Senin, 07 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 1: Keresahan Para Tentara)


Pinjaik panjuluak bulan
Tibo di bulan patah tigo
Di langik hari nan hujan
Di bumi satitiak tido

(Let.Kol. Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng, 10 Februari 1958)

Pengantar: 
Masa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) mungkin adalah masa terkelam dalam sejarah perjalanan masyarakat Minang (dan Sumatera Tengah). Saking kelamnya, informasi tentang PRRI makin lama makin tak terdengar dan hilang dari telinga publik, termasuk di telinga anak-anak Minang sendiri. Informasinya sendiri bagalau alias tak jelas. Ada yang menyebut PRRI adalah sebuah pemberontakan, namun ada pula yang menyebut PRRI hanya menuntut otonomi dan keadilan pembangunan kepada pemerintah pusat. Bahkan ada lagi yang tidak bisa membedakan antara PRRI dan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang terjadi 10 tahun sebelumnya.
Untuk itu tulisan ini berupaya menyampaikan kronik alias babad alias rentetan peristiwa tentang PRRI dan kejadian yang melatarbelakanginya. Sedangkan penilaian apa dan bagaimananya diserahkan sepenuhnya kepada  sidang pembaca.
Dasar penyusunan kronik ini ada 4 buah buku. Satu, Perjalanan dalam Kelam yang ditulis oleh Soewardi Idris, seorang wartawan senior. Ia adalah 'orang dalam' PRRI karena terlibat dalam penerbitan buletin stensilan PRRI yang bernama Analisa. Dua, Perlawanan Seorang Pejuang: Biografi Kolonel Ahmad Husein yang ditulis bersama oleh Mestika Zed dan Hasril Chaniago, kombinasi antara sejarawan dan wartawan. Tiga, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 yang ditulis oleh sejarawan asing dari Cornell University Audrey Kahin. Empat, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 karya Rosihan Anwar, seorang tokoh wartawan nasional. 
Dengan kombinasi ini diharapkan rangkaian cerita yang terjalin dalam beberapa bagian tulisan ini menjadi utuh. 
Selamat membaca!

 ****

1 Januari 1946: Terbentuknya Divisi III/Tentara Sumatera
Kol. Dahlan Djambek
Divisi III/TS berkedudukan di Bukittinggi meliputi Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dipimpin oleh Kolonel Dahlan Djambek. Ia adalah seorang perwira eks Gyugun (tentara rakyat bentukan Jepang), sekaligus anak dari ulama besar Syekh Djamil Djambek dari Bukittinggi. Divisi ini dikenal dengan nama panggilan Divisi Banteng, sebagaimana juga halnya dengan Divisi Gajah di Sumatera bagian utara dan Divisi Garuda di Sumatera bagian selatan.
Mengapa di Bukittinggi? Karena selama masa pendudukan Jepang Bukittinggi telah menjadi markas bagi Divisi ke-25 Angkatan Darat Jepang yang wilayahnya meliputi Asia Tenggara, yang dipindahkan dari Singapura pada Mei 1943. Jika Jepang memandang Bukittinggi sebagai tempat yang strategis, tentu begitu pula pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada waktu itu.

25 Januari 1946: Pembentukan TRI
Seiring dengan bergantinya istilah TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), maka Divisi III/Banteng juga menyesuaikan diri dengan membentuk 4 Resimen, 3 di Sumatera Barat (Bukittinggi, Sawahlunto dan Lubuk Alung) dan 1 di Riau (Pekanbaru).

Juli 1946: Komandemen Sumatera di Bukittinggi
Peran strategis Sumatera Tengah bagi ketentaraan nasional di Sumatera dilanjutkan dengan pembentukan Komandemen Sumatera yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo. Kedudukannya masih di Bukittinggi.

3 Juni 1947: Perubahan TRI menjadi TNI
Kol. Ismael Lengah
Divisi III/Banteng ikut menyesuaikan perubahan TRI menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan perubahan nama menjadi Divisi IX/Banteng. Resimen pun ditambah 1 di Rengat (Riau) sementara 1 Resimen memindahkan markasnya dari Lubuk Alung ke Solok, yaitu resimen-nya Let.Kol Ahmad Husein. Pucuk pimpinan Divisi pun berganti dengan Kolonel Ismael Lengah, juga seorang perwira eks Gyugun. Pimpinan sebelumnya, Kolonel Dahlan Djambek ditarik ke Komandemen Sumatera di Bukittinggi. Jumlah personil pun membengkak menjadi lebih dari 23.000 orang dalam 30 batalyon karena TNI juga melebur seluruh laskar dan barisan rakyat yang ada.

Maret 1948: UU Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) Angkatan Perang
Konsolidasi ketentaraan terus dilakukan. Dengan UU RERA ini, brigade kerakyatan ditiadakan dalam TNI dan perwira dengan pangkat Letnan Dua ke atas diturunkan pangkatnya satu tingkat. Disini mulai muncul kegelisahan para tentara karena dua hal. Pertama, penurunan pangkat perwira kabarnya tidak merata di Jawa, tetapi di luar Jawa tanpa kecuali. Kedua, waktunya untuk mengurangi pasukan dianggap kurang tepat karena kabar bahwa Belanda akan  melakukan agresi  telah semakin santer.
Kolonel Ismael Lengah menyampaikan hal ini sampai ke Jogjakarta, namun pulang dengan tangan hampa. Sampai akhirnya Bung Hatta turun tangan agar RERA dilaksanakan di kampungnya, Sumatera Barat. Turun pangkatlah para perwira, kecuali Komandan Divisi sebagai pengecualian.

