Sabtu, 24 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)




16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang
Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya di Jepang dan mendarat di Jakarta sehari setelah pengumuman berdirinya PRRI di Bukittinggi. Bersamaan dengan itu Jakarta memutuskan hubungan darat, laut dan udara dengan Padang dan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah. KSAD Nasution memecat semua pemimpin militer pemberontak dan memerintahkan penahanan atas mereka. Demikian juga PM Djuanda memerintahkan penahanan terhadap seluruh anggota kabinet PRRI.

17 Februari 1958: Rapat Kabinet PRRI yang pertama di Padang

Dalam rapat ini PM PRRI Syafruddin mempertegas perintah Dewan Banteng untuk menyetop semua devisa dari perusahaan-perusahaan minyak di Sumatera ke Jakarta. Ia juga akan mengirim telegram kepada Federal Reserve Bank di New York dan Bank of England untuk membekukan semua aset pemerintah pusat di Sumatera. Sementara Menlu PRRI Simbolon menyerukan agar semua duta besar di Jakarta mengirimkan perwakilannya ke Padang.

19 Februari 1958: Pertemuan Soekarno dan Hatta di Jakarta
Dalam pertemuan mereka, Hatta mengajukan jalan kompromi dan bukan jalan militer terhadap daerah yang membangkang. Menurut Hatta tindakan militer hanya akan menghancurkan persatuan nasional. Kerena itu ia mengusulkan agar PRRI menarik ultimatumnya dan kembali pada keadaan sebelum 1 Januari 1958. Selain itu keduanya juga membahas usulan Hatta tentang pembentukan pra-senat yag diisi oleh perwakilan daerah, pemberian amnesti kepada para pembangkang dan membentuk kabinet dengan Hatta sebagai perdana menteri. 
Dalam hal ini Hatta menyatakan bahwa ia "menolak sikap para pemberontak, tapi juga tidak dapat menerima kebijakan Soekarno yang mendorong mereka memberontak."

20 Februari 1958: Aksi massa mendukung PRRI di Padang
Ahmad Husein di depan aksi massa mendukung PRRI
Aksi ini diorganisir oleh Badan Kontak Aksi Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Sumatera Tengah (BKAPPM-ST) dan dilangsungkan di depan Gubernuran di Padang. Di depan puluhan ribu massa yang hadir Ahmad Husein menyitir perintah Jakarta untuk menangkap pimpinan PRRI. Ia mencopot tanda pangkatnya dan melemparkannya kepada massa seraya berkata, "..Inilah saya, tangkaplah! Serahkan kepada Jakarta. Kalau memang karena perjuangan ini masyarakat akan teraniaya.." Spontan massa memungut lagi tanda pangkat tersebut dan memasangkannya kembali ke bahu Ahmad Husein sebagai tanda bahwa mereka mendukungnya.
Sejak itu semakin bergelombang ratusan pelajar dan mahasiswa yang belajar di luar Sumatera Tengah pulang kampung dan dimobilisasi serta diberi latihan militer oleh PRRI.

21 Februari 1958: Aksi pengeboman oleh AURI
Pesawat-pesawat AURI mulai mengebom Bukittinggi, Padang, Painan dan Manado dengan sasaran stasiun radio dan instalasi lainnya untuk memutus jalur komunikasi PRRI. Serangan ini dilakukan atas inisiatif KSAU Surjadharma. Pesawat-pesawat B-25 itu juga menyebarkan pamflet yang berisi himbauan agar PPRI menyerah.

22 Februari 1958: KSAD A.H. Nasution ditunjuk sebagai Panglima Komando Gabungan
Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution
Dalam briefingnya di hadapan para perwiranya, Nasution mempersilahkan kepada yang menyetujui berdirinya PRRI untuk "berhenti dari Angkatan Perang." Ucapan ini sebenarnya bukan ditujukan kepada peserta rapat, namun kepada para perwira eks Divisi Banteng yang meninggalkan Mabes AD, sekolah perwira di Bandung dan sekolah hukum militer di Jakarta untuk bergabung dengan PRRI seperti Mayor Sjoeib, Mayor Nursyirwan, Kapten Husein Abdullah, Letnan Harland Darwin dan lainnya. Dalam kesempatan itu Nasution juga menyatakan bahwa ia telah siap menggempur Sumatera dan Sulawesi.

Akhir Februari 1958: Konflik internal Dewan Banteng
Mayjen. Nurmatias
Ternyata tidak semua perwira Dewan Banteng yang menyetujui langkah keras Ahmad Husein terhadap Jakarta. Salah satunya adalah  Mayor Nurmatias, komandan Batalyon 140 di Bukittinggi. Padahal Nurmatias (terakhir berpangkat Mayjen dan Dubes di Australia) adalah teman Husein sejak masa revolusi serta merupakan pendukung Dewan Banteng sejak awal. Ia bahkan ikut serta dalam kontak-kontak dengan CIA di luar negeri. Alasannya mundurnya sangat mendasar yaitu "karena ternyata Bung Hatta tidak mendukung PRRI."
Mayor Nurmatias bersama kurang lebih 100 orang pasukannya mundur ke Matur dan selanjutnya terus ke Padang Sago di kaki Gunung Tandikat. Ikut bersamanya Komisaris Besar Polisi Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah yang juga salah seorang anggota Dewan Banteng sejak awal. Alasannya sama dengan Nurmatias. 
Semula Husein sempat memerintahkan anak buahnya untuk mengejar rombongan Mayor Nurmatias, namun pengejaran itu dihalangi oleh oleh perwira PRRI lain yaitu Kapten Azwar Dt. Mangiang karena faktor pertemanan.

Awal Maret 1958: Insiden KRI Pati Unus di Teluk Bayur
Kapal-kapal ALRI mulai nampak mondar-mandir di lepas pantai Padang. Sementara itu PRRI menahan kapal penumpang "Both" dan "Blekok" di Teluk Bayur agar tidak berlayar ke Tanjung Priok di Jakarta. Tujuannya adalah agar kedua kapal tersebut tidak digunakan untuk mengangkut tentara APRI ke Padang.
Pada suatu hari Komando Pelabuhan Teluk Bayur mendapat  ultimatum dari komandan KRI Pati Unus untuk membebaskan Both dan Blekok. Jika tidak maka Teluk Bayur akan ditembaki oleh KRI Pati Unus dan KRI Rajawali. Namun Kapten Azwar dari PRRI berprinsip lebih baik mendahului menembak daripada ditembak. Ia berhasil mengejutkan awak KRI Pati Unus dengan tembakan dari darat yang mengenai buritan kapal tersebut. Akibatnya kedua KRI tersebut kembali ke laut bebas dan batal menjalankan ultimatumnya.

3 Maret 1958: Pertemuan kedua Soekarno - Hatta
Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan tanggal 19 Februari dan pada akhir pertemuan keduanya bersepakat akan bertemu kembali tanggal 7 Maret. Sepertinya kata sepakat antara kedua tokoh ini akan tercapai.

7 Maret 1958: Pertemuan ketiga Soekarno - Hatta yang gagal
Pertemuan yang direncanakan ini dibatalkan oleh Soekarno  melalui surat kepada Hatta sehari sebelumnya dengan alasan bahwa pembicaraan rahasia mereka berdua tanggal 3 Maret "dibocorkan orang". Merasa bahwa Soekarno sedang mencari jalan untuk tidak mendukung upaya damainya dan condong kepada jalan peperangan, Hatta membalas dengan mengirim surat kepada Soekarno yang menyatakan bahwa "pembicaraan selanjutnya tidak diperlukan lagi." Dengan demikian jalan damai sepertinya semakin tertutup.
Sejak itu koran-koran berhaluan komunis seperti Pemuda dan Bintang Timur gencar menyerang Bung Hatta sebagai pengkhianat karena tidak menyetujui tindakan militer terhadap PRRI sembari melakukan distorsi informasi bahwa sebenarnya Hatta adalah seorang yang anti PRRI.

12 Maret 1958: Operasi Tegas APRI Pekanbaru
Kaharuddin Nasution
Ternyata APRI tidak langsung menuju Padang, tapi menyisir dari wilayah di sekelilingnya. Operasi APRI ke Pekanbaru bersandikan Operasi Tegas dipimpin oleh Let.Kol Kaharuddin Nasution (kelak menjabat sebagai Gubernur Riau 1960-1966) dan berkekuatan 5 batalyon. Mereka diterjunkan di pelabuhan udara Simpang Tiga Pekanbaru. Begitu mendarat, yang mereka temukan bukan pasukan PRRI tetapi berpeti-peti senjata buatan Amerika yang baru didrop lewat udara dan belum sempat diambil oleh pasukan PRRI.
Pilihan APRI terhadap kota Pekanbaru sepertinya tepat. Karena ternyata pasukan PRRI di sana tidak siap untuk mempertahankan Pekanbaru. Kekuatannya pun hanya 1 kompi, yang tugas utamanya adalah mengambil senjata yang didrop Amerika di sana. Mereka pun tidak  menyerang ladang minyak Caltex, sebagaimana dikhawatirkan Jakarta. Sebab jika Caltex sebagai aset Amerika diganggu, maka pasukan Armada ke-7 AS yang bermarkas di Filipina akan memperoleh alasan masuk ke wilayah Indonesia untuk melindungi warganya. Di belakang hari Ahmad Husein menyatakan bahwa memang ia tidak memerintahkan untuk menyerang Caltex karena tidak menginginkan invasi langsung Amerika ke dalam negeri.
Sejalan dengan operasi Tegas di Riau,  APRI mengirim operasi intelijen ke wilayah PRRI dipimpin Letnan Kolonel Sukendro. Kebanyakan menyamar sebagai tukang miso dan tukang jamu. Konon, inilah awal masyarakat Sumatera Tengah mengenal jenis makanan tersebut. Operasi intelijen ini juga berupaya membuka kontak dengan perwira Banteng yang menyingkir ke Padang Sago.

