon kini menyusut menjadi 1 resimen saja. Bagaimanapun hal ini tentu menimbulkan kepedihan bagi personilnya.


Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...