Sabtu, 24 Oktober 2020

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)




16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang
Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya di Jepang dan mendarat di Jakarta sehari setelah pengumuman berdirinya PRRI di Bukittinggi. Bersamaan dengan itu Jakarta memutuskan hubungan darat, laut dan udara dengan Padang dan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah. KSAD Nasution memecat semua pemimpin militer pemberontak dan memerintahkan penahanan atas mereka. Demikian juga PM Djuanda memerintahkan penahanan terhadap seluruh anggota kabinet PRRI.

17 Februari 1958: Rapat Kabinet PRRI yang pertama di Padang

Dalam rapat ini PM PRRI Syafruddin mempertegas perintah Dewan Banteng untuk menyetop semua devisa dari perusahaan-perusahaan minyak di Sumatera ke Jakarta. Ia juga akan mengirim telegram kepada Federal Reserve Bank di New York dan Bank of England untuk membekukan semua aset pemerintah pusat di Sumatera. Sementara Menlu PRRI Simbolon menyerukan agar semua duta besar di Jakarta mengirimkan perwakilannya ke Padang.

19 Februari 1958: Pertemuan Soekarno dan Hatta di Jakarta
Dalam pertemuan mereka, Hatta mengajukan jalan kompromi dan bukan jalan militer terhadap daerah yang membangkang. Menurut Hatta tindakan militer hanya akan menghancurkan persatuan nasional. Kerena itu ia mengusulkan agar PRRI menarik ultimatumnya dan kembali pada keadaan sebelum 1 Januari 1958. Selain itu keduanya juga membahas usulan Hatta tentang pembentukan pra-senat yag diisi oleh perwakilan daerah, pemberian amnesti kepada para pembangkang dan membentuk kabinet dengan Hatta sebagai perdana menteri. 
Dalam hal ini Hatta menyatakan bahwa ia "menolak sikap para pemberontak, tapi juga tidak dapat menerima kebijakan Soekarno yang mendorong mereka memberontak."

20 Februari 1958: Aksi massa mendukung PRRI di Padang
Ahmad Husein di depan aksi massa mendukung PRRI
Aksi ini diorganisir oleh Badan Kontak Aksi Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Sumatera Tengah (BKAPPM-ST) dan dilangsungkan di depan Gubernuran di Padang. Di depan puluhan ribu massa yang hadir Ahmad Husein menyitir perintah Jakarta untuk menangkap pimpinan PRRI. Ia mencopot tanda pangkatnya dan melemparkannya kepada massa seraya berkata, "..Inilah saya, tangkaplah! Serahkan kepada Jakarta. Kalau memang karena perjuangan ini masyarakat akan teraniaya.." Spontan massa memungut lagi tanda pangkat tersebut dan memasangkannya kembali ke bahu Ahmad Husein sebagai tanda bahwa mereka mendukungnya.
Sejak itu semakin bergelombang ratusan pelajar dan mahasiswa yang belajar di luar Sumatera Tengah pulang kampung dan dimobilisasi serta diberi latihan militer oleh PRRI.

21 Februari 1958: Aksi pengeboman oleh AURI
Pesawat-pesawat AURI mulai mengebom Bukittinggi, Padang, Painan dan Manado dengan sasaran stasiun radio dan instalasi lainnya untuk memutus jalur komunikasi PRRI. Serangan ini dilakukan atas inisiatif KSAU Surjadharma. Pesawat-pesawat B-25 itu juga menyebarkan pamflet yang berisi himbauan agar PPRI menyerah.

