Senin, 13 Mei 2013

Gerbang Tuan Siteneng (1910)


Sebuah foto koleksi KITLV yang memperlihatkan sebuah gerbang megah melatarbelakangi pose sederetan penghulu bersama seorang pejabat kolonial beserta anak perempuannya.

Pejabat tersebut bernama Louis Constant Westenenk. Anaknya bernama Pauline. Begitulah yang tertulis di caption foto. Lokasi pengambilan ada di Padangsche Bovenlanden alias Padang Darek. Kalau melihat catatan tahunnya, pada masa itu Westenenk adalah Asisten Residen Tanah Datar. Artinya berkemungkinan foto ini dikodak di Fort van der Cappelen alias Batusangkar sekarang.

Beberapa hal menarik tergambar di foto ini. Pertama, gerbangnya yang megah dengan motif yang menawan. Gerbang apakah itu dan dimana letaknya? Untuk hal ini saya tidak punya jawaban. Tetapi begitu di zoom, dalam pandangan saya gerbang ini terlihat seperti terbuat dari anyaman bambu. Dengan demikian saya menyimpulkan bahwa gerbang ini dibuat untuk suatu event dan sifatnya tidak permanen. Yang perlu dipujikan adalah kerapihan dan ketelitian detail corak dan pengerjaannya sehingga hasilnya terlihat sangat bagus. Setidaknya dalam foto hitam putih :)

Kedua, semua penghulu dalam foto memakai saluak, tapi dengan pakaian jas tutup dan celana putih serta bersepatu. Bahkan ada yang bersepatu putih seperti tuan-tuan berhidung panjang. Ada juga yang memakai jam kantong. Artinya mereka adalah Be-Pe-Be alias Bukan Penghulu Biasa. Berkemungkinan mereka adalah para Angku Lareh dalam Afdeling Tanah Datar. 

Ketiga, lihat bagaimana posisi Asisten Residen. Tidak simetris ditengah-tengah kerumunan, tapi agak di sebelah kanan kamera. Dan membawa anak pula. Sesuatu yang tidak biasa untuk sebuah pose yang 'setengah' resmi begini. Jawabannya mungkin adalah karena kemampuan Westenenk untuk berbaur dan berkomunikasi sehingga para penghulu tidak merasa kagok menempatkan Asisten Residen dan anak perempuannya agak ke pinggir.

Sejatinya L.C. Westenenk mungkin adalah salah satu pejabat kolonial yang paling populer di Ranah Minang - bahkan mungkin di Sumatera- pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Dia dikenal menguasai bahasa Minang dengan fasih serta mengerti dengan hukum adat Minangkabau.

Dilahirkan di Semarang pada 2 Februari 1872, belajar soal Indologi di Delft dan lulus pada 1892. Pertama ditugaskan di Bandung lalu ke Kalimantan Barat. Disana ia ikut menangkap pejuang Raden Paku pada 1896.

Perkenalan pertamanya dengan Ranah Minang adalah ketika ia ditugaskan di Payakumbuh pada 1897. Pada 1898 ia dipindahkan ke Sawahlunto sebagai kontrolir VII Koto sampai ia dipindahkan ke Aceh pada 1900. Konon karena ia menganggap bahwa perlakuan terhadap tenaga kerja paksa di tambang batubara "tidak pas". Ini membuat tuan-tuan lain tidak nyaman.

Menurut sobat karibnya H.T. Damste, meskipun telah bertugas di Aceh dan diterima baik di sana, hatinya telah tertawan oleh Ranah Minang. Keinginannya itu pada akhirnya terkabul juga. Sekembalinya dari cuti ke Belanda pada 1904 ia kembali ke Ranah Minang, ditempatkan di Kubang Nan Duo sebagai kontrolir Supayang, Tanah Datar. Selanjutnya ditunjuk sebagai kontrolir Oud Agam alias Agam Tuo yang berkedudukan di Bukittinggi.

Inilah barangkali masa-masa paling menggairahkan dalam kehidupan karir Westenenk. Hal ini terlihat dari apa yang dikerjakannya. Ia menggalang dana dan memperluas Pasar Atas, membangun Pasar Lereng dan Pasar Bawah serta Janjang 40. Ia menggagas Pasar Malam di Bukittinggi (yang ia sebut Pakan Malam) serta menyelenggarakan pacu kuda di Bukit Ambacang secara rutin.

