9 April 1958: Operasi 17 Agustus
Setelah Riau jatuh, maka sasaran selanjutnya tentulah pusat perlawanan PRRI, Sumatera Barat. Operasinya diberi nama 17 Agustus. Saking rahasianya operasi ini, maka perencanaannya pun bukan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), melainkan di rumah Kolonel Roekminto Hendraningrat, tetangga Kolonel Ahmad Yani. Yani sendiri ditunjuk menjadi komandan operasi 17 Agustus. Inilah operasi terbesar APRI pasca kemerdekaan dengan melibatkan 6.500 personil dari divisi Brawijaya (Jawa Timur) dan Diponegoro (Jawa Tengah), 20 kapal perang, 19 kapal angkut, 25 pesawat angkut C-47 Dakota, 6 pesawat pemburu P-51, 1 bomber B-25 Mitchell dan 6 pesawat serang darat AT-16 Harvard.
![]() |
Ahmad Yani |
12 April 1958: Pasukan APRI menuju Padang
Karena jumlahnya yang besar, maka keberangkatan pasukan dari pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta terpaksa dibagi dalam 3 gelombang, dengan selisih keberangkatan satu hari. Armada laut ini dipimpin oleh Letnan Kolonel John Lie dengan KRI Gajah Mada-nya. Sebagai titik kumpul ditentukan Pulau Pandan, 5,5 mil dari pantai Padang.
![]() |
John Lie |
16 April 1958: Pendaratan rahasia di Danau Singkarak.
Armada ALRI mulai unjuk kekuatan dengan melakukan manuver-manuver di lepas pantai Padang sambil sesekali melepaskan tembakan ke arah kota. Gerakan ini ditujukan untuk menarik perhatian pasukan PRRI ke arah pantai.
Sementara itu nun di balik Bukit Barisan, kira-kira 50 km arah barat laut Padang, sebuah pesawat amfibi Catalina mendarat dengan diam-diam di Danau Singkarak. Setelah menaikkan 6 orang penumpangnya, pesawat tanpa identitas itu segera membumbung ke langit. Para penumpang yang naik adalah pasukan PRRI yang akan dilatih tentang persenjataan dan perhubungan di fasilitas-fasilitas militer Amerika yang ada di Filipina dan Okinawa. Satu diantara enam orang yang berangkat hari itu adalah adik Ahmad Husein sendiri yang bernama Sjofjan Kahar. Sebelumnya juga sudah berangkat sejumlah pasukan PRRI untuk tujuan yang sama, namun dengan menumpang kapal selam yang mengantar senjata ke lepas pantai Padang dan Painan.
17 April 1958: Padang jatuh
Jam 04.00 armada kapal perang ALRI mulai membuka rentetan tembakan ke arah kota Padang. Pukul 05.30 KRI Gajah Mada mulai menurunkan ponton-ponton dari drum bekas beralaskan bambu untuk pendaratan pasukan. Dibawah perlindungan tembakan meriam kapal dan riung pesawat pengebom, pasukan APRI yang dimotori KKO (Marinir) berhasil merapat ke beach-head pantai Parupuk dan pantai Ulak Karang sekitar pukul 06.00. Pemilihan lokasi ini membuat skenario pertempuran yang dirancang PRRI berantakan. Pihak PRRI memperkirakan pendaratan akan dilakukan di Teluk Bayur atau di pantai Purus, sehingga menyiapkan pasukan penghadang di sana. Namun yang terjadi berbeda.
![]() |
Benny Moerdani |
Diluar dugaan, ternyata pasukan PRRI di Padang tidak memberikan perlawanan yang berarti. Memang ada tembakan-tembakan sporadis tapi tidak terlalu menghambat gerak maju pasukan APRI. Belakangan diketahui bahwa beberapa hari sebelumnya Ahmad Husein telah memerintahkan pejabat pemerintah dan guru-guru meninggalkan kota.
Skenario yang dirancang adalah melakukan perlawanan dengan 2 buah pesawat pengebom B-26 yang dikirim dari Manado dan meledakkan ranjau-ranjau di pelabuhan Teluk Bayur. Namun ternyata skenario itu tidak berjalan. Kedua pesawat pengebom tidak pernah sampai ke Padang dan pasukan APRI tidak memilih Teluk Bayur sebagai tempat mendaratkan pasukan.
Teluk Bayur sendiri baru bisa dikuasai oleh APRI pada lewat tengah malamnya, lewat jalur darat dari pusat kota Padang yang telah dikuasai. Baru 2 hari kemudian kapal-kapal ALRI bisa bersandar di Teluk Bayur setelah berjibaku membersihkan ranjau dan rongsokan kapal yang ditenggelamkan PRRI.
