Kamis, 05 Juli 2012

Perjalanan Berliku Jalan Berkelok (1833)

Pengantar : Posting kali ini dikutip dari tulisan sejarawan Universitas Andalas, Prof. Gusti Asnan yang dimuat di jurnal KITLV. Selanjutnya saya lengkapi dengan foto-foto dari koleksi KITLV juga. Terimakasih buat pembaca setia blog ini, Bung Chan, yang telah memberikan link jurnal ini kepada saya. Bagi pembaca yang ingin membaca tulisannya secara lengkap, silakan meluncur ke
http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/1745/2506.


Johannes van den Bosch
Pernahkah terpikir oleh dunsanak, bahwa manusia yang (mungkin) paling menyengsarakan bangsa Indonesia adalah juga sekaligus orang yang berjasa memprakarsai pembangunan jalan di Ranah Minang? Namanya Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal yang berkuasa di Batavia tahun 1830-1834. Orang se-Hindia Belanda mengenalnya sebagai tokoh dibalik kebijakan Tanam Paksa. Ironis? Begini ceritanya.

***

Sampai pertengahan abad kesembilan belas, hubungan antara daerah pantai dengan pedalaman Minangkabau diadakan masih melalui jalan setapak. Setidaknya ada lima kelompok jalan setapak pada saat itu.


Kelompok pertama ada dua jalur di Pasaman  yaitu menghubungkan antara Air Bangis- Rao  serta menghubungkan Sasak-Lundar-Bonjol. Kelompok kedua ada di Agam yaitu dari Tiku, menyusur sepanjang tepi kanan Sungai Antokan dan sisi utara Danau Maninjau, ke Bukittinggi. Kelompok ketiga menghubungkan kota-kota pesisir Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, dan Padang melalui Kayu Tanam, terus ke Lembah Anai dan Padang Panjang. Dari Padang Panjang jalan bercabang lagi ke arah Bukittinggi dan Tanah Datar. Kelompok keempat adalah kelompok Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pesisir seperti Koto Tangah dan Padang ke Tanah Datar, melalui kota-kota sekitar Danau Singkarak. Kelompok kelima adalah kelompok Solok, terdiri dari dua jalan setapak. Yang pertama menghubungkan Padang dan wilayah XIII Koto Solok. Yang kedua menghubungkan Bandar X dan Solok Selatan.

Jalan-jalan setapak ini tercipta umumnya karena kebutuhan masyarakat pedalaman Minangkabau akan garam. 

Selanjutnya jalan setapak ini berkembang menjadi jalan dagang sekitar abad ke-15. Berbagai barang dibawa turun melalui jalan perdagangan. Emas adalah salah satu produk pertama dan paling penting dibawa di hampir semua jalan setapak.  Juga beberapa komoditas lainnya seperti kayu obat, kapur barus, resin, lilin, madu, dan produk non-kayu hutan lainnya. Dari pantai dibawa kain, katun, sutra, kering, ikan asin, dan tentu saja, garam.

Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilintasi orang dan kuda beban. Perjalanan biasanya hanya dilakukan pada siang hari secara berkelompok dengan didampingi oleh seorang atau lebih ahli bela diri, untuk menghindari perampokan. (Jadi ingat cerita Giring-giring Perak-nya Makmur Hendrik...). Mereka bisa berjalan sekitar tiga puluh kilometer sehari, dengan waktu tempuh rata-rata untuk perjalanan dari pedalaman ke pantai pulang pergi selama enam sampai sepuluh hari.

Jalan Air Bangis (1890)
Di nagari-nagari sepanjang jalan biasanya dikenakan uang jalan oleh penghulu setempat  yang jumlah dan bentuknya bervariasi. Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles, misalnya, mencatat harus membayar “tol” 26 kali dalam perjalanan ke pedalaman Minangkabau pada 1818. Dalam kesempatan lain seorang wakil dari Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Padang dalam perjalanan dari Air Bangis ke pedalaman diminta untuk membayar dalam bentuk kain. Penghulu nagari menjelaskan bahwa  kain itu dibutuhkan untuk sekelompok penduduk yang telah kehilangan semua harta mereka dalam kebakaran.