13 Maret 1958: Armada ke-7 AS pulang kandang
USS Ticonderoga
Tidak adanya perlawanan PRRI di Pekanbaru dan tidak terganggunya aset Amerika di Riau membuat kapal induk USS Ticonderoga dan kapal perusak USS Eversole dan USS Shelton yang sedang dalam pelayaran menuju Sumatera terpaksa pulang kandang ke pangkalan Subic di Filipina pada saat telah berada di dekat perairan Singapura.

16 Maret 1958: Kup Mayor Boyke Nainggolan di Medan
Mayor Boyke Nainggolan
Moral pasukan PRRI yang turun akibat serbuan kilat pasukan APRI di Pekanbaru kembali terangkat oleh suatu kejadian di Medan. Mayor Boyke Nainggolan dan pasukannya berhasil melakukakan kup terhadap komandan operasi APRI di Medan yang juga adalah Deputi KSAD, Kolonel Djatikusumo. Dalam sebuah operasi yang bersandi Operasi Sabang Merauke, Mayor Nainggolan dan pasukannya berhasil menguasai kota Medan dan memaksa Kolonel Djatukusumo menyingkir ke Belawan. Sedangkan Letkol Djamin Ginting selaku acting Panglima TT-I menyingkir ke Tanah Karo. 
Baru pada 17 April 1958 perwira lulusan Sekolah Staf dan Komando Fort Leavenworth (AS) ini dan pasukannya berhasil dipukul mundur setelah KSAD Nasution mengirimkan pasukan tambahan dari Jakarta. Mayor Nainggolan dan pasukannya mundur ke selatan dan  menggabungkan diri dengan Kolonel Simbolon di Tapanuli, perbatasan dengan Sumatera Tengah.

20 Maret 1958: Pertempuran di batas Riau - Sumbar
Dalam waktu seminggu sejak diterjunkan, seluruh Riau Daratan sudah dikuasai oleh pasukan APRI. Selanjutnya APRI menjepit Sumbar dari 2 jurusan, arah Bangkinang dan arah Teluk Kuantan. Pasukan PRRI berusaha mati-matian menahan gerak laju pasukan APRI yang dimotori RPKAD di Rantau Berangin dan Lubuk Jambi. Di kedua pintu masuk itu pertempuran berlangsung sengit selama berhari-hari. 

22 Maret 1958: Brigjen Alex Kawilarang meninggalkan posnya di Washington
Brigjen Alex Kawilarang
Brigadir Jenderal Alex Evert Kawilarang, atase Militer RI di Washington berkemas-kemas. Ia merasa bahwa kabar tentang pengeboman terhadap kampungnya di Manado oleh pesawat-pesawat AURI beberapa waktu yang lalu adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Menurutnya pemerintah pusat juga turut andil dan bertanggung jawab atas  krisis yang terjadi.
Setelah merasa tidak ada dokumen yang harus dibereskan lagi, ia pun melapor kepada Dubes Murkoto bahwa ia akan meninggalkan jabatan yang disandangnya sejak Agustus 1956 itu dan pulang ke Sulawesi Utara. 
Kolonel Joop Warouw
Setibanya disana Permesta mengangkatnya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Revolusioner (APREV) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Namun Kawilarang tidak sendiri. Pada bulan sebelumnya, Atase Militer RI di Beijing Kolonel Joop Warouw juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan telah diangkat sebagai Menteri Pembangunan pada kabinet PRRI. Belakangan ia malah diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri PRRI.
Baik Kawilarang maupun Warouw keduanya adalah mantan Panglima. Kawilarang mantan panglima TT III/Siliwangi di Jawa Barat sedangkan Warouw adalah mantan panglima TT VII/Wirabuana di Makasar.

6 April 1958: Duta Besar Mr. St. M. Rasyid meninggalkan Roma
Mr. St. M. Rasjid
Sudah seminggu Duta Besar RI untuk Italia Mr. St. M. Rasyid  tidak bisa tidur. Disamping gelisah memikirkan perkembangan politik di kampung halamannya, ia juga gelisah karena memikirkan nasib keluarganya sehubungan dengan keputusan yang akan ia ambil. Sebuah keputusan besar, terutama jika mengingat masa depan anak-anaknya. Apalagi yang paling besar baru berumur 15 tahun. 
Sudah banyak yang mencoba menasehatinya agar jangan mengambil keputusan itu. Tapi sebagai mantan Gubernur Militer Sumatera Tengah, ia tahu betul apa yang terjadi. Nuraninya berkata bahwa ia harus ikut dengan perjuangan itu, meskipun taruhannya adalah masa depan keluarganya.
Pagi 6 April itu ia boyong keluarganya meninggalkan Roma menuju Genoa dan terus ke Jenewa, Swiss. Dengan uang yang ia telah persiapkan selama dua bulan, ia yakin akan mampu bertahan di Eropa paling tidak selama 3,5 tahun. 
Sejak itu Mr. St. M. Rasyid resmi beralih status dari Duta Besar RI menjadi Duta Besar PRRI dan menjadi tokoh yang aktif mengkampanyekan PRRI di Eropa.


Selanjutnya di Bagian 7: Perang Saudara

Jumat, 09 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 5: PRRI)




September 1957: Agen CIA menyambangi Sumatera Tengah
Hugh S. Cumming
Ternyata gerakan para "perwira pembangkang" di luar Jawa mendapat perhatian dari Amerika Serikat. AS yang memang merasa punya kepentingan untuk menghambat perkembangan komunisme di dunia ternyata telah menjalankan operasi terselubung (covert operation) di Indonesia jauh sebelum para kolonel ini membangkang. Dubes AS untuk Indonesia Hugh S. Cumming Jr. masih ingat pesan Presiden Eisenhower sebelum ia menempati posnya di Jakarta tahun 1953. Sang bos berkata bahwa ia lebih senang melihat Indonesia yang terpecah menjadi segmen-segmen kecil daripada tetap menjadi satu negara namun berada dibawah dominasi komunis.
Dalam situasi pergolakan daerah saat itu, Washington mengutus seorang pejabat CIA di Jakarta yang bernama James R. Smith Jr ke Bukittinggi. Disana ia bertemu dengan Husein dan Simbolon sembari menawarkan bantuan finansial dan radio komunikasi, namun tidak membicarakan bantuan persenjataan.

3 Oktober 1957: Bantuan finansial pertama dari AS
Bantuan itu tak menunggu lama. Atas informasi dari Alamsyah Sutan Simawang, seorang pengusaha urang awak yang sering membantu Dewan Banteng dalam perdagangan barter dengan Singapura, Washington mengetahui bahwa Kol. Simbolon mengalami kesulitan dalam membiayai pasukan yang dibawanya dari Medan yang berjumlah sekitar 400 orang. Seorang agen CIA di Medan bernama Dean Almy segera diperintahkan untuk membawa uang rupiah senilai USD 50 ribu lewat jalan darat ke Bukittinggi. Kebayang betapa sulitnya membawa uang kontan sedemikian banyak pada zaman itu.
Sesampai di Bukittinggi uang itu diserahkan kepada Simbolon yang kebetulan sedang duduk di bawah potret Presiden Soekarno. Almy menganggapnya sebagai sebuah pemandangan yang tidak match. Lha wong katanya membangkang tapi kok foto orangnya dipasang? Dengan enteng Simbolon menjawab pertanyaan Almy, "Well, bagaimanapun dia presiden." 
Pun ketika meninggalkan Bukittinggi dua hari kemudian Almy menyaksikan pemandangan yang juga tampak ganjil dimatanya. Para tentara pembangkang itu merayakan hari Angkatan Perang 5 Oktober dengan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua itu dicatat dan dilaporkan oleh Almy ke Washington.

5 Oktober 1957: Piagam Kota Perjuangan
Menindaklanjuti hasil-hasil Munas, kelompok pendukung Piagam Palembang melakukan pertemuan di Padang tanggal 5 Oktober 1957. Dalam pertemuan itu mereka melahirkan sebuah dokumen "Dasar-dasar Pedoman dan Program Bersama dari Perjuangan Daerah-daerah yang Bergolak." Isinya menegaskan bahwa aspirasi yang diperjuangkan di Munas akan terus diperjuangkan, namun dengan nada yang lebih tegas. Untuk dwitunggal misalnya, jika tidak memungkinkan maka mereka akan "memperjuangkan terlaksananya pemilihan Presiden RI yang baru." Sedangkan untuk komunisme yang tidak mendapat tanggapan dalam Munas, dinyatakan bahwa perlu "keharusan adanya larangan terhadap komunisme yang pada hakikatnya bersifat anti ke-Tuhan-an, anti kebangsaan, bersifat diktator, internasional dan subversif dan bertentangan dengan ideologi negara". Piagam ini selanjutnya menyatakan bahwa "selama PKI masih bercokol di Pusat, selama itu pula akan berusaha sekuat tenaga merealisir unsur-unsur Piagam Jakarta 22 Juni 1945." Selain itu juga dibahas langkah-langkah konkret yang akan diambil baik dalam  pertahanan maupun ekonomi.
Piagam ini sedianya akan ditandatangani oleh Ahmad Husein, Barlian dan Ventje Sumual. Namun karena Sumual tidak hadir di Padang, ia baru bisa menandatangani piagam ini di Makassar sewaktu pelaksanaan PON IV beberapa hari kemudian. Husein yang saat itu memimpin kontingen Sumatera Tengah yang membawakan. Karena ditandatangani di kota yang berbeda inilah maka  piagam ini diberi nama "Piagam Kota Perjuangan."