Dengan kefasihannya berbahasa Minang membuat tidak ada hambatan komunikasi baginya dalam menyampaikan gagasannya kepada masyarakat. Bahkan pada saat cuti ke Belanda tahun 1910, ia bersedia membawa serta 2 orang pemuda asal Koto Gadang untuk dimasukkan ke sekolah guru di Belanda. Tak heran, masyarakat pun punya nama khusus untuknya. Bukan Tuan Kontrolir, tapi Tuan Siteneng. Plesetan lidah si Minang atas namanya.

Ia juga rajin menulis tentang Ranah Minang yang dipublikasikan di Batavia. Tak kurang dari 20-an artikel dan jurnal yang dimuat dalam berbagai terbitan. Temanya beragam. Mulai dari soal nagari dan wilayah, adat dan budaya masyarakat, penyelenggaraan Pakan Malam, sampai panduan wisata ke Bukittinggi dan sekitarnya. Selain itu ada soal Perang Padri, candi Muara Takus, cerita tentang binatang seperti buaya dan harimau, sampai kepada hal-hal gaib seperti urang bunian maupun urang pendek di Kerinci. Hal ini menunjukkan minatnya yang mendalam terhadap segala hal yang ada di Sumatra Westkust.

Mungkin satu-satunya noda hitam Tuan Siteneng bagi orang Minang adalah perannya dalam menumpas pemberontakan pajak di Kamang pada tahun 1908. Ia lah -selaku kontrolir- yang memerintahkan tentara dari Fort de Kock untuk menyerang rakyat Kamang. Banyak korban di situ. Meskipun di pihak Belanda sendiri 7 orang tewas dan 14 terluka.

Selepas itu karirnya makin moncer. Tahun 1910 ia diangkat menjadi Asisten Residen Tanah Datar. 1915 Residen Bengkulu. 1920 Residen Palembang. 1921 Gubernur Sumatera Timur. 1924 anggota Dewan Hindia di Batavia.

Tahun 1929 karena alasan kesehatan istrinya, ia kembali ke Belanda dan mengajar Indologi. Mungkin karena dianggap cukup paham soal karakteristik orang muslim selama bertugas di Sumatera, pemerintah Inggris memintanya ke Yerusalem untuk membantu soal konflik Palestina - Yahudi. Namun belum sempat bertugas ke sana,  ia meninggal di Wassenaar, 2 Mei 1930.

Itulah sekelumit hikayat Tuan Siteneng.

(Sumber : KITLV; wikipedia; europeana.eu; dbnl.org)

10 komentar:

  1. wajah tuan siteneng ini kelihatannya kok tidak bule bule amat ya ? apalagi dengan rambutnya yang hitam kelihatannya malah kaya orang indonesia

    BalasHapus
  2. Sepakat dengan penilaian uni Khairunnisa. Tapi tidak ada catatan bahwa Tuan Siteneng ini anak indo. Mungkin efek foto saja?

    BalasHapus
  3. tuan siteneng ko musuah gadang rang kampuang ambo mah. waktu parang belasting saisuak dan sasudah parang usai marasai urang kampuang ambo dibueknyo...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cubo carito saketek da Edi baa mode Tuan Siteneng ko waktu di Kamang sisuak. Bia tambah lengkap referensi awak..

      Hapus
  4. Rancak bana. Bakunjuang juo ka blog awak yo... www.rayhandeyis.blogspot.com

    BalasHapus
  5. saya masih ingat,,, waktu kecil2,,, kalo kami yg masih anak2 suka marabo,,, palawan ka urang tuo,, marusak pakakeh waktu marabo...urang tuo akan ngomel2 dan bilang " mantuak siteneng na ang ko,,, mungkin karena kasus ny dgn orang kamang ya,, hehe,, info badacak da..

    BalasHapus
    Balasan
    1. alah pernah kanai imbas namo Tuan Siteneng da Pinto mah yo...:)

      Hapus
  6. ndk itu c do da,, guru2 d sakola esede,, nan banyak peraturan,, pambangih,, kanai juo d induak2 d rumah mah.. " siteneng na guru ang ko,," hahah ndk do da mandanga do dari ortu da ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mandanga2 lai da. Tapi kebetulan ambo esede ndak di kampuang. Jadi ndak ado guru nan siteneng di sinan...:)

      Hapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...