PRRI sendiri sebenarnya kekurangan tentara. Dari 4 batalyon yang berada di bawah Ahmad Husein selaku Komandan Resimen 4, 2 batalyon berada dalam operasi di luar Sumatera yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan. Sedangkan batalyon-nya Mayor Nurmatias juga sudah terpecah karena komandannya mundur dari PRRI. Sehingga praktis yang lebih banyak bergerak adalah pemuda dan mahasiswa yang diberi latihan militer oleh PRRI. Mereka dijuluki oleh Ahmad Husein sebagai The Second Army. Memang sejak Januari 1958 tercatat sekitar 400-an mahasiswa pulang kampung dari kuliahnya di Pulau Jawa untuk bergabung dengan PRRI. Namun tak bisa dipungkiri bahwa dengan latihan yang terbatas, kemampuan mereka tentang persenjataan juga terbatas. Jadi bisunya meriam-meriam canggih PRRI kiriman Amerika itu dapat dipahami dari sisi ini.
Namun juga ada informasi lain yang mengatakan bahwa pada saat itu ada perintah dari beberapa perwira PRRI untuk tidak menembak pasukan payung yang sedang terjun. Hal ini membuat The Second Army kebingungan. Belakangan tersebar rumor bahwa para perwira itu sebenarnya telah menyeberang ke pihak APRI.
![]() |
Yani menyaksikan pendaratan pasukannya di Padang |
Pukul 17.00 seluruh kota Padang jatuh ke tangan APRI. Selanjutnya Ahmad Yani menjadikan rumah dinas Ahmad Husein selaku Danrem sebagai markas operasinya. Ia pun mengirim utusan kepada para perwira PRRI yang menyingkir ke Padang Sago untuk bergabung ke Padang. Tawaran itu diterima, namun Mayor Nurmatias menolak untuk memerangi rekan-rekannya dan meminta untuk dipindahkan ke Jakarta.
Pada hari yang sama ibukota PRRI dipindahkan ke Bukittinggi.
21 April 1958: Solok dikuasai APRI
Mengetahui bahwa Ahmad Husein mundur ke arah Solok, Ahmad Yani memutuskan Solok menjadi pilihan pertama untuk gerakan pasukan. Pilihan Ahmad Husein atas Kabupaten Solok bukan tanpa alasan. Beberapa tahun sebelumnya, saat agresi militer Belanda kedua, ia pernah bermarkas dan bergerilya di Solok bersama batalyonnya Harimau Kuranji yang mundur dari Padang. Karena itu medannya sangat ia kuasai.
Pada hari kedua, APRI sudah tiba di daerah Ladang Padi dan bergerak maju ke arah Lubuk Selasih, perbatasan antara kota Padang dan Kabupaten Solok. Gerakan cepat APRI ke Solok hampir membuat PM PRRI Sjafruddin tertangkap. Sjafruddin yang saat itu mencoba bergeser dari Bukittinggi ke Muara Labuh tidak menyadari bahwa pasukan APRI sudah berada di Lubuk Selasih. Akibatnya kendaraan yang ia tumpangi ditembaki sehingga ia terpaksa kembali ke Bukittinggi.
Ketika pasukan APRI memasuki kota Solok, terjadi kontak senjata dengan pasukan PRRI selama lebih kurang satu jam. Namun karena Solok tampaknya tidak disiapkan untuk bertahan, kota itu pun jatuh ke tangan APRI.
27 April 1958: APRI menguasai Muara Labuh
Setelah mengamati situasi, Ahmad Yani memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan operasi ke Muara Labuh yang pada saat itu sebagai jaringan utama ke Sumatera Selatan. Meskipun di bawah hujan mortir dari pihak PRRI, Muara Labuh berhasil dikuasai. Benny Moerdani mencatat pasukannya yang berjumlah 70-an orang hanya tersisa 37 orang lagi. Sisanya terluka atau gugur.
Dengan dikuasainya Muara Labuh maka APRI berhasil memutus hubungan antara pasukan pemberontak di kedua daerah serta menjepit posisi Ahmad Husein yang diyakini berada di Solok Selatan.