30 Nopember 1957: Peristiwa Cikini
Sesuai rekomendasi Munas, maka pada 30 Nopember 1957 diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ahmad Husein tidak hadir dengan alasan undangan yang sampai ditujukan kepada Gubernur Sumatera Barat. Menurut Husein undangan itu bukan untuknya karena ia bukan Gubernur namun Ketua Daerah Sumatera Tengah. Namun ketidakhadiran itu justru menjadi blessing in disguise karena petang hari itu Presiden Soekarno mendapat serangan granat sewaktu menghadiri acara hari jadi Perguruan Cikini, tempat anak-anaknya bersekolah. Bung Karno selamat, namun 7 orang meninggal dan puluhan luka-luka. 
Persidangan pelaku granat Cikini
Pelakunya pun segera tertangkap. Ternyata para pelaku adalah anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi. Mereka juga tercatat sebagai anggota Gerakan Anti Komunis yang dibidani oleh Kolonel Zulkifli Lubis, mantan wakil KSAD yang dipecat dan buron sejak November 1956. Waktu itu Lubis dituduh merencanakan kup terhadap pemerintah dengan menggerakkan pasukan RPKAD untuk mengganti KSAD. Sejatinya antara KSAD Nasution dan wakilnya Zulkifli Lubis sudah sejak lama berseberangan akibat perbedaan latar belakang pendidikan militer dimana Nasution merupakan perwira didikan Belanda sedangkan Lubis hasil didikan Jepang. Perbedaan latar belakang ini terbawa sampai mereka jadi orang nomor 1 dan 2 di Angkatan Darat. Puncaknya adalah tuduhan terhadap Lubis itu.
Situasi ini dengan cepat dimanfaatkan oleh koran-koran komunis dengan mengarahkan tuduhan dalang peristiwa Cikini kepada Zulkifli Lubis serta partai Masyumi yang merupakan lawan politik mereka. Meskipun belakangan dalam pengadilan terhadap para pelaku, tuduhan-tuduhan ini tidak terbukti. Para pelaku menyatakan bahwa mereka bergerak sendiri karena melihat adanya kesempatan untuk mencelakai Presiden Soekarno.

3 Desember 1957: Hasil Munas dibekukan
Tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Peristiwa Cikini yang di-blow up oleh koran-koran komunis merembet pada upaya rekonsiliasi dengan daerah-daerah bergolak yang sedang berlangsung, terutama Sumatera Tengah yang dikenal sebagai basis Masyumi. Presiden Soekarno memerintahkan PM Djuanda untuk membekukan hasil Munas dan tidak menindaklanjutinya. Artinya titik terang yang tadinya  nampak untuk daerah bergolak kini tertutup sudah.

7 Desember 1957: AS melibatkan diri
John Foster Dulles
Mencermati kondisi terkini di Indonesia, Presiden Eisenhower, Menlu John Foster Dulles dan seorang pejabat militer di Washington sepakat untuk melakukan intervensi. Dengan demikian operasi tertutup  tingkat tinggi yang selama ini dijalankan oleh Direktur CIA Allen Welsh Dulles (yang juga adik sang Menlu) telah berubah menjadi operasi terbuka yang diketahui para pejabat pemerintah AS.
Pada hari itu juga satu armada dipimpin USS Princeton berikut sejumlah personil marinir dan puluhan helikopter bergerak dari pangkalan Subic di Filipina menuju Sumatera. Sasaran antara adalah Singapura sebagai pangkalan sementara dalam operasi "mengamankan rakyat dan aset AS di Sumatera". Namun pihak Inggris sebagai penguasa Singapura tidak memberikan izin untuk armada AS berpangkalan di wilayahnya  karena khawatir keberpihakan kepada pihak pembangkang di Indonesia akan mempengaruhi pula situasi politik dalam negerinya yang saat itu juga tidak sedang adem ayem. Armada terpaksa balik badan.

Desember 1957: Kontak Dewan Banteng dengan pejabat CIA di Singapura
Dean Almy yang sudah kita kenal mendapat tugas lagi. Kali ini mengatur pertemuan Kepala CIA di Singapura James Collins dengan Kol. Simbolon. Dalam pertemuan itu Simbolon yang datang ke Singapura bersama Let.Kol Sjoeib lewat jalur penyelundupan di Kepulauan Riau menyodorkan daftar kebutuhan senjata. Di saat yang sama Collins menyerahkan bantuan finansial lagi sejumlah USD 43 ribu  kepada kedua orang tersebut.
Beberapa hari kemudian konsulat AS di Medan mendapat pesan dari Wahington: Kirimlah buku lebih banyak. Artinya permintaan senjata disetujui.

20 Desember 1957: 1 Tahun pemerintahan Dewan Banteng di Sumatera Tengah
Ahmad Husein pada peringatan 1 tahun Dewan Banteng di Bukittinggi
Sejak menjabat Ketua Daerah tahun sebelumnya, Ahmad Husein menahan seluruh pajak, retribusi dan pendapatan negara lainnya dari Sumatera Tengah dan tidak menyerahkannya ke pemerintah pusat. Dana tersebut dipergunakan sendiri di Sumatera Tengah. Juga dibuka perdagangan barter dengan Malaysia dan Singapura. Dari Sumatera Tengah diekspor karet dan teh sedangkan dari luar negeri diimpor traktor, buldozer dan aspal. Setiap kabupaten memperoleh dana Rp 1 juta ( lebih kurang Rp 7,5 Milyar jika dibandingkan harga emas sekarang) untuk perbaikan jalan dan jembatan di wilayahnya. Setiap Wali Nagari  juga digaji antara Rp 200 sampai Rp. 1.240 per bulan, tergantung masa kerja dan jumlah penduduknya (sekitar Rp.1,5 juta s.d Rp. 9,5 juta nilai saat ini).
Dalam masa 1 tahun itu berhasil dibangun 1.500 km jalan, 116 buah jembatan, 51 buah irigasi pertanian, 128 gedung sekolah dan kantor pemerintah, 25 balai pengobatan dan 20 buah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Khusus untuk Universitas Andalas disediakan dukungan dana Rp. 14 juta (sekitar 107 Milyar sekarang) untuk pembangunan gedung, sehingga kapasitasnya meningkat dari 722 orang tahun 1956 menjadi 1.567 orang pada tahun 1957/1958. Aulanya menjadi yang terbesar di Sumatera Tengah dan dijuluki aula "Bogowonto" oleh para mahasiswa untuk membandingkan besarnya dengan besar kapal bernama sama yang melayari Padang-Jakarta saat itu.
Semua ini diistilahkan oleh Dewan Banteng sebagai "Membangun dengan daya dan gaya baru".

Akhir Desember 1957: Kolonel Zulkifli Lubis bergabung di Sumatera Tengah
Kolonel Zulkifli Lubis
Dalam pelariannya, setelah sempat singgah di Palembang,  Kol. Zulkifli Lubis sampai di Sumatera Tengah. Ia menyatakan bahwa kedatangannya itu atas keinginan sendiri karena merasa memiliki sasaran perjuangan yang sama dengan daerah bergolak yaitu "mengoreksi pemerintah pusat, termasuk Nasution." Mengenai tuduhan bom Cikini kepadanya Lubis mengatakan kepada Tim Pencari Fakta bentukan Angkatan Darat yang berhasil menemuinya di pelarian bahwa ia tidak melakukannya karena "pertama, itu perbuatan bodoh dan merugikan kita sendiri dan kedua, itu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan dengan mengambil korban anak sekolah."
Sebagai seorang mantan petinggi Angkatan Darat dan ahli intelijen (ia adalah pendiri Badan Intelijen Negara), tentu kedatangan Lubis disambut baik. Apalagi ia terkenal sangat anti komunis. Belakangan di kalangan PRRI Zulkifli Lubis dikenal sebagai "Pak Haji".

Awal Januari 1958: M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap bergabung di Padang
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Sejak dituduh oleh koran-koran kiri terlibat dalam peristiwa Cikini, para tokoh partai Masyumi di Jakarta mendapat berbagai macam teror, termasuk isu penangkapan. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya 2 mantan Perdana Menteri RI asal Masyumi yaitu Mr. M. Natsir dan Mr. Burhanuddin Harahap serta Gubernur Bank Indonesia saat itu yaitu Mr. Syafruddin Prawiranegara beserta keluarganya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Mereka tiba di Padang pada minggu kedua Januari 1958.

9-10 Januari 1958: Pertemuan Sungai Dareh   (lihat juga disini)
Atas inisiatif Let.Kol. Barlian, di sebuah gedung sekolah dasar di kota kecil Sungai Dareh, para pimpinan militer daerah bergolak bersama para politisi yang baru tiba dari Jakarta plus Dr. Soemitro, mengadakan pertemuan. Intinya adalah membicarakan kondisi terkini sekaligus konsolidasi kekuatan. Disepakati juga memasukkan seluruh politisi yang hadir ke dalam Dewan Perjuangan yang sudah dibentuk sebelumnya.
Segera setelah pertemuan itu Ahmad Husein, Ventje Sumual dan Soemitro berangkat ke Singapura untuk mengupayakan pembelian senjata. Sumual terus ke Hongkong, Taiwan dan Jepang sementara Soemitro terus ke Eropa dan Amerika. Adapun Husein kembali ke Padang.
Di Jakarta segera berhembus kabar: para pembangkang sedang menyusun konsep Negara Sumatera. Sesuatu yang justru tidak pernah dibicarakan dalam pertemuan itu. Barlian menyatakan bahwa rekan-rekannya "memang ingin membentuk pemerintah tandingan, tetapi tidak negara terpisah."

