
Namun demikian, tidak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya Rusli Amran. Sebagian orang menganggapnya sejarawan, tapi sebenarnya dia bukanlah "orang sejarah".
Berawal dari sebuah buku "ajaib" nan kontroversial terbitan tahun 1963 (sekarang sudah dicetak ulang) berjudul “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Hambali di Tanah
Batak (1816-1833)” karya Mangaradja Onggang
Parlindungan yang menulis:
“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena
kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar
Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo
Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa
mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic
ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan
angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679)."
Dengan segala gaya penulisannya yang unik dan sedikit aneh (menurut saya malah itu yang membuat buku ini menarik, terlepas dari kebenaran isinya), harus diakui bahwa yang ditulis M.O. Parlindungan itu mengandung kebenaran. Kekurangan orang Minang yang selama ini tidak
berorientasi ke belakang, tidak acuh dengan sejarah lamanya, dan tidak pula
memiliki aksara sendiri, telah menyebabkan bukan saja sejarah yang dulu-dulu
tertimbun oleh masa, sejarah yang kemarin saja pun sudah kabur. Coba saja, keluarga Minang mana yang punya ranji lengkap sampai ke nama nenek moyangnya? Barangkali cuma sampai kakek atau ayah dari kakek.
Brothers from Minang pun bereaksi atas buku tersebut. Dimulai pada 1970, terbit buku "Sedjarah Minangkabau" yang diusahakan oleh M.D. Mansoer (et al), dalam rangka menyongsong Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau yang diadakan di Batusangkar. Buku ini memuat tanggal-tanggal dan data-data referensi yang otentik, serta mitos dan sejarah politik Sumatera Barat. Uniknya, buku tersebut juga berisi ucapan selamat dari Parlindungan sendiri sebagai kata pengantarnya. Selanjutnya tahun 1974 HAMKA menantang langsung buku Parlindungan dengan menerbitkan buku berjudul "Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta".

Kembali ke pertanyaan awal: Siapa Rusli Amran?
Rusli Amran bukanlah seorang yang berlatar belakang pendidikan sejarah. Ia adalah seorang pensiunan diplomat dan wartawan. Lahir di Padang tahun 1922 dan sempat mengenyam
sistem pendidikan Belanda, Jepang dan Indonesia. Setamat AMS Sastra Barat di Jogjakarta sebelum Perang Dunia II, ia melanjutkan ke perguruan tinggi di Jakarta, Amsterdam dan terakhir di Praha. Selama masa revolusi pemuda Rusli
Amran bersama Sidi Muhammad Sjaaf dan Suraedi Tahsin menerbitkan surat kabar Berita Indonesia pada 6 September 1945 dan merupakan koran pertama setelah Indonesia merdeka. Pada awal tahun 1950
ia bergabung dalam birokrasi pemerintah, pertama pada Departemen Pertahanan dan
kemudian Departemen Keuangan hingga akhirnya pada Departemen Luar Negeri.
Selama puluhan tahun Rusli Amran mewakili Republik Indonesia di Moskow dan
Paris.
Ketika Rusli Amran pensiun ditahun 1972, ia mendedikasikan dirinya pada proyek
sejarah berskala besar yaitu menulis sejarah Sumatera Barat dalam bentuk yang
bisa dimengerti dan dijangkau oleh para pelajar Indonesia.
Rusli Amran menghasilkan lima buah buku. Dengan kehadiran buku-buku ini makin tersibaklah awan gelap yang
menyelubungi sejarah Sumatera Barat.
