Jumat, 09 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 5: PRRI)




September 1957: Agen CIA menyambangi Sumatera Tengah
Hugh S. Cumming
Ternyata gerakan para "perwira pembangkang" di luar Jawa mendapat perhatian dari Amerika Serikat. AS yang memang merasa punya kepentingan untuk menghambat perkembangan komunisme di dunia ternyata telah menjalankan operasi terselubung (covert operation) di Indonesia jauh sebelum para kolonel ini membangkang. Dubes AS untuk Indonesia Hugh S. Cumming Jr. masih ingat pesan Presiden Eisenhower sebelum ia menempati posnya di Jakarta tahun 1953. Sang bos berkata bahwa ia lebih senang melihat Indonesia yang terpecah menjadi segmen-segmen kecil daripada tetap menjadi satu negara namun berada dibawah dominasi komunis.
Dalam situasi pergolakan daerah saat itu, Washington mengutus seorang pejabat CIA di Jakarta yang bernama James R. Smith Jr ke Bukittinggi. Disana ia bertemu dengan Husein dan Simbolon sembari menawarkan bantuan finansial dan radio komunikasi, namun tidak membicarakan bantuan persenjataan.

3 Oktober 1957: Bantuan finansial pertama dari AS
Bantuan itu tak menunggu lama. Atas informasi dari Alamsyah Sutan Simawang, seorang pengusaha urang awak yang sering membantu Dewan Banteng dalam perdagangan barter dengan Singapura, Washington mengetahui bahwa Kol. Simbolon mengalami kesulitan dalam membiayai pasukan yang dibawanya dari Medan yang berjumlah sekitar 400 orang. Seorang agen CIA di Medan bernama Dean Almy segera diperintahkan untuk membawa uang rupiah senilai USD 50 ribu lewat jalan darat ke Bukittinggi. Kebayang betapa sulitnya membawa uang kontan sedemikian banyak pada zaman itu.
Sesampai di Bukittinggi uang itu diserahkan kepada Simbolon yang kebetulan sedang duduk di bawah potret Presiden Soekarno. Almy menganggapnya sebagai sebuah pemandangan yang tidak match. Lha wong katanya membangkang tapi kok foto orangnya dipasang? Dengan enteng Simbolon menjawab pertanyaan Almy, "Well, bagaimanapun dia presiden." 
Pun ketika meninggalkan Bukittinggi dua hari kemudian Almy menyaksikan pemandangan yang juga tampak ganjil dimatanya. Para tentara pembangkang itu merayakan hari Angkatan Perang 5 Oktober dengan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua itu dicatat dan dilaporkan oleh Almy ke Washington.

5 Oktober 1957: Piagam Kota Perjuangan
Menindaklanjuti hasil-hasil Munas, kelompok pendukung Piagam Palembang melakukan pertemuan di Padang tanggal 5 Oktober 1957. Dalam pertemuan itu mereka melahirkan sebuah dokumen "Dasar-dasar Pedoman dan Program Bersama dari Perjuangan Daerah-daerah yang Bergolak." Isinya menegaskan bahwa aspirasi yang diperjuangkan di Munas akan terus diperjuangkan, namun dengan nada yang lebih tegas. Untuk dwitunggal misalnya, jika tidak memungkinkan maka mereka akan "memperjuangkan terlaksananya pemilihan Presiden RI yang baru." Sedangkan untuk komunisme yang tidak mendapat tanggapan dalam Munas, dinyatakan bahwa perlu "keharusan adanya larangan terhadap komunisme yang pada hakikatnya bersifat anti ke-Tuhan-an, anti kebangsaan, bersifat diktator, internasional dan subversif dan bertentangan dengan ideologi negara". Piagam ini selanjutnya menyatakan bahwa "selama PKI masih bercokol di Pusat, selama itu pula akan berusaha sekuat tenaga merealisir unsur-unsur Piagam Jakarta 22 Juni 1945." Selain itu juga dibahas langkah-langkah konkret yang akan diambil baik dalam  pertahanan maupun ekonomi.
Piagam ini sedianya akan ditandatangani oleh Ahmad Husein, Barlian dan Ventje Sumual. Namun karena Sumual tidak hadir di Padang, ia baru bisa menandatangani piagam ini di Makassar sewaktu pelaksanaan PON IV beberapa hari kemudian. Husein yang saat itu memimpin kontingen Sumatera Tengah yang membawakan. Karena ditandatangani di kota yang berbeda inilah maka  piagam ini diberi nama "Piagam Kota Perjuangan."