12 Januari 1958: Operasi "Haik" di Selat Mentawai
USS Thomaston
Dalam kegelapan malam, 2 buah perahu bermuatan penuh senjata meluncur menuju Padang dari USS Thomaston yang baru memasuki Selat Mentawai, 120 Mil dari Padang. Setelah itu Thomaston dan USS Bluegill, kapal selam pengawalnya,  langsung balik badan kembali ke pangkalannya di Subic, Filipina. Operasi yang diberi sandi Haik itu berhasil dilaksanakan pihak AS. Pesan pun meluncur ke Washington: bayi kita akan segera lahir.
Ini merupakan pengiriman senjata dari AS yang kesekian kalinya untuk para pembangkang.
USS Bluegill

Pengiriman dilakukan melalui jalur laut maupun udara ke Sumatera Tengah sejak Desember 1957 dengan menggunakan sarana militer maupun sipil. Lokasi dropping berada di Dumai, Pekanbaru, Padang dan Painan. 
Terkait dengan senjata ini, Sumual berkata di belakang hari bahwa "dalam keadaan yang kami hadapi itu, ajakan dari manapun yang bersedia menjual atau memberi senjata, kami terima." Si vis pacem para bellum. (Ingin damai siaplah perang).

6 Februari 1958: Pidato radio Ahmad Husein tentang Pertemuan Sungai Dareh
Untuk menjawab isu yang berkembang di Jakarta, dalam pidato melalui RRI Bukittinggi Ketua Dewan Perjuangan Ahmad Husein menyatakan bahwa pertemuan Sungai Dareh tidak bertujuan mendirikan negara Sumatra, namun untuk melindungi negara kesatuan dan mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.

10 Februari 1958: Ultimatum untuk Jakarta
Bandul jarum jam politik bergerak cepat. Merasa bahwa jalan perundingan sudah tertutup, Dewan Perjuangan mengeluarkan sebuah "Piagam Perjuangan Menyelamatkan Republik Indonesia." Pokok isinya adalah meminta kabinet Djuanda mundur dan digantikan oleh kabinet yang berisi tokoh-tokoh yang "jujur, cakap dan bersih dari anasir-anasir anti Tuhan" yang dipimpin oleh Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX serta meminta Presiden Soekarno kembali kepada kedudukan konstitusionalnya dan mendukung kabinet Hatta-Hamengkubuwono, Jika tuntutan itu tidak dipenuhi dalam waktu 5 hari, maka "kami terbebas dari kewajiban taat kepada Ir. Soekarno sebagai kepala negara."

12 Februari 1958: Jakarta menjawab
Gayung bersambut. Meskipun Presiden Soekarno sedang berada di luar negeri, PM Djuanda mengumumkan hasil sidang kabinet darurat sehari sebelumnya yaitu menolak ultimatum Dewan Perjuangan sekaligus memecat semua personil militer yang terlibat dan memerintahkan penangkapan atas semua tokoh-tokohnya baik sipil maupun militer. 

15 Februari 1958: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lahir
Karena batas waktu tuntutan yang disampaikan lima hari sebelumnya sudah habis, Dewan Perjuangan menepati janjinya. Melalui RRI Bukittinggi, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ia juga mengumumkan dibentuknya Kabinet PRRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Kabinet tanpa Presiden ini mengisyaratkan bahwa yang diganti adalah kabinet yang memerintah, bukan mendirikan sebuah negara.
Ki-ka: Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Maludin Simbolon, M.Sjafei

Kabinet PRRI terdiri dari Kol. M. Simbolon (Menteri Luar Negeri), Kol. Dahlan Djambek (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan), Kol. J.F. Warouw (Menteri Pembangunan), Letkol. Saleh Lahade (Menteri Penerangan), Mr. Burhanuddin Harahap (Menteri Keamanan dan Kehakiman), Dr. Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan dan Perhubungan), M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan), Saladin Sarumpaet (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Mochtar Lintang (Menteri Agama) dan Gani Usman (Menteri Sosial). Sedangkan Kol. Ventje Samual duduk sebagai KSAD PRRI. Adapun Ahmad Husein sendiri tidak duduk di kabinet itu karena ia adalah Ketua Dewan Perjuangan.



Selanjutnya di Bagian 6: Wind of War

Kamis, 01 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 4: Daerah Bergolak)



21 Desember 1956: Jakarta pun buncah

Besok paginya Kol. Ismael Lengah berangkat ke Jakarta dengan pesawat pertama dari Padang. Ia membawa segulungan harian Nyata yang memuat berita peristiwa serah terima kekuasaan di Sumatera Tengah malam sebelumnya. Siang itu juga berita harian Nyata terbitan Bukittinggi itu sudah menjadi rujukan bagi sejumlah harian nasional tentang peristiwa menggemparkan itu.
Malamnya kabinet Ali mengadakan sidang darurat membahas perkembangan di Sumatera Tengah. Diputuskan untuk mengirim misi yang dipimpin oleh orang yang mengerti benar dengan persoalan yang terjadi. Ditunjuklah Kolonel Dahlan Djambek, mantan panglima Divisi Banteng, yang waktu itu baru kembali dari tugasnya sebagai atase pertahanan di London.

22 Desember 1956: Kongres Rakyat Jambi
Melihat perkembangan yang terjadi, masyarakat Jambi mengadakan suatu pertemuan se-keresidenan Jambi. Hasilnya adalah pertama, rakyat Jambi mendukung Dewan Banteng dan kedua, hasrat rakyat Jambi untuk memperoleh otonomi sebagai provinsi disalurkan melalui Dewan Banteng.
Hasil kongres ini disampaikan kepada Ketua Daerah Sumatera Tengah di Padang empat hari kemudian oleh beberapa utusan dan diterima dengan baik.

22 Desember 1956: Dewan Gajah mengambil alih kekuasaan Sumatera Utara
Kol. Maludin Simbolon
Melihat apa yang terjadi di Sumatera Tengah, Panglima TT-I/Bukit Barisan Kol. Maludin Simbolon melalui RRI Medan juga mengumumkan berdirinya Dewan Gajah sekaligus kondisi darurat perang di wilayah komandonya. Ia juga menyatakan mengambil alih kekuasaan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Berbeda dengan langkah negosiasi yang akan ditempuh Jakarta untuk Sumatera Tengah, keesokan harinya Presiden Soekarno langsung memecat Simbolon dan menunjuk Kepala Staf-nya Let.Kol Djamin Ginting sebagai pengganti. Kalau Ginting gagal atau tidak mau, maka tugas itu jatuh kepada DanRem 2 Let.Kol Wahab Makmoer. Setelah sempat ragu beberapa saat -mungkin karena upacara pecah gelas beberapa hari yang lalu- Ginting akhirnya men-take over komandannya. Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Simbolon bersama pasukan yang setia padanya pun menyelinap keluar dari Medan menuju Balige dan terus ke Bukittinggi bergabung dengan Ahmad Husein.

24 Desember 1956: Misi Kolonel Dahlan Djambek ke Padang
Meskipun diterima baik sebagai tamu, misi Kol. Dahlan Djambek untuk berunding dengan Dewan Banteng tidak terwujud. Hal ini karena misi ini tidak memenuhi syarat yang disampaikan oleh Ahmad Husein pada tanggal 20 Desember di Bukittinggi, yaitu "mandat langsung dari Kepala Negara". Misi ini ternyata hanya membawa mandat dari PM Ali. Akibatnya yang dapat dilaksanakan hanyalah sekadar kegiatan "tinjau-meninjau" saja. Misi pun kembali ke Jakarta tanggal 26 Desember karena tanggal 25-nya tidak ada pesawat.

27 Desember 1956: Perutusan rakyat Riau menemui Ketua Daerah Sumatera Tengah
Beberapa hari setelah kedatangan utusan rakyat Jambi, Ketua Daerah Sumatera Tengah juga menerima 13 orang perutusan dari masyarakat Riau. Penyampaiannya mirip dengan apa yang disampaikan oleh utusan Jambi yaitu mendukung Dewan Banteng dan menyatakan hasrat untuk membentuk provinsi sendiri. Dalam hal ini pun Ketua Dewan Banteng menyetujuinya.

3 Januari 1957: PKI menantang Dewan Banteng
PKI Sumatera Tengah mengeluarkan seruan agar segenap masyarakat Sumatera Tengah tidak memberikan dukungan nyata terhadap Dewan Banteng. Seruan ini muncul karena seminggu sebelumnya Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta menuduh Dewan Banteng adalah gerakan yang anti demokrasi dan reaksioner. Hal ini menyambung tuduhan ketuanya D.N. Aidit bahwa peristiwa di Sumatera Barat didalangi oleh Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan tidak mendapat dukungan rakyat.
Tuduhan ini dibalas oleh Dewan Banteng dengan menahan beberapa anggota serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI di Pekanbaru dan mengirim mereka ke penjara di Padang dan Bukittinggi dengan tuduhan "menyerang secara lisan dan tulisan serta menyusupi badan-badan pemerintah untuk melemahkan". Akibatnya konflik antara Dewan Banteng dan PKI semakin terbuka.

10 Januari 1957: Dukungan Persatuan Wali Nagari terhadap langkah Dewan Banteng
Dalam konferensinya di Padang, Persatuan Wali Nagari se-Sumatera Tengah menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah yang diambil Dewan Banteng. Dukungan ini menjadi vital karena ini artinya seluruh nagari di Sumatera Tengah telah berdiri di belakang Dewan Banteng.