22 Februari 1958: KSAD A.H. Nasution ditunjuk sebagai Panglima Komando Gabungan
Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution
Dalam briefingnya di hadapan para perwiranya, Nasution mempersilahkan kepada yang menyetujui berdirinya PRRI untuk "berhenti dari Angkatan Perang." Ucapan ini sebenarnya bukan ditujukan kepada peserta rapat, namun kepada para perwira eks Divisi Banteng yang meninggalkan Mabes AD, sekolah perwira di Bandung dan sekolah hukum militer di Jakarta untuk bergabung dengan PRRI seperti Mayor Sjoeib, Mayor Nursyirwan, Kapten Husein Abdullah, Letnan Harland Darwin dan lainnya. Dalam kesempatan itu Nasution juga menyatakan bahwa ia telah siap menggempur Sumatera dan Sulawesi.

Akhir Februari 1958: Konflik internal Dewan Banteng
Mayjen. Nurmatias
Ternyata tidak semua perwira Dewan Banteng yang menyetujui langkah keras Ahmad Husein terhadap Jakarta. Salah satunya adalah  Mayor Nurmatias, komandan Batalyon 140 di Bukittinggi. Padahal Nurmatias (terakhir berpangkat Mayjen dan Dubes di Australia) adalah teman Husein sejak masa revolusi serta merupakan pendukung Dewan Banteng sejak awal. Ia bahkan ikut serta dalam kontak-kontak dengan CIA di luar negeri. Alasannya mundurnya sangat mendasar yaitu "karena ternyata Bung Hatta tidak mendukung PRRI."
Mayor Nurmatias bersama kurang lebih 100 orang pasukannya mundur ke Matur dan selanjutnya terus ke Padang Sago di kaki Gunung Tandikat. Ikut bersamanya Komisaris Besar Polisi Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah yang juga salah seorang anggota Dewan Banteng sejak awal. Alasannya sama dengan Nurmatias. 
Semula Husein sempat memerintahkan anak buahnya untuk mengejar rombongan Mayor Nurmatias, namun pengejaran itu dihalangi oleh oleh perwira PRRI lain yaitu Kapten Azwar Dt. Mangiang karena faktor pertemanan.

Awal Maret 1958: Insiden KRI Pati Unus di Teluk Bayur
Kapal-kapal ALRI mulai nampak mondar-mandir di lepas pantai Padang. Sementara itu PRRI menahan kapal penumpang "Both" dan "Blekok" di Teluk Bayur agar tidak berlayar ke Tanjung Priok di Jakarta. Tujuannya adalah agar kedua kapal tersebut tidak digunakan untuk mengangkut tentara APRI ke Padang.
Pada suatu hari Komando Pelabuhan Teluk Bayur mendapat  ultimatum dari komandan KRI Pati Unus untuk membebaskan Both dan Blekok. Jika tidak maka Teluk Bayur akan ditembaki oleh KRI Pati Unus dan KRI Rajawali. Namun Kapten Azwar dari PRRI berprinsip lebih baik mendahului menembak daripada ditembak. Ia berhasil mengejutkan awak KRI Pati Unus dengan tembakan dari darat yang mengenai buritan kapal tersebut. Akibatnya kedua KRI tersebut kembali ke laut bebas dan batal menjalankan ultimatumnya.

3 Maret 1958: Pertemuan kedua Soekarno - Hatta
Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan tanggal 19 Februari dan pada akhir pertemuan keduanya bersepakat akan bertemu kembali tanggal 7 Maret. Sepertinya kata sepakat antara kedua tokoh ini akan tercapai.

7 Maret 1958: Pertemuan ketiga Soekarno - Hatta yang gagal
Pertemuan yang direncanakan ini dibatalkan oleh Soekarno  melalui surat kepada Hatta sehari sebelumnya dengan alasan bahwa pembicaraan rahasia mereka berdua tanggal 3 Maret "dibocorkan orang". Merasa bahwa Soekarno sedang mencari jalan untuk tidak mendukung upaya damainya dan condong kepada jalan peperangan, Hatta membalas dengan mengirim surat kepada Soekarno yang menyatakan bahwa "pembicaraan selanjutnya tidak diperlukan lagi." Dengan demikian jalan damai sepertinya semakin tertutup.
Sejak itu koran-koran berhaluan komunis seperti Pemuda dan Bintang Timur gencar menyerang Bung Hatta sebagai pengkhianat karena tidak menyetujui tindakan militer terhadap PRRI sembari melakukan distorsi informasi bahwa sebenarnya Hatta adalah seorang yang anti PRRI.