Jalan dekat Pangkalan Koto Baru (1903)
Selain dari jalan setapak antara daerah pegunungan dan pantai barat, ada juga beberapa jalan setapak diantara pedalaman dan bagian timur Sumatera. Tapi, berbeda dengan ke arah barat, jalan setapak yang pergi ke timur tidak mencapai pantai. Hanya sampai ke tempat-tempat yang dikenal sebagai pangkalan, panambatan, dan pamuatan. Artinya tempat-tempat ini adalah hulu sungai tempat perahu  berhenti dan diikat, barang dagangan dimuat dan diturunkan.

Pangkalan, panambatan, dan pamuatan semuanya terletak di tepi sungai dari ujung hulu sungai yang bermuara di pantai timur Sumatra. Beberapa jalan setapak yang terkenal adalah jalan dari Rao ke Pamuatan Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di Sungai Kampar Kanan), dan jalan dari Tanah Datar dan Sijunjung ke Pangkalan Kureh (di Sungai Kuantan).

Pada saat Perang Padri, jalan setapak dianggap tidak memadai oleh kolonial Belanda untuk mobilitas tentara. Peningkatan jalan setapak menjadi jalan terjadi setelah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch berkunjung ke Sumatra’s Westkust pada 1833.

Jalan di Lembah Anai (1880)
Sebagai salah satu sarana penting dalam mewujudkan keinginannya, ia memerintahkan pemerintah kolonial setempat untuk membangun jalan yang menghubungkan pelabuhan utama, Padang, dengan daerah pedalaman. Dengan demikian, jalan pertama dibangun di Sumatera Barat adalah jalan yang menghubungkan Padang dengan Padang Panjang, melalui Lembah Anai. Jalan ini dibangun di atas Jalan Dagang yang telah ada. Konstruksi dimulai pada 1833 dan selesai pada 1841.

Jalan Lubuk Sikaping - Bonjol (1890)
Pada periode yang sama, pemerintah kolonial juga membangun sebuah jalan antara Padang Panjang dan Bonjol, pusat perlawanan Padri, melalui Padang Luar dan Matua. Di Padang Luar jalan itu bercabang ke Bukittinggi dan Payakumbuh,  dua kota yang memainkan peran penting dalam tahun-tahun terakhir Perang Padri. Bukittinggi (Belanda menyebutnya Fort de Kock) adalah pusat  militer Belanda di pedalaman, sementara Payakumbuh adalah pusat aktivitas ekonomi Belanda. Belanda membuka sebuah cabang maskapai dagang di Payakumbuh serta membangun jaringan benteng untuk membatasi perdagangan dari pantai timur yang dianggap mengganggu perdagangan Belanda di pantai barat.

Jalan di Maninjau (1867)
Pada pertengahan tahun 1830-an, dibangun jalan dari bagian utara kota Padang sepanjang pantai ke Pariaman, Tiku, dan kemudian Maninjau dan Matua. Di Matua, jalan pesisir bergabung dengan jalan dari Padang Panjang ke Bonjol. Semua jalan ini dapat digunakan oleh pedati (kerbau yang ditarik gerobak). Tujuan utama dari jaringan jalan ini sendiri adalah untuk memfasilitasi logistik dari Belanda dalam pengepungan Bonjol, pusat dari perlawanan Padri.

Pada akhir 1840-an, pemerintah kolonial memberikan perhatian serius terhadap perbaikan jalan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Yang paling mendapat perhatian adalah jalan dari Padang ke Padang Panjang melalui Lembah Anai. Pemerintah kolonial menyiapkan beberapa fasilitas untuk memudahkan pengguna jalan, yaitu rumah istirahat, tempat di mana orang bisa beristirahat dan mendapatkan kuda segar.  Pos penjagaan militer juga dibangun untuk keamanan pengguna jalan.