21-28 Januari 1957: Misi Menteri Eny Karim ke Padang
Eny Karim
Gagal dengan misi Dahlan Djambek, Jakarta kembali mengirim misi baru ke Padang. Kali ini dipimpin oleh Menteri Pertanian Eny Karim, urang awak kelahiran Batusangkar yang pernah menjadi sekretaris residen Mr. St. M. Rasyid di Bukittinggi dulu.
Mengantisipasi kegagalan misi sebelumnya, kali ini misi Eny Karim sudah dipersenjatai dengan mandat langsung dari Presiden Soekarno. Misi ini disambut demo ribuan pelajar dan mahasiswa yang menyatakan bahwa mereka mendukung Dewan Banteng dan mengharapkan agar tuntutan Dewan Banteng  berhasil dengan gilang gemilang. Eny Karim pun menerimanya. Namun demikian ternyata pembicaraan juga akhirnya mentok karena Ahmad Husein mensyaratkan agar pemerintah pusat berhenti mengadu domba aparat negara dengan rakyat Sumatera Tengah sebelum perundingan bisa dilanjutkan. Misi ini akhirnya berakhir sama dengan misi sebelumnya yaitu hanya sebatas tinjau-meninjau saja. Belakangan berhembus isu bahwa misi Eny Karim juga membawa uang sebesar Rp 150 juta dari Pemerintah Pusat untuk membantu Sumatera Tengah, namun hal ini dibantah oleh Dewan Banteng.

5 Februari 1957: Rapat raksasa dan resolusi rakyat Sumatera Tengah
Sebuah badan yang bernama Badan Aksi Rakyat Sumatera Tengah (BARST) memprakarsai sebuah rapat raksasa di Lapangan Banteng (sekarang lapangan Imam Bonjol) Padang yang konon dihadiri oleh jumlah yang "jarang bersua" dalam sejarah kota ini. Para orator membangkitkan semangat jiwa proklamasi 17 Agustus 1945, mengecam kabinet Ali dan mendukung Dewan Banteng. Aksi ini diikuti oleh sebuah "Resolusi Rakyat Sumatera Tengah" yang meminta Presiden untuk mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta, menarik mandat kabinet Ali serta mendesak Dewan Banteng mengambil langkah-langkah yang lebih radikal revolusioner agar tuntutannya dapat dipenuhi.
Tidak hanya sampai disitu. Resolusi ini diantarkan oleh pimpinan BARST langsung ke Presiden, Ketua Parlemen dan PM Ali sendiri. Presiden Soekarno dan Ketua Parlemen menerimanya. Hanya PM Ali yang tidak bersedia  dengan alasan menunggu keputusan Parlemen tentang persoalan Sumatera Tengah.

8 Februari 1957: Peresmian berdirinya Provinsi Jambi
Tanpa menunggu lama, rakyat Jambi memperoleh apa yang dicitakannya. Pada hari itu Residen Jambi diangkat sebagai akting Gubernur Kepala Daerah Jambi oleh Ketua Daerah Sumatera Tengah.

21 Februari 1957: Konsepsi NASAKOM Bung Karno
Buku Nasakom terbitan
Departemen Penerangan 
Presiden Soekarno mengajukan konsep baru demokrasi yang menurutnya berbeda dengan demokrasi ala Barat. Dalam konsep itu ia menginginkan semua partai politik memiliki wakil dalam sebuah kabinet yang bernama "Kabinet Gotong Royong". Belakangan ide ini terkenal dengan nama Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
Semua pimpinan partai politik akhirnya terpaksa menerima konsepsi ini, kecuali Ketua Partai Masjumi M. Natsir dan Ketua Parkindo I.J. Kasimo. Bahkan Natsir mengatakan "lebih baik membubarkan Masjumi daripada menurutkan keinginan Soekarno."

Maret 1957: Dukungan Pemangku Adat dan Ulama se-Sumatera untuk Dewan Banteng
Di bulan Maret terjadi beberapa kongres yang menyatakan dukungan kepada langkah-langkah dan tuntutan Dewan Banteng. Pertama Kongres Pemangku Adat se Sumatera Tengah (28 Februari - 2 Maret 1957) yang diikuti oleh Kongres Adat se-Sumatera (12-17 Maret 1957). Selanjutnya adalah Kongres Alim Ulama se-Sumatera pada tanggal 14-17 Maret 1957 yang dihadiri oleh 751 orang. Semua kongres yang berlangsung di Bukittinggi ini pada akhirnya semakin memperkuat posisi Dewan Banteng di mata masyarakat Sumatera Tengah.

2 Maret 1957: Permesta mengambil alih Indonesia Timur
Let.Kol. Ventje Sumual
Tuntutan otonomi rupanya juga bergema di Sulawesi. Menyikapi kondisi yang terjadi, KSAD Nasution berusaha agar para perwira di Sulawesi tidak mengikuti jejak rekannya di Sumatera. Apalagi saat itu Kahar Muzakkar, mantan pimpinan laskar kemerdekaan yang bergabung dengan Darul Islam karena tidak setuju dengan pembubaran laskar gerilyanya, masih menguasai sebagian besar pedalaman Sulawesi Selatan.
Namun tak ayal, setelah berunding dengan para perwiranya, Panglima TT VII/Wirabhuana Let.Kol H.N.Ventje Sumual mengumumkan keadaan bahaya  dan memberlakukan Undang-Undang Darurat Perang di Indonesia Timur. Selanjutnya Let.Kol Saleh Lahade membacakan "Piagam Perjuangan Rakyat Semesta" (Permesta) di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar yang isinya hampir senada dengan tuntutan Dewan Banteng di Sumatera yaitu otonomi lokal, pembangunan ekonomi dan pengendalian devisa serta mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Mengikuti Proklamasi Permesta itu, Sumual membentuk pemerintahan militer dengan menjabat sebagai "Administratur Militer" yang membawahi empat gubernur militer.  Sama seperti jabatan Ketua Daerah-nya Ahmad Husein, jabatan ini juga tidak dikenal sebelumnya di pemerintahan.

9 Maret 1957: Dewan Garuda mengambil alih Sumatera Selatan
Let.Kol. Barlian
Sepekan setelah proklamasi Permesta, Panglima TT-II/Sriwijaya Let. Kol. Barlian pun ikut terpengaruh. Ia mengumumkan mengambil alih kekuasaan sipil di wilayahnya dan memecat Gubernur Winarno. 
Sama seperti terhadap Medan, salah satu DanRem ditugaskan men-take over Barlian. Namun Barlian meradang dengan mempersenjatai 2.000 orang veteran dan mengancam akan membumihanguskan penyulingan-penyulingan minyak yang ada di Sumatera Selatan. Ia juga menghubungi Ahmad Husein yang lalu menjanjikan bantuan 1.200 tentara seandainya tentara pusat menyerang Palembang.
Akhirnya Jakarta mengalah dan menarik pasukan yang sempat digeser dari Jakarta ke Palembang. Sumatera Selatan pun berangsur tenang kembali.

14 Maret 1957: Kabinet Ali jatuh
Mr. M. Yamin
Akhirnya kabinet Ali jatuh setelah sebelumnya sempat bersoal jawab dengan anggota parlemen asal Sumatera Tengah Mr. Muhammad Yamin. Tuduhan Ali bahwa Dewan Banteng ditunggangi oleh orang-orang Masjumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan NICA, dijawab Yamin bahwa pihak pemerintah pasti tahu bahwa tidak ada satu pun orang partai diantara 17 orang anggota Dewan Banteng. Selanjutnya soal keterlibatan NICA dalam Dewan Banteng, Yamin menjawab bahwa tuduhan itu "dusta belaka".  Karena faktanya selama ini Belanda tidak pernah berhasil membuat sebuah negara boneka di Minangkabau. Karena itu  kata Yamin "sebelum mencari di bawah jam gadang di Bukittinggi atau di Muaro Padang, carilah ahli penyeberang itu terlebih dahulu di kota Jakarta ini. Boleh juga dimulai dari Pejambon." Pejambon yang dimaksud Yamin adalah kantor PM Ali sendiri. Pedas.

30 Maret 1957: Pembentukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah
Hubungan Jakarta dan Sumatera Tengah menjadi semakin "ajaib" ketika Ahmad Husein diangkat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDM-ST) yang baru dibentuk, sekaligus sebagai Penguasa Militer Daerah. Bahkan KSAD Nasution sendiri yang datang melantiknya ke Padang. Ini berarti salah satu tuntutan Dewan Banteng yang meminta komando sendiri untuk Sumatera Tengah dikabulkan oleh pemerintah pusat. Selain itu terkesan jabatan Ketua Daerah-nya Ahmad Husein tidak menjadi persoalan bagi Jakarta. Belakangan Ahmad Husein sendiri mengakui bahwa ia berkali-kali diundang ke Jakarta baik sebagai Ketua Daerah, Panglima KDM-ST maupun Penguasa Militer Daerah, namun ia tidak pernah ditegur atau ditanya baik oleh  KSAD maupun oleh Presiden.

23 April 1957: Kunjungan Perdana Menteri Djuanda ke Padang
Ir. Djuanda Kartawidjaja
PM. Ir. Djuanda Kartawidjaja yang diangkat seminggu sebelumnya, segera mengunjungi Padang. Meskipun proses pengangkatannya agak aneh, karena Presiden RI Soekarno menunjuk Ir. Soekarno yang "seorang warga negara RI" untuk menjadi formatur kabinet (yang akhirnya memilih Djuanda sebagai PM), namun sebagai seorang non-partisan PM Djuanda dinilai akan lebih bisa melihat persoalan daerah dengan jernih oleh Dewan Banteng. 
Kepada Djuanda Ahmad Husein kembali menyampaikan pokok-pokok tuntutan Dewan Banteng dan menyampaikan ide adanya perwakilan utusan daerah dalam wadah Dewan Nasional yang digagas Presiden Soekarno. Djuanda pun sepertinya mendukung ide itu. Dalam kesempatan itu PM Djuanda juga mengundang Husein untuk menghadiri pertemuan pimpinan daerah yang digagasnya.