Nopember 1948: Komandemen Sumatera menjadi Tentara Teritorium Sumatera
Konsolidasi selanjutnya adalah perubahan nama Komandemen Sumatera menjadi Tentara Teritorium Sumatera dengan Panglima TTS diangkat Kolonel Hidayat untuk menggantikan Jenderal Mayor Soehardjo. Kedudukannya tetap di Bukittinggi.

Desember 1948: Pemisahan Komando TNI Teritorial Sumbar dan Riau
Kolonel Hidayat selaku PTTS membuat kebijakan memisahkan komando teritorial Sumatera Barat dan Riau. Disini muncul kegelisahan baru para perwira. Karena ini sama artinya dengan membubarkan Divisi Banteng. Ditambah lagi komandan mereka, Ismael Lengah, ditarik ke Jogjakarta untuk diperbantukan ke Panglima Besar Soedirman tanpa bisa ditawar lagi. Ia berangkat  dari lapangan terbang Piobang di Payakumbuh tanggal 10 Desember 1948. Selanjutnya sebagai Komandan Teritorial Sumatera Barat diangkat Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Meskipun demikian, dalam praktiknya anak buahnya tetap menganggap Dahlan Ibrahim sebagai Panglima Divisi Banteng.

Desember 1948 - Juli 1949: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer lagi, setelah tahun sebelumnya melakukan hal yang sama. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap di Jogjakarta. 
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, dan segera mengungsi ke Halaban di Kab. 50 Kota. Selanjutnya para pimpinan PDRI bergerak di jantung rimba raya Sumatera antara Koto Tinggi Suliki (50 Kota), Sumpur Kudus (Sijunjung) dan Bidar Alam (Solok Selatan). Kecuali PTTS Kol. Hidayat yang ternyata bergerak ke utara dan terus ke Aceh dan menetap di sana sampai perang usai.
Dalam kondisi ini kekuatan 23.000 anggota Divisi Banteng menjadi benteng dalam melindungi pusat  dan para pejabat PDRI. Di front utara, Koto Tinggi dipertahankan oleh pasukan Let.Kol Dahlan Djambek yang bermarkas di seputaran Kamang (Agam). Sedang di front selatan, Bidar Alam dipertahankan oleh pasukan Mayor Ahmad Husein yang bermarkas di seputaran Alahan Panjang dan Muara Labuh (Solok Selatan). Kedua-duanya dengan pangkat baru hasil RERA. Terbukti sampai PDRI usai, kedua lokasi tersebut tidak tersentuh oleh Belanda.

Desember 1949: Penciutan menjadi Brigade Banteng
Setelah gencatan senjata dengan Belanda tercapai, PTTS Kolonel Hidayat kembali dari Aceh. Ia kembali melanjutkan RERA yang belum tuntas dulu yaitu menciutkan Divisi Banteng menjadi Brigade Banteng dengan formasi 6 batalyon saja. Artinya pasukan harus disusutkan dari 23.000 menjadi 3.000-an personil. Caranya? Yang merasa tidak cakap diminta mundur atau mengajukan pengunduran diri. Banyak yang kecewa, termasuk Komandan Divisi Banteng sendiri Let.Kol Dahlan Ibrahim yang selanjutnya mengajukan pengunduran diri dari ketentaraan. Untuk itu PTTS menunjuk Let.Kol Dahlan Djambek sebagai komandan Brigade, konon dengan ancaman akan menembak Dahlan Djambek dengan tangannya sendiri jika tidak bisa bikin beres urusan penyusunan brigade ini.
Akhirnya brigade yang ciut ini terwujud dan menempati gedung Gementeehuis (Balai Kota) di Padang.

Juni 1950: Pemecahan Brigade Banteng menjadi Brigade "EE" dan "DD"
Ternyata penciutan masih belum usai. Brigade Banteng dipecah lagi menjadi Brigade "EE" di Sumatera Barat dan Brigade "DD" di Riau. Keduanya menginduk ke markas Komando Tentara Teritorium I (TT-I) yang baru di bentuk di Medan. Sejalan dengan itu Let.Kol Dahlan Djambek ditarik ke Jakarta dan digantikan Let.Kol A. Thalib sebagai komandan brigade.
Kegusaran para perwira pun tak terbendung karena merasa diperlakukan tidak adil. Dari 3 divisi yang ada di Sumatera, kenapa mesti divisi Banteng yang dipreteli, sementara Medan dan Palembang bertahan? Mereka merasa jasa tentara Sumatera Tengah dalam mempertahankan eksistensi republik, khususnya masa PDRI, tidak mendapat penghargaan yang selayaknya.  
Protes pun dilancarkan sampai ke Jakarta. Namun dalam tradisi militer keputusan adalah keputusan. Terima tanpa reserve!

April 1952: Peleburan Brigade "EE" dan "DD" menjadi Resimen 4
Letkol Ahmad Husein
Riwayat Divisi Banteng benar-benar tamat setelah Brigade "EE" dan "DD" dilebur lagi menjadi satu resimen dengan wilayah kerja Sumbar - Riau. Resimen ini menginduk ke Tentara Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan di Medan. Namanya Resimen 4. Sebagai komandan ditunjuk Mayor Ahmad Husein yang sejak Agustus 1951 sudah menjadi komandan Brigade "EE" menggantikan Let.Kol A. Thalib yang ditarik sebagai Kepala Staf TT-I.
Divisi yang pada masa revolusi begitu gagah perkasa dengan kekuatan 5 resimen dan memiliki 30 batalyon kini menyusut menjadi 1 resimen saja. Bagaimanapun hal ini tentu menimbulkan kepedihan bagi personilnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...