1 Mei 1958: APRI memasuki Padang Panjang
Setelah kota Padang dikuasai sepenuhnya, Yani menargetkan Bukittinggi harus diduduki pada 2 Mei. Namun rencananya tertahan di Kayu Tanam karena pertempuran sengit menghadapi pasukan PRRI dibawah komando Mayor Djohan di Lembah Anai selama 2 hari. Mayor Djohan memang dikenal sebagai komandan yangb tangguh sejak perang kemerdekaan, dengan wilayah operasi sekitar kabupaten Tanah Datar dan Padang Panjang. Pasukan APRI akhirnya berhasil maju setelah mendapat dukungan pesawat Angkatan Udara. Tanggal 1 Mei mereka berhasil mencapai Padang Panjang.
4 Mei 1958: Bukittinggi menyerah
Pasukan APRI baru berhasil memasuki Bukittinggi tanggal 4 Mei. Disana mereka bergabung dengan pasukan yang maju dari Medan dan Tapanuli. Sementara pasukan PRRI sudah menyingkir keluar kota. Kolonel Dahlan Djambek sendiri membuat pertahanannya di Kamang, pinggiran kota Bukittinggi ke arah Bukit Barisan.
Inspeksi Yani di Bukittinggi |
Kepada Mossman, Dahlan Djambek berkata “Kami belum kalah. Kami akan terus berjuang. Kami akan berperang di hutan. Menyerang dan mundur. Seperti yang dulu kami lakukan terhadap Belanda”. Djambek melanjutkan, "Kami akan meledakkan jalur pipa minyak mereka dan mengadakan perang ekonomi untuk melawan mereka. Mereka tidak akan mampu menangkap kami, pada akhirnya mereka akan terpaksa untuk bersepakat dengan kami”.
17 Mei 1958: Berakhirnya Provinsi Sumatera Tengah
![]() |
Kaharoeddin Dt. Rky Basa |
Tokoh daerah yang dipandang cakap untuk memimpin provinsi pecahan itu adalah Komisaris Besar Polisi Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, salah satu tokoh Dewan Banteng yang menolak bergabung dengan PRRI.
Pada tanggal 17 Mei 1958, Kaharoeddin dilantik sebagai Pejabat Gubernur/Koordinator Pemerintahan Sipil Daerah Swatantra Tk. I Sumatera Barat melalui sebuah Keputusan Presiden. Dengan demikian tamatlah secara resmi riwayat provinsi Sumatera Tengah, termasuk jabatan Ahmad Husein sebagai Ketua Daerah Sumatera Tengah.
20 Mei 1958: Payakumbuh dikuasai APRI
Kota terakhir yang dikuasai PRRI, Payakumbuh, jatuh ke tangan APRI pada tanggal 20 Mei. Sejak itu PRRI terpaksa menarik pasukannya mundur jauh ke dalam pegunungan Bukit Barisan. Komando tentara PRRI yang dipimpin Ahmad Husein berpindah-pindah di seputar Solok Selatan. Sementara para pemimpin sipil PRRI berpusat di Koto Tinggi, sebuah nagari terpencil di utara Kabupaten Lima Puluh Kota, tempat dimana Sjafruddin memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia 10 tahun sebelumnya.
Sementara di front utara, Dahlan Djambek membangun markasnya secara berpindah-pindah di daerah Kamang Agam. Demikan juga Zulkifli Lubis dan Simbolon yang tampak sering berkeliaran ke berbagai front PRRI. Semuanya ditempuh dengan berjalan kaki.
Juli 1958: Ahmad Yani ditarik pulang
![]() |
Pranoto Reksosamudro |
Menyadari bahwa PRRI didukung oleh Masyumi dan sangat anti komunis, maka Pranoto justru menggunakan tangan kaum komunis untuk memperlancar tugasnya dalam menghadapi perlawanan PRRI. Ia merekrut 6.341 anggota OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) yang hampir seluruhnya berasal dari anggota Pemuda Rakyat, organisasi di bawah PKI. Tugasnya adalah "membantu memelihara keamanan."
OKR inilah yang belakangan menjelma menjadi OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) yang selama masa pergolakan sangat berwarna komunis. Mereka melakukan teror dan intimidasi serta perbuatan brutal lainnya kepada rakyat, khususnya kepada orang-orang bekas PRRI dan keluarganya.
Bukan itu saja, para perwira militer yang berhasil dibina oleh PKI memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan pengaruh komunis sampai ke desa-desa di Sumatera Barat. Mereka mengganti para wali nagari yang pro PRRI dengan orang-orang atau simpatisan mereka.
Ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1960 karena dinilai berkaitan langsung dengan PRRI, maka PKI dengan cepat menggantikan posisi mereka di lembaga legislatif DPRD Gotong Royong pada tahun 1961 sebagai kekuatan politik terbesar kedua di Sumatera Barat setelah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Selanjutnya: Perselisihan Internal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar