Jumat, 25 November 2011

Ibu Hajjah dan Penenun Kain (1920an)


Halo semua!
Sudah hampir 4 bulan sejak posting terakhir ya. Tepatnya pada awal Ramadhan lalu. Karena sesuatu dan hal --klise(!)-- maka baru sekarang bisa nulis lagi. Buat yang tetap berkunjung dan mengirimkan komentarnya selama blog ini vakum ambo ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya...

Baik, kita sudah melewati 2 hari raya sejak posting terakhir yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Hari-hari ini adalah hari-hari kepulangan jemaah haji dari menunaikan rukun Islam ke-lima di Makkah. Saya masih mencari-cari dokumentasi tentang 'kehebohan' prosesi keberangkatan dan kepulangan jemaah haji jaman kolonial di Ranah Minang, namun belum ketemu sampai sekarang. Kalau ada pembaca yang punya bolehlah di-share disini buat kita nikmati rame-rame..:)

Akhirnya saya memutuskan untuk mengunggah sebuah foto dari tahun 1920-an koleksi dari Tropen Museum. Foto ini masih sedikit berkaitan dengan tema kita kali ini yaitu haji, namun dengan sedikit pernak-pernik lain.

Dalam foto terlihat seorang ibu yang dalam keterangan foto tertulis sebagai 'seseorang yang telah pulang dari perjalanan suci ke Makkah' sedang mengawasi seorang wanita yang sedang menenun kain. Tidak disebutkan lokasi spesifik pengambilan foto, tapi hanya ditulis di dataran tinggi jantung Minangkabau. Juga disebutkan bahwa berbeda dengan seabad sebelumnya, kain tenunan sudah kalah bersaing dengan katun impor yang harganya lebih murah.

Pose dalam foto tersebut kelihatannya sudah di-setting. Terlihat dari pakaian wanita penenun yang berpakaian rapi seperti mau pergi ke undangan perkawinan saja layaknya. Perhatikan sepatunya yang ber-hak tinggi dan berbunga-bunga. (Saya yakin kalau fotonya berwarna kemungkinan besar warnanya merah :)). Rasanya terlalu bagus untuk orang yang sedang menenun kain di halaman rumah.

Yang juga menarik adalah pakaian bu hajjah. Didalam jilbabnya terdapat lapisan keras sehingga bagian atasnya berbentuk persegi. Dagunya juga tertutup sampai hampir mencapai bibir. Sepintas terlhat mirip dengan pakaian biarawati. Bu hajjah juga berpakaian bagus, memakai gelang emas besar di tangan kanannya. Tapi apakah memang seperti ini pakaian hajjah sehari-hari pada masa itu atau hanya untuk kesempatan tertentu saja --berfoto misalnya?

Kesimpulannya apa mas bro? Kesimpulan pribadi saya, dua wanita ini berkerabat -kemungkinan ibu dan anak, melihat kemiripan wajah keduanya. Si ibu hajjah kemungkinan adalah juragan songket di --lagi-lagi kemungkinan-- Pandai Sikek, dekat kota Bukittinggi. Hal ini karena didalam keterangan foto juga mencantumkan bahwa disamping tenunan, juga diproduksi bordiran dan punya pasar sendiri. Tenun dan bordir serta pasar yang dekat (Bukittinggi), di dataran tinggi pula, kemungkinan besar menunjuk ke Pandai Sikek. Bahkan sampai sekarang nagari Pandai Sikek terkenal dengan tenunannya yang khas.

Terus, tahunya soal ibu dan anak selain soal kemiripan? Sederhana saja, kalau foto sudah di-setting sedemikian rupa untuk seorang juragan kain tenun (di zaman foto belum lazim untuk pribumi), siapa lagi yang pantas untuk diajak berfoto selain anak sendiri? :)

2 komentar:

  1. Saya sangka bung ntonk udah lupa cara update blog.. :)

    Chan.

    BalasHapus
  2. Bung Chan : Wahahaha....tebakan yang 12 pas! Hampir saya lupa cara upload foto...! Salam jumpa lagi dari kampuang nan jauah di mato.

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...