30 Nopember 1957: Peristiwa Cikini
Sesuai rekomendasi Munas, maka pada 30 Nopember 1957 diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ahmad Husein tidak hadir dengan alasan undangan yang sampai ditujukan kepada Gubernur Sumatera Barat. Menurut Husein undangan itu bukan untuknya karena ia bukan Gubernur namun Ketua Daerah Sumatera Tengah. Namun ketidakhadiran itu justru menjadi blessing in disguise karena petang hari itu Presiden Soekarno mendapat serangan granat sewaktu menghadiri acara hari jadi Perguruan Cikini, tempat anak-anaknya bersekolah. Bung Karno selamat, namun 7 orang meninggal dan puluhan luka-luka. 
Persidangan pelaku granat Cikini
Pelakunya pun segera tertangkap. Ternyata para pelaku adalah anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi. Mereka juga tercatat sebagai anggota Gerakan Anti Komunis yang dibidani oleh Kolonel Zulkifli Lubis, mantan wakil KSAD yang dipecat dan buron sejak November 1956. Waktu itu Lubis dituduh merencanakan kup terhadap pemerintah dengan menggerakkan pasukan RPKAD untuk mengganti KSAD. Sejatinya antara KSAD Nasution dan wakilnya Zulkifli Lubis sudah sejak lama berseberangan akibat perbedaan latar belakang pendidikan militer dimana Nasution merupakan perwira didikan Belanda sedangkan Lubis hasil didikan Jepang. Perbedaan latar belakang ini terbawa sampai mereka jadi orang nomor 1 dan 2 di Angkatan Darat. Puncaknya adalah tuduhan terhadap Lubis itu.
Situasi ini dengan cepat dimanfaatkan oleh koran-koran komunis dengan mengarahkan tuduhan dalang peristiwa Cikini kepada Zulkifli Lubis serta partai Masyumi yang merupakan lawan politik mereka. Meskipun belakangan dalam pengadilan terhadap para pelaku, tuduhan-tuduhan ini tidak terbukti. Para pelaku menyatakan bahwa mereka bergerak sendiri karena melihat adanya kesempatan untuk mencelakai Presiden Soekarno.

3 Desember 1957: Hasil Munas dibekukan
Tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Peristiwa Cikini yang di-blow up oleh koran-koran komunis merembet pada upaya rekonsiliasi dengan daerah-daerah bergolak yang sedang berlangsung, terutama Sumatera Tengah yang dikenal sebagai basis Masyumi. Presiden Soekarno memerintahkan PM Djuanda untuk membekukan hasil Munas dan tidak menindaklanjutinya. Artinya titik terang yang tadinya  nampak untuk daerah bergolak kini tertutup sudah.

7 Desember 1957: AS melibatkan diri
John Foster Dulles
Mencermati kondisi terkini di Indonesia, Presiden Eisenhower, Menlu John Foster Dulles dan seorang pejabat militer di Washington sepakat untuk melakukan intervensi. Dengan demikian operasi tertutup  tingkat tinggi yang selama ini dijalankan oleh Direktur CIA Allen Welsh Dulles (yang juga adik sang Menlu) telah berubah menjadi operasi terbuka yang diketahui para pejabat pemerintah AS.
Pada hari itu juga satu armada dipimpin USS Princeton berikut sejumlah personil marinir dan puluhan helikopter bergerak dari pangkalan Subic di Filipina menuju Sumatera. Sasaran antara adalah Singapura sebagai pangkalan sementara dalam operasi "mengamankan rakyat dan aset AS di Sumatera". Namun pihak Inggris sebagai penguasa Singapura tidak memberikan izin untuk armada AS berpangkalan di wilayahnya  karena khawatir keberpihakan kepada pihak pembangkang di Indonesia akan mempengaruhi pula situasi politik dalam negerinya yang saat itu juga tidak sedang adem ayem. Armada terpaksa balik badan.

Desember 1957: Kontak Dewan Banteng dengan pejabat CIA di Singapura
Dean Almy yang sudah kita kenal mendapat tugas lagi. Kali ini mengatur pertemuan Kepala CIA di Singapura James Collins dengan Kol. Simbolon. Dalam pertemuan itu Simbolon yang datang ke Singapura bersama Let.Kol Sjoeib lewat jalur penyelundupan di Kepulauan Riau menyodorkan daftar kebutuhan senjata. Di saat yang sama Collins menyerahkan bantuan finansial lagi sejumlah USD 43 ribu  kepada kedua orang tersebut.
Beberapa hari kemudian konsulat AS di Medan mendapat pesan dari Wahington: Kirimlah buku lebih banyak. Artinya permintaan senjata disetujui.

