Kamis, 10 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 2: Kegusaran Para Politisi)


Sementara itu, pada saat para tentara bergelut dengan kegelisahannya, para politisi di Sumatera Tengah juga punya kegusaran tersendiri....

Januari 1950: Aktifnya Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah
Mr. M. Nasroen
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada akhir Desember 1949, maka pemerintahan provinsi Sumatera Tengah yang praktis beku sejak dibentuk tahun 1948 karena agresi militer Belanda,  mulai bergerak kembali. Kedudukan ibukotanya tetap berada di Bukittinggi dengan gubernur Mr. M. Nasroen, sebagai pengganti gubernur militer zaman revolusi Mr. Sutan Muhammad Rasyid yang ditarik ke pemerintah pusat. Sebelumnya Mr. M. Nasroen adalah Gubernur Muda Sumatera Barat.

April 1950: Mosi Tan Tuah
Kota Bukittinggi yang dingin sontak berubah panas ketika sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) memunculkan sebuah mosi yang dimotori oleh anggotanya Tan Tuah Bagindo Ratu. Mosi tak percaya yang dikenal sebagai mosi Tan Tuah menuntut pemerintah pusat menarik Gubernur Nasroen dari posisinya dan menggantinya dengan Iljas Jacoub, ketua DPR-ST. Alasannya, Gubernur Nasroen dinilai kurang cakap dan terlalu moderat terhadap eks pejabat-pejabat zaman kolonial. Dikabarkan Gubernur Nasroen sempat jatuh sakit dan meminta cuti satu bulan setelah mosi ini. Selama Gubernur Nasroen cuti, urusan pemerintahan dijalankan oleh salah seorang anggota Dewan Pemerintahan Sumatera Tengah, S.J. St. Mangkuto.

9 Agustus 1950: Kepergian Gubernur Nasroen
Akhirnya Gubernur Nasroen ditarik ke Kementerian Dalam Negeri. Praktis kepergian ini membuat Sumatera Tengah saat itu tidak memiliki seorang kepala daerah. Adapun Mr. M. Nasroen sendiri jatuah asok karena  setahun sesudahnya diangkat sebagai Menteri Kehakiman pada kabinet Sukiman (1951-1952). 

28 Oktober 1950: Penolakan pengangkatan Gubernur Roeslan
Roeslan Moeljohardjo
Untuk mengisi posisi Gubernur Sumatera Tengah, Perdana Menteri Mr. Muhammad Natsir mengangkat Roeslan Moeljohardjo sebagai acting Gubernur. Alasannya meskipun Roeslan seorang Jawa tetapi ia memiliki pengalaman administrasi dan pernah bekerja di Bukittinggi sebagai Asisten Residen sebelum agresi militer Belanda tahun 1948. Jadi istilahnya sudah kenal medan. Alasan lainnya, Roeslan berasal dari Partai Masjumi, sama dengan sebagian besar anggota DPR-ST dan sama juga dengan PM Natsir. Harapannya tentu agar lebih mudah bekerjasama.
Namun  apa daya, DPR-ST menolak karena nama Roeslan tidak termasuk dalam daftar nama yang mereka usulkan kepada pemerintah pusat setelah Iljas Jacoub menyatakan menolak untuk dicalonkan. Selanjutnya DPR-ST  tidak menyetujui diadakannya serah terima jabatan dari penjabat Gubernur S.J. St. Mangkuto ke pejabat baru. Ironisnya, Roeslan sudah berada di Padang untuk mengikuti acara pelantikan dan serah terima jabatan itu. Akhirnya ia terpaksa kembali ke Jakarta pada 20 Desember.

8 Januari 1951: Pembekuan DPR-ST
Mr. M. Natsir
Balik kanannya (calon) Gubernur Roeslan membuat PM Natsir meradang. Sebagai seorang Minang dan ketua Partai Masjumi, pembangkangan DPR-ST yang mayoritas anggotanya berasal dari Partai Masjumi tentu menggusarkannya. Keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1951 yang isinya membekukan DPR-ST.