26-29 April 1957: Rapat Penguasa Militer Pusat di Istana Negara
Inilah pertemuan yang dimaksud PM Djuanda. Dalam kesempatan itu Ahmad Husein menyampaika kembali latar belakang tuntutan daerah, yaitu sentralisasi dan ketidakadilan pembangunan. Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap tanggapan pemerintah pusat yang menuduh daerah telah berkhianat. Husein mengatakan "...apabila kita boleh berkata tentang pengkhianatan, maka sejarahlah yang akan menentukannya. Tetapi pada masa silam, daerahlah yang telah menyelamatkan kelanjutan hidup negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini, dengan diselamatkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada waktu masa revolusi tengah bergejolak."
Di bagian lain pidatonya Husein menegaskan bahwa "harus kiranya dapat diinsyafi bahwa landasan perjuangan di daerah-daerah adalah tetap Proklamasi 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

13 Mei 1957: Dr. Soemitro menggabungkan diri di Padang
Dr. Soemitro
Djojohadikusumo
 
Awal 1957 adalah hari-hari yang berat bagi Dr. Soemitro Dojohadikusumo, mantan Menteri Keuangan kabinet Wilopo (1952-1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956). Ia yang anggota PSI di-bully oleh koran-koran komunis seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur soal dugaan penyalahgunaan keuangan. Isunya ia akan segera ditangkap. Karena merasa tidak bersalah, ia menemui ketua PSI Sutan Sjahrir dan menyampaikan keinginannya meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan daerah-daerah yang bergolak. Sebagai mantan Menteri Keuangan, ia mengerti ketidakadilan keuangan yang dituntut oleh daerah. Sjahrir pun menyetujui.
Setelah melalui perjalanan darat yang sambung bersambung, Soemitro tiba di Padang tanggal 13 Mei 1957 setelah sebelumnya singgah di Palembang dan bertemu dengan Let.Kol Barlian. Selama perjalanan itu ia menyamar sebagai Letnan Dua Rasjidin. Oleh Ahmad Husein, Soemitro dibekali selembar surat untuk meneruskan perjalanan ke Pekanbaru, Singapura, Saigon dan Manila untuk membuka kontak dengan Permesta dan pihak-pihak lain di luar negeri.
Sekembalinya ke Padang dari perjalanannya itu, Soemitro aktif mengembangkan dan mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas yang belum berumur setahun sejak diresmikan Bung Hatta.

9 Agustus 1957: Pemekaran Sumatera Tengah menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi
Pemerintah pusat melalui UU Darurat No. 19/1957 memekarkan Provinsi Sumatera Tengah menjadi 3 provinsi: Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Tindakan ini dinilai oleh Dewan Banteng sebagai upaya memecah persatuan Sumatera Tengah dan menggunakan cara "devide et impera"-nya Belanda.
Meskipun awalnya sempat menolak, namun akhirnya Dewan Banteng meresmikan ketiga provinsi hasil pemekaran Sumatera Tengah itu dengan dihadiri oleh utusan dari masing-masing provinsi baru  tersebut pada 6 September.

17-23 Agustus 1957: Kongres Pelajar/Mahasiswa Sumatera Tengah se-Indonesia
Setelah komponen masyarakat lainnya, kini 200-an peserta Kongres Pelajar/Mahasiswa Sumatera Tengah se-Indonesia menyatakan menyokong gerakan daerah dalam batas fungsi selaku pelajar dan mahasiswa.

24 Agustus 1957: Kolonel Dahlan Djambek pulang kampung
Sejak awal 1957, Kol. Dahlan Djambek ditunjuk oleh KSAD Nasution sebagai penghubung dengan daerah-daerah bergolak. Namun semakin lama ia malah dinilai semakin kritis terhadap kebijakan pusat. Mulailah koran-koran komunis melancarkan tuduhan kepadanya, dari isu korupsi sampai isu terlibat dalam konspirasi Dewan Banteng di Jakarta. Puncaknya ialah pada saat rumahnya dilempar granat pada 17 Agustus 1957.
Ia pun meninggalkan jabatannya selaku Deputi KSAD dan memboyong keluarganya pulang ke Bukittinggi. Ia menggambarkan tindakannya sebagai "sebuah protes melawan cara orang-orang di pusat menggunakan kekuasaannya." 

6 September 1957: Berdirinya Gebak (Gerakan Bersama Anti Komunis) di Bukittinggi
Sesampainya di Bukittinggi, Dahlan Djambek terlibat dalam pendirian organisasi Gebak dimana ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Organisasi ini segera mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat Sumatera Tengah. Kehadiran Gebak semakin memperkuat posisi Dewan Banteng dalam berhadap-hadapan dengan komunisme di Sumatera Tengah.

8 September 1957: Piagam Palembang dan Pembentukan Dewan Perjuangan
PM Djuanda terus berusaha mencari kompromi dengan daerah-daerah bergolak. Kali ini ia menggagas sebuah pertemuan Musyawarah Nasional yang dihadiri seluruh wakil daerah di bulan September 1957. Untuk menghadapi event penting itu, Let.Kol Ahmad Husein, Let.Kol. Ventje Sumual dan Let.Kol Barlian mengadakan rapat di Palembang. Juga turut hadir Kol. Dahlan Djambek, Kol. Simbolon dan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Dalam pertemuan itu dilahirkan sebuah kesepakatan diberi nama Piagam Palembang. Isinya adalah; (1) Memulihkan dwitunggal Soekarno - Hatta (2) Mengganti pimpinan AD (3) Melaksanakan desentralisasi dengan otonomi luas kepada daerah (4) Membentuk senat (5) Meremajakan dan menyederhanakan pemerintahan (6) Melarang komunisme "yang berorientasi internasional". 
Dalam pertemuan itu juga disepakati membentuk Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Ahmad Husein sekaligus sebagai jurubicara daerah-daerah bergolak dalam Munas yang akan datang.

10 -13 September 1957: Musyawarah Nasional di Jakarta
Mantan Wapres Bung Hatta menandatangani hasil Munas
Dibelakangnya terlihat Presiden Soekarno dan PM Djuanda.

Tibalah hari yang ditentukan itu. Musyawarah yang berlangsung di Gedung Proklamasi ini dihadiri langsung oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Juga hadir seluruh perwakilan daerah yang diundang. Meskipun dalam prosesnya terjadi tarik menarik antara kepentingan pusat dan daerah, namun sepertinya jalan kompromi mulai terlihat. 
Dalam Munas Soekarno-Hatta menyatakan kesediaannya bekerja sama meskipun formatnya akan ditentukan parlemen di kemudian hari. Munas juga akan ditindaklanjuti dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang akan diselenggarakan pada bulan Nopember untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan ekonomi. Munas juga merekomendasikan pembentukan Panitia Tujuh untuk menyelesaikan konflik internal Angkatan Darat. Belakangan Panitia Tujuh ini merekomendasikan amnesti umum kepada para perwira daerah bergolak. Sepertinya hampir semua tuntutan daerah dapat terakomodir dalam Munas.
Dalam Munas ini juga terjadi adegan menarik. Saat Let.Kol Ahmad Husein selaku juru bicara daerah-daerah bergolak berbicara di mimbar, Presiden Soekarno membuka sepatunya, mengangkatnya ke depan matanya dan mengamat-amati sepatu tersebut. Ekspresi ini dinilai banyak orang sebagai bentuk ekspresi ketidaksenangan Bung Karno kepada pidato Husein yang mengeritik Jakarta atau bisa juga upaya Bung Karno agar peserta Munas teralih perhatiannya dari pidato Ahmad Husein. 
Kejadian lain,  di belakang panggung ternyata rombongan Presiden Soekarno yang meninggalkan lokasi acara berpapasan dengan rombongan dari Sumatera Tengah. Ahmad Husein cepat mengambil sikap sempurna dan memberi hormat ala militer. Melihat itu Bung Karno berkata, "Overste (Let.Kol dalam bahasa Belanda -pen) ternyata pintar pidato, ya?" Tak kalah sigap Husein menjawab ala garah lapau di Padang, "Kan Bapak yang ngajari." Semua tertawa, termasuk KSAD Nasution yang berdiri di belakang Bung Karno. Sebelum berlalu Bung Karno masih sempat menyapa angota rombongan Husein yang lain yaitu pendiri INS Kayu Tanam M. Sjafei yang pernah menjadi Menteri Pengajaran pada Kabinet Sjahrir. "Engku," kata Bung Karno sebelum melanjutkan langkahnya.
Sepertinya semua bakal baik-baik saja bagi Republik ini.

Jumat, 25 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 3: Dewan Banteng)



...Ketika kegelisahan dan kegusaran bertemu...


Agustus 1956: Misi Gubernur Roeslan ke Jakarta
Gubernur Roeslan dan DanRem Let.Kol. Ahmad Husein memimpin delegasi Sumatera Tengah ke Jakarta untuk melaporkan buruknya kondisi daerah dan meminta perhatian pemerintah pusat. Namun belakangan sepertinya misi ini tidak menunjukkan hasil.

21 September 1956: Silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di Jakarta
Atas prakarsa dua orang perwira  eks Divisi Banteng yang sedang belajar di Akademi Hukum Militer di Jakarta yaitu Jusuf Nur dan Djamhur Djamin,  diadakan silaturrahmi eks pejuang kemerdekaan Sumatera Tengah di kompleks perfilman Persari milik Djamaluddin Malik. Acara ini dihadiri oleh 123 orang yang umumnya berdomisili di Jakarta. Dari Padang hadir antara lain Gubernur Roeslan Moeljohardjo, Komandan Resimen 4/TT-I Let.Kol. Ahmad Husein, Komandan Batalyon 140 Kapten Nurmatias serta beberapa perwira Banteng yang sudah mengundurkan diri dari dunia militer. Silaturrahmi ini menghasilkan rencana reuni eks Divisi Banteng guna menjaga tali persaudaraan sekaligus membicarakan nasib para prajurit dan para mantan prajurit serta keluarganya.

11 Oktober 1956: Pembentukan panitia reuni eks Divisi Banteng di Padang
Dalam rapat yang diselenggarakan di gedung Kencana Padang, disepakati menunjuk Let.Kol.Ahmad Husein sebagai ketua panitia reuni serta melibatkan para mantan Panglima Divisi Banteng dalam kepanitiaan reuni. Sementara Panglima TT-I/Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon ditunjuk sebagai penasehat dan KSAD A.H. Nasution sebagai pelindung. Hasil rapat juga memutuskan bahwa setiap bekas perwira Banteng dengan pangkat Letnan ke atas diminta menyumbang Rp. 50,- per orang untuk acara reuni. Namun dalam prakteknya banyak juga yang menyumbangkan angka yang jauh lebih besar.

20-24 Nopember 1956: Berdirinya Dewan Banteng
Suasana reuni eks Divisi Banteng di Padang dengan kemeja putihnya
Kota Padang penuh sesak dengan lebih 1.000 orang mantan prajurit Banteng yang sedang be-reuni. Juga hadir Panglima TT-I/Bukit Barisan Kol. Maludin Simbolon  dan Panglima TT-II/Sriwijaya Let.Kol Barlian. Sedangkan KSAD Nasution diwakili oleh Kol. Sadikin. Uniknya, peserta sepakat menentukan dress code kemeja putih dengan dasi. Tujuannya agar tidak ada strata dan kesungkanan akibat perbedaan pangkat dan jabatan dalam berbicara. Betul-betul egaliter ala minang.
Reuni menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah pusat agar segera menyelenggarakan otonomi yang luas dan mengisi jabatan-jabatan penting di Provinsi Sumatera Tengah serta membentuk komando utama tentara di Sumatera Tengah. Disamping itu juga meminta untuk mengaktifkan kembali Divisi Banteng sebagai satu korp dalam Angkatan Darat serta menghapus sistem sentralisasi pemerintahan yang menyebabkan "birokrasi yang tidak sehat, pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah serta hilangnya inisiatif daerah dan kontrol." Secara khusus reuni juga menuntut perbaikan di jajaran pimpinan Angkatan Darat dan negara demi "keutuhan Negara Republik Indonesia" serta meminta pemerintah pusat agar mengusahakan kehidupan yang lebih layak kepada para bekas pejuang, veteran, janda dan yatim piatu akibat perjuangan kemerdekaan.
Untuk menjalankan keputusan reuni ini, para peserta sepakat membentuk wadah yang bernama Dewan Banteng yang diketuai oleh Let.Kol. Ahmad Husein. Dewan ini terdiri dari 17 orang yang berasal dari tentara aktif (8 orang), veteran (2 orang), polisi (2 orang), pamong praja (3 orang), ulama (1 orang) dan ninik mamak (1 orang). Dari sisi daerah asal, anggota Dewan Banteng berasal dari Sumatera Barat (11 orang), Riau (3 orang), Jambi (1 orang), Jakarta (2 orang). Komposisi ini dianggap cukup mewakili seluruh elemen masyarakat yang ada di Sumatera Tengah.

27 Nopember 1956: Misi Dewan Banteng ke Jakarta
Sesuai amanat peserta reuni, satu delegasi Dewan Banteng bertolak ke Jakarta untuk menyampaikan hasil-hasil reuni kepada Presiden Soekarno, namun gagal untuk bertemu Presiden dan hanya bisa bertemu dengan PM Ali di kediamannya. Saat itu PM Ali berjanji akan memperhatikan hasil-hasil reuni tersebut.

1 Desember 1956: Wakil Presiden M. Hatta mengundurkan diri
Drs. M. Hatta
Bagaikan petir di siang bolong, dwi tunggal Soekarno-Hatta pecah. Meskipun tidak berkaitan langsung dengan tuntutan daerah, namun pengunduran diri Bung Hatta semakin menambah kekecewaan orang Minang dan rakyat Sumatera Tengah  terhadap pemerintah pusat. Asumsinya adalah Bung Hatta yang dianggap representasi dan kebanggaan daerah di pusat sudah tidak dianggap dan dipinggirkan dari pentas politik nasional.

Desember 1956: Dukungan masyarakat kepada Dewan Banteng
Dewan Banteng dengan hasil reuninya segera mendapat dukungan rakyat Sumatera Tengah. Berturut-turut Tentara Pelajar melalui kongresnya tanggal 11-13 Desember 1957, Persatuan Wali Nagari se-Sumatera Tengah (Perwanest) melalui konferensi tanggal 14-15 Desember 1957 dan para alim ulama yang dimotori oleh Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) melalui kongres tanggal 21 Desember 1957 menyatakan dukungannya kepada Dewan Banteng. Bahkan Perwanest sampai mengeluarkan deadline tanggal 1 Maret 1957 bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan keputusan-keputusan reuni eks Divisi Banteng. Jika tidak, putus hubungan!

16 Desember 1956: Ikrar bersama perwira TT-I/Bukit Barisan di Medan
Pada tanggal 16 Desember 1956 diadakan pertemuan 48 orang perwira yang memegang jabatan kunci di wilayah TT-/Bukit Barisan. Dalam pertemuan itu Let.Kol. Ahmad Husein menyatakan bahwa jika pertentangan antara pusat dan daerah tidak terselesaikan, maka ia selaku Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen akan mengambil tindakan di wilayahnya.
Pertemuan ini ditutup dengan ikrar yang ditandatangani oleh seluruh peserta termasuk Panglima TT-I Kol. Maludin Simbolon, Kepala Staf TT-I Let.Kol Djamin Ginting dan seluruh Komandan Resimen di jajaran TT-I/Bukit Barisan, termasuk Ahmad Husein. Salah satu isinya adalah memberikan dukungan kepada keputusan hasil reuni eks Divisi Banteng dan mengedepankan jiwa kesetiakawanan. 
Sebuah upacara kecil mengakhiri pertemuan berupa toast yang diikuti pembantingan gelasnya ke lantai hingga berderai. Sebuah selebrasi yang unik untuk menunjukkan jiwa korsa.

20 Desember 1956: Gubernur Roeslan menyerahkan Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng
Let.Kol. Ahmad Husein berpidato setelah timbang terima dari Gubernur Roeslan
Kota Bukittinggi yang dingin malam itu tenang, sama seperti malam-malam lainnya. Hanya di seputaran gedung Tamu Agung (sekarang Istana Bung Hatta) terlihat kesibukan. Banyak mobil dan para pejabat teras Sumatera Tengah mondar-mandir.
Kol. Ismael Lengah yang datang sore itu dari Padang "menyelundupkan" seorang wartawan ke dalam gedung. Wartawan itu bernama Soewardi Idris, wakil pimpinan redaksi harian Njata yang terbit di Bukittinggi, dimana Ismael Lengah menjabat sebagai Pemimpin Umumnya. Ismael Lengah tidak mengatakan apa-apa kepada Soewardi selain bahwa malam itu "mungkin akan terjadi sesuatu". Dan memang, didalam gedung Soewardi mendapati suasana hening dan mencekam "seolah-olah menunggu malaikat". 
Yang ditunggu itu baru ketahuan bentuknya pada pukul 19.45 saat Sekjen Dewan Banteng membacakan "Naskah Timbang Terima Jabatan Kepala Daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo kepada Ketua Dewan Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein."  Selesai pembacaan, dengan langkah ringan Gubernur Roeslan maju ke depan, mencabut pena dari sakunya dan menandatangani naskah tersebut, lalu kembali ke kursinya. Seolah-olah yang ditandatanganinya adalah surat administrasi kantor biasa dan bukan sesuatu yang luar biasa.
Sikap santuy Gubernur Roeslan ini terjawab dalam pidatonya setelah itu. Ia menyatakan bahwa ia menyerahkan kendali pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah kepada Ketua Dewan Banteng dengan penuh kesadaran dan keinsyafan karena "ini adalah satu-satunya jalan untuk menyalurkan keinginan-keinginan rakyat Sumatera Tengah agar gelora perasaan tidak puas dapat dibendung". Selanjutnya Gubernur Roeslan juga menyatakan bahwa ia "yakin pula seyakin-yakinnya bahwa Dewan Banteng khususnya dan rakyat Sumatera Tengah umumnya tidak bermaksud mendirikan negara dalam negara, karena hubungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat pasti akan berjalan normal kembali sekiranya ada satu kabinet yang dapat melenyapkan semua keruwetan dan suasana pertentangan serta perasaan serba tak puas yang mengancam keselamatan negara dan bangsa Indonesia."
Sementara Ketua Dewan Banteng, Let.Kol Ahmad Husein, setelah menandatangani naskah timbang terima jabatan juga memberikan pidato singkat. Ia menyatakan bahwa peristiwa malam itu terjadi karena rakyat Sumatera Tengah sejak lama telah menuntut "pemerintahan yang dapat menjamin keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan yang merata" sementara pimpinan negara "belum lagi berhasil menemukan jalan keluar." Ahmad Husein juga menyatakan bahwa "penyelesaian selanjutnya dengan pemerintah pusat Republik Indonesia yang mendapat kuasa penuh dari Kepala Negara akan berlangsung dengan segera."
Terlihat bahwa pidato Gubernur Roeslan dan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein memiliki kecocokan. Bahkan dalam penutup pidatonya Gubernur Roeslan meminta kepada seluruh pejabat dan masyarakat Sumatera Tengah agar membantu Ketua Daerah Sumatera Tengah Let.Kol Ahmad Husein. "Ketua Daerah" adalah istilah yang dipilih oleh Ahmad Husein dan tidak pernah ada dalam aturan ketatanegaraan. Mungkin hal itu dibuat untuk menegaskan bahwa ia bukan gubernur yang diangkat pemerintah pusat.
Setelah timbang terima yang berlangsung singkat itu pimpinan Dewan Banteng bergeser ke RRI Bukittinggi untuk memberitahukan peristiwa penting yang baru saja berlangsung. RRI Padang diminta untuk merelay-nya agar berita itu sampai ke Jakarta malam itu juga.