20 Desember 1957: 1 Tahun pemerintahan Dewan Banteng di Sumatera Tengah
Ahmad Husein pada peringatan 1 tahun Dewan Banteng di Bukittinggi
Sejak menjabat Ketua Daerah tahun sebelumnya, Ahmad Husein menahan seluruh pajak, retribusi dan pendapatan negara lainnya dari Sumatera Tengah dan tidak menyerahkannya ke pemerintah pusat. Dana tersebut dipergunakan sendiri di Sumatera Tengah. Juga dibuka perdagangan barter dengan Malaysia dan Singapura. Dari Sumatera Tengah diekspor karet dan teh sedangkan dari luar negeri diimpor traktor, buldozer dan aspal. Setiap kabupaten memperoleh dana Rp 1 juta ( lebih kurang Rp 7,5 Milyar jika dibandingkan harga emas sekarang) untuk perbaikan jalan dan jembatan di wilayahnya. Setiap Wali Nagari  juga digaji antara Rp 200 sampai Rp. 1.240 per bulan, tergantung masa kerja dan jumlah penduduknya (sekitar Rp.1,5 juta s.d Rp. 9,5 juta nilai saat ini).
Dalam masa 1 tahun itu berhasil dibangun 1.500 km jalan, 116 buah jembatan, 51 buah irigasi pertanian, 128 gedung sekolah dan kantor pemerintah, 25 balai pengobatan dan 20 buah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Khusus untuk Universitas Andalas disediakan dukungan dana Rp. 14 juta (sekitar 107 Milyar sekarang) untuk pembangunan gedung, sehingga kapasitasnya meningkat dari 722 orang tahun 1956 menjadi 1.567 orang pada tahun 1957/1958. Aulanya menjadi yang terbesar di Sumatera Tengah dan dijuluki aula "Bogowonto" oleh para mahasiswa untuk membandingkan besarnya dengan besar kapal bernama sama yang melayari Padang-Jakarta saat itu.
Semua ini diistilahkan oleh Dewan Banteng sebagai "Membangun dengan daya dan gaya baru".

Akhir Desember 1957: Kolonel Zulkifli Lubis bergabung di Sumatera Tengah
Kolonel Zulkifli Lubis
Dalam pelariannya, setelah sempat singgah di Palembang,  Kol. Zulkifli Lubis sampai di Sumatera Tengah. Ia menyatakan bahwa kedatangannya itu atas keinginan sendiri karena merasa memiliki sasaran perjuangan yang sama dengan daerah bergolak yaitu "mengoreksi pemerintah pusat, termasuk Nasution." Mengenai tuduhan bom Cikini kepadanya Lubis mengatakan kepada Tim Pencari Fakta bentukan Angkatan Darat yang berhasil menemuinya di pelarian bahwa ia tidak melakukannya karena "pertama, itu perbuatan bodoh dan merugikan kita sendiri dan kedua, itu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan dengan mengambil korban anak sekolah."
Sebagai seorang mantan petinggi Angkatan Darat dan ahli intelijen (ia adalah pendiri Badan Intelijen Negara), tentu kedatangan Lubis disambut baik. Apalagi ia terkenal sangat anti komunis. Belakangan di kalangan PRRI Zulkifli Lubis dikenal sebagai "Pak Haji".

Awal Januari 1958: M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap bergabung di Padang
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Sejak dituduh oleh koran-koran kiri terlibat dalam peristiwa Cikini, para tokoh partai Masyumi di Jakarta mendapat berbagai macam teror, termasuk isu penangkapan. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya 2 mantan Perdana Menteri RI asal Masyumi yaitu Mr. M. Natsir dan Mr. Burhanuddin Harahap serta Gubernur Bank Indonesia saat itu yaitu Mr. Syafruddin Prawiranegara beserta keluarganya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Mereka tiba di Padang pada minggu kedua Januari 1958.

9-10 Januari 1958: Pertemuan Sungai Dareh   (lihat juga disini)
Atas inisiatif Let.Kol. Barlian, di sebuah gedung sekolah dasar di kota kecil Sungai Dareh, para pimpinan militer daerah bergolak bersama para politisi yang baru tiba dari Jakarta plus Dr. Soemitro, mengadakan pertemuan. Intinya adalah membicarakan kondisi terkini sekaligus konsolidasi kekuatan. Disepakati juga memasukkan seluruh politisi yang hadir ke dalam Dewan Perjuangan yang sudah dibentuk sebelumnya.
Segera setelah pertemuan itu Ahmad Husein, Ventje Sumual dan Soemitro berangkat ke Singapura untuk mengupayakan pembelian senjata. Sumual terus ke Hongkong, Taiwan dan Jepang sementara Soemitro terus ke Eropa dan Amerika. Adapun Husein kembali ke Padang.
Di Jakarta segera berhembus kabar: para pembangkang sedang menyusun konsep Negara Sumatera. Sesuatu yang justru tidak pernah dibicarakan dalam pertemuan itu. Barlian menyatakan bahwa rekan-rekannya "memang ingin membentuk pemerintah tandingan, tetapi tidak negara terpisah."