13 Januari 1951: Pelantikan Gubernur Roeslan
Dengan bekunya DPR-ST, pelantikan Gubernur Roeslan sekaligus serah terima jabatan dari S.J. St. Mangkuto akhirnya terlaksana pada 13 Januari 1951. Selanjutnya kabinet Natsir menjanjikan akan membentuk DPR-ST baru dalam waktu 6 bulan. Sebuah janji yang tidak pernah terlaksana, karena 4 bulan kemudian, tepatnya pada bulan April 1951, kabinet Natsir jatuh. Dan bagi kabinet-kabinet selanjutnya, ternyata pembentukan DPR-ST yang baru bukanlah prioritas.

1951 - 1955: Upaya mengaktifkan DPR-ST
Meskipun kabinet di Jakarta silih beraganti akibat sistem demokrasi parlementer yang dianut pada saat itu, upaya untuk mencabut pembekuan DPR-ST terus dilakukan oleh para politisi Sumatera Tengah. Namun upaya itu terasa semakin menjauh sejalan dengan tidak dilibatkannya orang-orang Partai Masjumi dalam kabinet Ali Sostroamidjojo (1953) dari PNI yang juga didukung PKI. Alasannya tentu jelas, perbedaan ideologi antara PNI yang Nasionalis dan PKI yang komunis dengan Masjumi yang menganut asas Islam. Sumatera Tengah sebagai basis Partai Masjumi tentu langsung terimbas karena tidak lagi memiliki orang yang akan menggemakan kepentingannya di kabinet. Namun demikian, alasan yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin selaku Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali adalah bahwa pembentukan DPR-ST lebih baik ditunda sampai adanya "pengaturan baru". Hal ini berarti bahwa semakin tidak jelas kapan rakyat Sumatera Tengah akan memiliki perwakilan politiknya lagi.

Juni 1955: Gubernur Roeslan mengeritik Jakarta
Pada titik ini Gubernur Roeslan, yang berasal dari Partai Masjumi, mengambil posisi sebagai pembela kepentingan daerah Sumatera Tengah. Khususnya tentang minimnya alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Roeslan secara terbuka melalui media massa mengecam pemerintah pusat yang "tidak mengalokasikan dana sedikitpun di Sumatera Tengah untuk membangun  jalan dan jembatan, gedung sekolah, rumah sakit, irigasi, membeli kapal dan lain seterusnya". Kritikan Gubernur Roeslan ini menjadi buah bibir masyarakat Sumatera Tengah. Apalagi sebelumnya dalam suatu kesempatan di Padang Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengungkap kepada publik bahwa 71% ekspor Indonesia saat itu berasal dari Sumatera. Sebuah perbandingan yang ironis.
Bagi Gubernur Roeslan sendiri kritikannya kepada pemerintah pusat menunjukkan bahwa meskipun ia orang Jawa (dan sempat ditolak kedatangannya), tetapi jiwanya Sumatera Tengah. Masyarakatpun membalasnya dengan memberi julukan Sutan Malin Marajo, sebuah nama khas Minang yang bunyinya mirip dengan Roeslan Moeljohardjo.

29 September 1955: Pemilihan Umum
Tanda gambar Masyumi pada Pemilu 1955
Alih-alih membaik, hasil pemilu 1955 membuat posisi Sumatera Tengah di mata Jakarta semakin terjepit. Di Sumatera Tengah, Partai Masjumi berjaya dengan 49 % suara, diikuti partai Islam lainnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan 28 % suara. PKI hanya mampu menguntit dengan 7 % suara. Sementara secara nasional PNI memimpin dengan 22 % diikuti Masjumi (21 %), Nahdhatul Ulama (18 %) dan PKI (16 %).
Meskipun prestasi PNI dan Masyumi secara nasional terlihat berimbang, namun konfigurasi pemilih menunjukkan bahwa suara Masjumi diperoleh dari luar Jawa, sedangkan tiga partai lainnya (PNI, NU dan PKI) menguasai Jawa. Sehingga ketika ketiga partai penguasa Jawa mendukung kabinet Ali dari PNI untuk kembali berkuasa, posisi daerah-daerah yang menjadi lawan politiknya otomatis termarjinalkan. Apalagi bagi Sumatera Tengah dimana suara PNI jeblok. Dari 11 anggota DPR RI utusan Sumatera Tengah hasil Pemilu 1955, tidak satupun wakil dari PNI. Akibatnya teriakan dari Sumatera Tengah seolah antara terdengar dan tidak di tengah hiruk pikuknya politik di ibukota negara. 
Kekecewaan itu pun semakin bertambah-tambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...