Selanjutnya di Bagian 4: Daerah Bergolak

Kamis, 10 September 2020

Kronik PRRI (Bagian 2: Kegusaran Para Politisi)


Sementara itu, pada saat para tentara bergelut dengan kegelisahannya, para politisi di Sumatera Tengah juga punya kegusaran tersendiri....

Januari 1950: Aktifnya Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah
Mr. M. Nasroen
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada akhir Desember 1949, maka pemerintahan provinsi Sumatera Tengah yang praktis beku sejak dibentuk tahun 1948 karena agresi militer Belanda,  mulai bergerak kembali. Kedudukan ibukotanya tetap berada di Bukittinggi dengan gubernur Mr. M. Nasroen, sebagai pengganti gubernur militer zaman revolusi Mr. Sutan Muhammad Rasyid yang ditarik ke pemerintah pusat. Sebelumnya Mr. M. Nasroen adalah Gubernur Muda Sumatera Barat.

April 1950: Mosi Tan Tuah
Kota Bukittinggi yang dingin sontak berubah panas ketika sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) memunculkan sebuah mosi yang dimotori oleh anggotanya Tan Tuah Bagindo Ratu. Mosi tak percaya yang dikenal sebagai mosi Tan Tuah menuntut pemerintah pusat menarik Gubernur Nasroen dari posisinya dan menggantinya dengan Iljas Jacoub, ketua DPR-ST. Alasannya, Gubernur Nasroen dinilai kurang cakap dan terlalu moderat terhadap eks pejabat-pejabat zaman kolonial. Dikabarkan Gubernur Nasroen sempat jatuh sakit dan meminta cuti satu bulan setelah mosi ini. Selama Gubernur Nasroen cuti, urusan pemerintahan dijalankan oleh salah seorang anggota Dewan Pemerintahan Sumatera Tengah, S.J. St. Mangkuto.

9 Agustus 1950: Kepergian Gubernur Nasroen
Akhirnya Gubernur Nasroen ditarik ke Kementerian Dalam Negeri. Praktis kepergian ini membuat Sumatera Tengah saat itu tidak memiliki seorang kepala daerah. Adapun Mr. M. Nasroen sendiri jatuah asok karena  setahun sesudahnya diangkat sebagai Menteri Kehakiman pada kabinet Sukiman (1951-1952). 

28 Oktober 1950: Penolakan pengangkatan Gubernur Roeslan
Roeslan Moeljohardjo
Untuk mengisi posisi Gubernur Sumatera Tengah, Perdana Menteri Mr. Muhammad Natsir mengangkat Roeslan Moeljohardjo sebagai acting Gubernur. Alasannya meskipun Roeslan seorang Jawa tetapi ia memiliki pengalaman administrasi dan pernah bekerja di Bukittinggi sebagai Asisten Residen sebelum agresi militer Belanda tahun 1948. Jadi istilahnya sudah kenal medan. Alasan lainnya, Roeslan berasal dari Partai Masjumi, sama dengan sebagian besar anggota DPR-ST dan sama juga dengan PM Natsir. Harapannya tentu agar lebih mudah bekerjasama.
Namun  apa daya, DPR-ST menolak karena nama Roeslan tidak termasuk dalam daftar nama yang mereka usulkan kepada pemerintah pusat setelah Iljas Jacoub menyatakan menolak untuk dicalonkan. Selanjutnya DPR-ST  tidak menyetujui diadakannya serah terima jabatan dari penjabat Gubernur S.J. St. Mangkuto ke pejabat baru. Ironisnya, Roeslan sudah berada di Padang untuk mengikuti acara pelantikan dan serah terima jabatan itu. Akhirnya ia terpaksa kembali ke Jakarta pada 20 Desember.

8 Januari 1951: Pembekuan DPR-ST
Mr. M. Natsir
Balik kanannya (calon) Gubernur Roeslan membuat PM Natsir meradang. Sebagai seorang Minang dan ketua Partai Masjumi, pembangkangan DPR-ST yang mayoritas anggotanya berasal dari Partai Masjumi tentu menggusarkannya. Keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1951 yang isinya membekukan DPR-ST.

13 Januari 1951: Pelantikan Gubernur Roeslan
Dengan bekunya DPR-ST, pelantikan Gubernur Roeslan sekaligus serah terima jabatan dari S.J. St. Mangkuto akhirnya terlaksana pada 13 Januari 1951. Selanjutnya kabinet Natsir menjanjikan akan membentuk DPR-ST baru dalam waktu 6 bulan. Sebuah janji yang tidak pernah terlaksana, karena 4 bulan kemudian, tepatnya pada bulan April 1951, kabinet Natsir jatuh. Dan bagi kabinet-kabinet selanjutnya, ternyata pembentukan DPR-ST yang baru bukanlah prioritas.

1951 - 1955: Upaya mengaktifkan DPR-ST
Meskipun kabinet di Jakarta silih beraganti akibat sistem demokrasi parlementer yang dianut pada saat itu, upaya untuk mencabut pembekuan DPR-ST terus dilakukan oleh para politisi Sumatera Tengah. Namun upaya itu terasa semakin menjauh sejalan dengan tidak dilibatkannya orang-orang Partai Masjumi dalam kabinet Ali Sostroamidjojo (1953) dari PNI yang juga didukung PKI. Alasannya tentu jelas, perbedaan ideologi antara PNI yang Nasionalis dan PKI yang komunis dengan Masjumi yang menganut asas Islam. Sumatera Tengah sebagai basis Partai Masjumi tentu langsung terimbas karena tidak lagi memiliki orang yang akan menggemakan kepentingannya di kabinet. Namun demikian, alasan yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin selaku Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali adalah bahwa pembentukan DPR-ST lebih baik ditunda sampai adanya "pengaturan baru". Hal ini berarti bahwa semakin tidak jelas kapan rakyat Sumatera Tengah akan memiliki perwakilan politiknya lagi.

Juni 1955: Gubernur Roeslan mengeritik Jakarta
Pada titik ini Gubernur Roeslan, yang berasal dari Partai Masjumi, mengambil posisi sebagai pembela kepentingan daerah Sumatera Tengah. Khususnya tentang minimnya alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Roeslan secara terbuka melalui media massa mengecam pemerintah pusat yang "tidak mengalokasikan dana sedikitpun di Sumatera Tengah untuk membangun  jalan dan jembatan, gedung sekolah, rumah sakit, irigasi, membeli kapal dan lain seterusnya". Kritikan Gubernur Roeslan ini menjadi buah bibir masyarakat Sumatera Tengah. Apalagi sebelumnya dalam suatu kesempatan di Padang Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengungkap kepada publik bahwa 71% ekspor Indonesia saat itu berasal dari Sumatera. Sebuah perbandingan yang ironis.
Bagi Gubernur Roeslan sendiri kritikannya kepada pemerintah pusat menunjukkan bahwa meskipun ia orang Jawa (dan sempat ditolak kedatangannya), tetapi jiwanya Sumatera Tengah. Masyarakatpun membalasnya dengan memberi julukan Sutan Malin Marajo, sebuah nama khas Minang yang bunyinya mirip dengan Roeslan Moeljohardjo.

29 September 1955: Pemilihan Umum
Tanda gambar Masyumi pada Pemilu 1955
Alih-alih membaik, hasil pemilu 1955 membuat posisi Sumatera Tengah di mata Jakarta semakin terjepit. Di Sumatera Tengah, Partai Masjumi berjaya dengan 49 % suara, diikuti partai Islam lainnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan 28 % suara. PKI hanya mampu menguntit dengan 7 % suara. Sementara secara nasional PNI memimpin dengan 22 % diikuti Masjumi (21 %), Nahdhatul Ulama (18 %) dan PKI (16 %).
Meskipun prestasi PNI dan Masyumi secara nasional terlihat berimbang, namun konfigurasi pemilih menunjukkan bahwa suara Masjumi diperoleh dari luar Jawa, sedangkan tiga partai lainnya (PNI, NU dan PKI) menguasai Jawa. Sehingga ketika ketiga partai penguasa Jawa mendukung kabinet Ali dari PNI untuk kembali berkuasa, posisi daerah-daerah yang menjadi lawan politiknya otomatis termarjinalkan. Apalagi bagi Sumatera Tengah dimana suara PNI jeblok. Dari 11 anggota DPR RI utusan Sumatera Tengah hasil Pemilu 1955, tidak satupun wakil dari PNI. Akibatnya teriakan dari Sumatera Tengah seolah antara terdengar dan tidak di tengah hiruk pikuknya politik di ibukota negara. 
Kekecewaan itu pun semakin bertambah-tambah.

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...