Dalam kaitan ini, makin terasa betapa upaya yang dilakukan Rusli selama
bertahun-tahun, dan dengan semangat akademis yang tinggi, menjalin kembali
untaian sejarah yang telah lepas-lepas itu, patut kita hargai. Terlebih lagi,
buku-bukunya tidaklah ditulis dengan bahasa yang kering dan membosankan, tapi
sebaliknya, bahkan kocak. Memang, sebagaimana dimaksudkan Rusli, seri buku ini
tidak dimaksudkan sebagai buku teks dalam artian yang konvensional, tapi sebuah
buku sejarah yang ditulis secara populer, dengan gaya bercerita, agar dapat
dibaca kalangan luas, terutama oleh generasi muda. Latar belakang Rusli sebagai
"orang lama", yang menguasai betul bahasa sumber (bahasa Belanda),
sangat membantu. Selain itu, ketajaman pena Rusli, pendiri dan
pemimpin harian Berita Indonesia, sebagai wartawan di awal Kemerdekaan,
ditambah lagi dengan kejelian matanya sebagai diplomat dalam melihat sesuatu di
balik yang tersirat, sehingga ia bukan saja berusaha membeberkan cerita sejarah
dengan cara yang hidup dan mengasyikkan, tapi sekaligus juga memberi arti
plot-plot sejarah itu secara berkesinambungan. Cara Rusli melihat
peristiwa-peristiwa sejarah itu adalah dengan kaca mata bangsa sendiri, walau
bahan yang dipakai hampir seluruhnya diramu dari sumber-sumber Belanda.


Buku ke empat "Padang Riwayatmu Dulu" didedikasikan pada kota kelahirannya Padang yang ditulis masih dengan gaya informal dan berisi campuran antara arsip-arsip dan kejadian-kejadian yang bersifat pribadi pada komunitas Eropa dan Jawa. Rusli Amran juga memasukan koleksi-koleksi foto reproduksi yang mengesankan .
Buku terakhir dari Rusli Amran diterbitkan setelah beliau wafat pada tahun 1996 dalam bentuk kumpulan esai yang berjudul "Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah". Kumpulan esai ini merupakan penemuan yang menakjubkan pada tokoh-tokoh dan momen yang tidak biasa di Sumatera Barat yang menyenangkan untuk dibaca santai.
Istri beliau selanjutnya mendirikan Yayasan Rusli Amran di Jakarta sebagai tempat belajar dan pusat dokumentasi koleksi dan arsip beliau.
Namun menurut Jeffrey Hadler, Profesor di Departmen of South and South East Asian Studies University of California Berkeley, yang lebih penting dari tulisan Rusli Amran adalah kebaikan hati beliau selama melakukan penelitian terhadap arsip-arsip tersebut dimana beliau menggandakan setiap artikel dan manuskrip yang ada mengenai Sumatera Barat yang sangat banyak jumlahnya. Rusli Amran menggandakan dokumen-dokumen tersebut dan menyimpannya dalam tiga lokasi yang berbeda di Sumatera Barat yaitu: Perpustakaan Bagian Literatur Universitas Andalas di Limau Manis, Ruang Baca Gedung Abdullah Kamil di Padang dan Pusat Dokumentasi dan Inventori Budaya Minangkabau di Padang Panjang. Melalui usaha Rusli Amran ini pelajar yang berminat pada sejarah Sumatera Barat dapat menjangkau buku yang menyediakan gambaran yang jelasi dan tanpa pretensi mengenai masa kolonial. Terlebih lagi mereka dapat menjangkau sumber yang asli tanpa harus pergi ke Belanda maupun Jakarta.
Untuk yang terakhir ini iyo ambo terperangah. Ternyata semua dokumen itu ada di Sumatera Barat dalam bentuk fotocopian! Tidak begitu jelas apakah dokumen-dokumen itu sudah dirubah ke format digital apa tidak pada saat ini. Karena secara lazimnya, dokumen fotocopian tidak akan bertahan lama. Kalau belum, sudah saatnya para sejarawan -terutama dari Unand karena punya akses langsung- mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan dokumen-dokumen berharga tersebut dengan cara mendigitalisasinya.
Selanjutnya kita berharap ada penerbit yang bersedia menerbitkan kembali buku-buku karya Rusli Amran ini. Membaca buku-buku Rusli Amran dapat menimbulkan kebanggaan tersendiri terhadap identitas ke-Minang-an kita. Anda penerbit, tidak usah takut bukunya ndak laku. Paling tidak para peminat sejarah yang menjadi pembaca blog ini akan antri membeli buku anda. Ambo langsung pre-order kelimanya...hehehe...