12 Januari 1958: Operasi "Haik" di Selat Mentawai
USS Thomaston
Dalam kegelapan malam, 2 buah perahu bermuatan penuh senjata meluncur menuju Padang dari USS Thomaston yang baru memasuki Selat Mentawai, 120 Mil dari Padang. Setelah itu Thomaston dan USS Bluegill, kapal selam pengawalnya,  langsung balik badan kembali ke pangkalannya di Subic, Filipina. Operasi yang diberi sandi Haik itu berhasil dilaksanakan pihak AS. Pesan pun meluncur ke Washington: bayi kita akan segera lahir.
Ini merupakan pengiriman senjata dari AS yang kesekian kalinya untuk para pembangkang.
USS Bluegill

Pengiriman dilakukan melalui jalur laut maupun udara ke Sumatera Tengah sejak Desember 1957 dengan menggunakan sarana militer maupun sipil. Lokasi dropping berada di Dumai, Pekanbaru, Padang dan Painan. 
Terkait dengan senjata ini, Sumual berkata di belakang hari bahwa "dalam keadaan yang kami hadapi itu, ajakan dari manapun yang bersedia menjual atau memberi senjata, kami terima." Si vis pacem para bellum. (Ingin damai siaplah perang).

6 Februari 1958: Pidato radio Ahmad Husein tentang Pertemuan Sungai Dareh
Untuk menjawab isu yang berkembang di Jakarta, dalam pidato melalui RRI Bukittinggi Ketua Dewan Perjuangan Ahmad Husein menyatakan bahwa pertemuan Sungai Dareh tidak bertujuan mendirikan negara Sumatra, namun untuk melindungi negara kesatuan dan mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.

10 Februari 1958: Ultimatum untuk Jakarta
Bandul jarum jam politik bergerak cepat. Merasa bahwa jalan perundingan sudah tertutup, Dewan Perjuangan mengeluarkan sebuah "Piagam Perjuangan Menyelamatkan Republik Indonesia." Pokok isinya adalah meminta kabinet Djuanda mundur dan digantikan oleh kabinet yang berisi tokoh-tokoh yang "jujur, cakap dan bersih dari anasir-anasir anti Tuhan" yang dipimpin oleh Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX serta meminta Presiden Soekarno kembali kepada kedudukan konstitusionalnya dan mendukung kabinet Hatta-Hamengkubuwono, Jika tuntutan itu tidak dipenuhi dalam waktu 5 hari, maka "kami terbebas dari kewajiban taat kepada Ir. Soekarno sebagai kepala negara."

12 Februari 1958: Jakarta menjawab
Gayung bersambut. Meskipun Presiden Soekarno sedang berada di luar negeri, PM Djuanda mengumumkan hasil sidang kabinet darurat sehari sebelumnya yaitu menolak ultimatum Dewan Perjuangan sekaligus memecat semua personil militer yang terlibat dan memerintahkan penangkapan atas semua tokoh-tokohnya baik sipil maupun militer. 

15 Februari 1958: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lahir
Karena batas waktu tuntutan yang disampaikan lima hari sebelumnya sudah habis, Dewan Perjuangan menepati janjinya. Melalui RRI Bukittinggi, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ia juga mengumumkan dibentuknya Kabinet PRRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Kabinet tanpa Presiden ini mengisyaratkan bahwa yang diganti adalah kabinet yang memerintah, bukan mendirikan sebuah negara.
Ki-ka: Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Maludin Simbolon, M.Sjafei

Kabinet PRRI terdiri dari Kol. M. Simbolon (Menteri Luar Negeri), Kol. Dahlan Djambek (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan), Kol. J.F. Warouw (Menteri Pembangunan), Letkol. Saleh Lahade (Menteri Penerangan), Mr. Burhanuddin Harahap (Menteri Keamanan dan Kehakiman), Dr. Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan dan Perhubungan), M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan), Saladin Sarumpaet (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Mochtar Lintang (Menteri Agama) dan Gani Usman (Menteri Sosial). Sedangkan Kol. Ventje Samual duduk sebagai KSAD PRRI. Adapun Ahmad Husein sendiri tidak duduk di kabinet itu karena ia adalah Ketua Dewan Perjuangan.



Selanjutnya di Bagian 6: Wind of War

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...