Jalan Pariaman - Padang Panjang (1880)
Sepuluh tahun setelah proyek untuk memperbaiki jalan diluncurkan, ada  4 rumah dan pos penjagaan militer antara Padang dan Padang Panjang. Peningkatan yang sama jalan dilakukan di jalan-jalan dari Padang Panjang ke Bukittinggi dan Payakumbuh, dan dari Padang Panjang ke Batu Sangkar. Pada pertengahan 1860-an, jumlah rumah istirahat dan pos-pos penjagaan militer di Sumatera Barat meningkat menjadi 12.

Peningkatan fasilitas di sepanjang jalan itu terkait erat dengan status jalan utama yang Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh dan Padang Panjang-Batu Sangkar untuk membawa kopi dari pedalaman ke Pariaman dan Padang, pelabuhan di barat.

Jalan di Singkarak (1880)
Setelah 1848, pemerintah melanjutkan untuk membangun beberapa jalan sekunder. Jenis jalan ini terutama digunakan untuk menghubungkan beberapa kota untuk memudahkan proses pengangkutan kopi dari beberapa desa ke gudang kopi pemerintah. Contohnya adalah rute Solok-Alahan Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batu Sangkar dan Buo, dan Air Bangis-Lundar. Semua jalan ini diselesaikan pada 1860-an awal. Para pekerja yang terlibat untuk membangun jalan ini terdiri dari kuli bebas dan penduduk lokal yang melakukan kerja paksa.

Konstruksi jalan mencapai puncaknya pada akhir abad kesembilan belas. Pembukaan perkebunan besar beberapa dari pada 1870-an mendukung perluasan pembangunan jalan. Cabang jalan dari jalan sekunder di Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, dan Pasaman dibangun ketika perkebunan besar dibuka di daerah-daerah.
Jalan Batusangka - Ombilin (1915)

Sebagai hasil dari semua kegiatan pembangunan jalan itu, pada tahun 1900 Gouvernement van Sumatera's Westkust merupakan provinsi dengan jarak jalan terpanjang dan jumlah jembatan terbesar  di luar Jawa.

Jalan kelas I (standar tertinggi) membentang sekitar 153 km, sementara ada sekitar 651 km Jalan kelas II, dan sekitar 2,525 km jalan  kelas III.  Ada 6 jembatan lengkung (Boogbruggen) dengan panjang lebih dari sepuluh meter, dan 115 jembatan lengkung dengan panjang kurang dari sepuluh meter. Disamping itu terdapat  1.783 jembatan dengan kompleksitas teknis menengah {liggers dan vakbruggen), dengan panjang rata-rata 8 meter. Untuk tingkat teknik sederhana, ada 729 jembatan sementara (Noodbruggen) dan 2.092 gorong-gorong (kleine doorlaten).

Jalan Tapan - Sungai Penuh (1918)
Sejak 1900 jalan dari Bukittinggi telah terkoneksi dengan jalan dari Tapanuli dan Medan. Bukittinggi-Pekanbaru dihubungkan oleh jalan pada 1916.  Dan pada 1921, jalan antara Sumatra’s Westkust ke Jambi dan Kerinci dibuka. 

2 komentar:

  1. asalamualaikum uda ntonk, rancak bana postingan2 uda ko eh..
    ado info mengenai jalan nan lah ilang, antaro kayu tanam jo tambangan, tu dari kayu tamam kalua di kandang guguak, jo dari limau manih kalua di saniangbaka. kami ado rencana manuruik jalan2 nantun.. tarimokasi da..

    BalasHapus
  2. Lebih jauh tentang Intepretasi tentang gerakan kaum paderi ini akan di bahas selama 2 hari penuh bersama Prof. Gusti Asnan dalam jalan-jalan Sejarah & budaya Minang, 21-22 Feb 2015. Lihat di FB Rumah Gadang Nantigo atau kontak email. pemilik.rumahgadang@gmail.com

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...