12 Maret 1958: Operasi Tegas APRI Pekanbaru
Kaharuddin Nasution
Ternyata APRI tidak langsung menuju Padang, tapi menyisir dari wilayah di sekelilingnya. Operasi APRI ke Pekanbaru bersandikan Operasi Tegas dipimpin oleh Let.Kol Kaharuddin Nasution (kelak menjabat sebagai Gubernur Riau 1960-1966) dan berkekuatan 5 batalyon. Mereka diterjunkan di pelabuhan udara Simpang Tiga Pekanbaru. Begitu mendarat, yang mereka temukan bukan pasukan PRRI tetapi berpeti-peti senjata buatan Amerika yang baru didrop lewat udara dan belum sempat diambil oleh pasukan PRRI.
Pilihan APRI terhadap kota Pekanbaru sepertinya tepat. Karena ternyata pasukan PRRI di sana tidak siap untuk mempertahankan Pekanbaru. Kekuatannya pun hanya 1 kompi, yang tugas utamanya adalah mengambil senjata yang didrop Amerika di sana. Mereka pun tidak  menyerang ladang minyak Caltex, sebagaimana dikhawatirkan Jakarta. Sebab jika Caltex sebagai aset Amerika diganggu, maka pasukan Armada ke-7 AS yang bermarkas di Filipina akan memperoleh alasan masuk ke wilayah Indonesia untuk melindungi warganya. Di belakang hari Ahmad Husein menyatakan bahwa memang ia tidak memerintahkan untuk menyerang Caltex karena tidak menginginkan invasi langsung Amerika ke dalam negeri.
Sejalan dengan operasi Tegas di Riau,  APRI mengirim operasi intelijen ke wilayah PRRI dipimpin Letnan Kolonel Sukendro. Kebanyakan menyamar sebagai tukang miso dan tukang jamu. Konon, inilah awal masyarakat Sumatera Tengah mengenal jenis makanan tersebut. Operasi intelijen ini juga berupaya membuka kontak dengan perwira Banteng yang menyingkir ke Padang Sago.

13 Maret 1958: Armada ke-7 AS pulang kandang
USS Ticonderoga
Tidak adanya perlawanan PRRI di Pekanbaru dan tidak terganggunya aset Amerika di Riau membuat kapal induk USS Ticonderoga dan kapal perusak USS Eversole dan USS Shelton yang sedang dalam pelayaran menuju Sumatera terpaksa pulang kandang ke pangkalan Subic di Filipina pada saat telah berada di dekat perairan Singapura.

16 Maret 1958: Kup Mayor Boyke Nainggolan di Medan
Mayor Boyke Nainggolan
Moral pasukan PRRI yang turun akibat serbuan kilat pasukan APRI di Pekanbaru kembali terangkat oleh suatu kejadian di Medan. Mayor Boyke Nainggolan dan pasukannya berhasil melakukakan kup terhadap komandan operasi APRI di Medan yang juga adalah Deputi KSAD, Kolonel Djatikusumo. Dalam sebuah operasi yang bersandi Operasi Sabang Merauke, Mayor Nainggolan dan pasukannya berhasil menguasai kota Medan dan memaksa Kolonel Djatukusumo menyingkir ke Belawan. Sedangkan Letkol Djamin Ginting selaku acting Panglima TT-I menyingkir ke Tanah Karo. 
Baru pada 17 April 1958 perwira lulusan Sekolah Staf dan Komando Fort Leavenworth (AS) ini dan pasukannya berhasil dipukul mundur setelah KSAD Nasution mengirimkan pasukan tambahan dari Jakarta. Mayor Nainggolan dan pasukannya mundur ke selatan dan  menggabungkan diri dengan Kolonel Simbolon di Tapanuli, perbatasan dengan Sumatera Tengah.

20 Maret 1958: Pertempuran di batas Riau - Sumbar
Dalam waktu seminggu sejak diterjunkan, seluruh Riau Daratan sudah dikuasai oleh pasukan APRI. Selanjutnya APRI menjepit Sumbar dari 2 jurusan, arah Bangkinang dan arah Teluk Kuantan. Pasukan PRRI berusaha mati-matian menahan gerak laju pasukan APRI yang dimotori RPKAD di Rantau Berangin dan Lubuk Jambi. Di kedua pintu masuk itu pertempuran berlangsung sengit selama berhari-hari. 

22 Maret 1958: Brigjen Alex Kawilarang meninggalkan posnya di Washington
Brigjen Alex Kawilarang
Brigadir Jenderal Alex Evert Kawilarang, atase Militer RI di Washington berkemas-kemas. Ia merasa bahwa kabar tentang pengeboman terhadap kampungnya di Manado oleh pesawat-pesawat AURI beberapa waktu yang lalu adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Menurutnya pemerintah pusat juga turut andil dan bertanggung jawab atas  krisis yang terjadi.
Setelah merasa tidak ada dokumen yang harus dibereskan lagi, ia pun melapor kepada Dubes Murkoto bahwa ia akan meninggalkan jabatan yang disandangnya sejak Agustus 1956 itu dan pulang ke Sulawesi Utara. 
Kolonel Joop Warouw
Setibanya disana Permesta mengangkatnya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Revolusioner (APREV) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Namun Kawilarang tidak sendiri. Pada bulan sebelumnya, Atase Militer RI di Beijing Kolonel Joop Warouw juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan telah diangkat sebagai Menteri Pembangunan pada kabinet PRRI. Belakangan ia malah diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri PRRI.
Baik Kawilarang maupun Warouw keduanya adalah mantan Panglima. Kawilarang mantan panglima TT III/Siliwangi di Jawa Barat sedangkan Warouw adalah mantan panglima TT VII/Wirabuana di Makasar.

6 April 1958: Duta Besar Mr. St. M. Rasyid meninggalkan Roma
Mr. St. M. Rasjid
Sudah seminggu Duta Besar RI untuk Italia Mr. St. M. Rasyid  tidak bisa tidur. Disamping gelisah memikirkan perkembangan politik di kampung halamannya, ia juga gelisah karena memikirkan nasib keluarganya sehubungan dengan keputusan yang akan ia ambil. Sebuah keputusan besar, terutama jika mengingat masa depan anak-anaknya. Apalagi yang paling besar baru berumur 15 tahun. 
Sudah banyak yang mencoba menasehatinya agar jangan mengambil keputusan itu. Tapi sebagai mantan Gubernur Militer Sumatera Tengah, ia tahu betul apa yang terjadi. Nuraninya berkata bahwa ia harus ikut dengan perjuangan itu, meskipun taruhannya adalah masa depan keluarganya.
Pagi 6 April itu ia boyong keluarganya meninggalkan Roma menuju Genoa dan terus ke Jenewa, Swiss. Dengan uang yang ia telah persiapkan selama dua bulan, ia yakin akan mampu bertahan di Eropa paling tidak selama 3,5 tahun. 
Sejak itu Mr. St. M. Rasyid resmi beralih status dari Duta Besar RI menjadi Duta Besar PRRI dan menjadi tokoh yang aktif mengkampanyekan PRRI di Eropa.


Selanjutnya di Bagian 7: Perang Saudara

3 komentar:

  1. Mana kelanjutannya min?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. PRRI ADALAH SOSIO KRITIK TERHADAP PEMERINTAH PUSAT DI JAKARTA YANG SEAKAN JAWA CENTRIS?

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...