Minggu, 09 Juni 2013

Peta Padangsche Bovenlanden (1880)

(klik untuk memperbesar)

Kali ini kita lihat sebuah peta koleksi KITLV hasil karya  J.H. de Bussy dari Amsterdam yang bertahun 1880. Peta ini mengambil fokus pada Padangsche Bovenlanden atau Padang Dataran Tinggi alias daerah Darek. Meskipun demikian ada 2 daerah pesisir yang ikut terpotret yaitu Padang dan Pariaman.

Salah satu hal yang menarik bagi ambo mengenai peta-peta lama adalah kerapihan pengerjaannya. Tulisannya begitu spesifik. Tinggi rendah dan kemiringan tulisannya begitu khas. Begitupun tarikan serta tebal tipisnya garis. Belum lagi komposisi dan pemilihan warna yang lembut. Bagi ambo kesimpulannya hanya satu: peta-peta lama yang dikerjakan dengan tangan dibuat dengan sepenuh hati oleh si juru gambar. Ia tidak hanya menjadi sebuah referensi, tapi juga sebuah karya seni.

Kembali ke peta diatas. Banyak informasi menarik yang dapat digali dari peta tersebut. Pertama soal jalur kereta api. Pada saat peta ini dibuat, jalur kereta api hanyalah dari Teluk Bayur - Padang - Padang Panjang - Bukittinggi serta Padang Panjang -Solok - Sawahlunto saja. Sedangkan jalur Lubuk Alung - Pariaman serta Bukittinggi - Payakumbuh belum dibangun.

Selain itu kita bisa melihat bahwa rel bergigi yang dalam legenda peta disebut tandradbaan berada di jalur Kayutanam - Padang Panjang - Padang Luar serta dari Puding (persimpangan jalan ke Batusangkar) sampai sebelum Ombilin di tepi danau Singkarak. Selebihnya adalah rel biasa.

Tempat perhentian kereta api juga dibedakan antara stasiun dan halte. Stasiun ada Teluk Bayur, Padang, Kayutanam, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok dan Sawahlunto. Sedangkan perhentian lain disebut halte. Jadi tidak semua disebut stasiun sebagaimana yang biasa kita dengar.

Kedua soal jalan raya. Secara umum jalan raya yang kita kenal sekarang sudah ada dalam peta ini. Hal ini sejalan dengan yang pernah diposting sebelumnya (lihat disini). Namun demikian tetap ada hal-hal menarik yang dapat kita lihat. Salah satunya adalah kalau kita mau ke Lubuk Sikaping dari Bukittinggi, kita tidak bisa melewati Palupuh, karena jalannya belum ada. Kita harus memutar ke Matur dan Palembayan baru kembali bertemu dengan jalan yang kita kenal sekarang ketika mendekati Bonjol. Untuk ke Matur pun kita tidak bisa lewat Padang Luar, karena jalannya tidak ke arah sana. Tetapi melewati ngarai Sianok, yaitu Panta. Selain itu jalan selingkar danau Maninjau dan danau Singkarak juga belum ada. Demikian juga dari Batusangkar kita tidak bisa keluar di Baso. Tidak ada jalan. Keluarnya di dekat Payakumbuh saja (Piladang).

Didalam peta ini sudah tergambar kelok 44 dengan lika-likunya yang banyak. Artinya kelok 44 dibangun sebelum tahun 1880. Selain itu ada satu ruas jalan yang saat ini jarang terdengar, yaitu Suliki - Bonjol. Mungkin jalan ini dibangun hanya untuk kepentingan militer pada saat perang Padri saja?

Satu hal lagi, di dalam peta ini juga tercantum lokasi kedudukan gubernur, residen, asisten residen dan kontrolir. Sayangnya untuk residen, asisten residen dan kontrolir simbolnya sama: bulat. Yang membedakan hanyalah ukurannya. Di dalam legenda kelihatan jelas beda ukuran bulatan itu. Terbesar adalah residen, terkecil kontrolir. Namun di dalam petanya, beda ukuran itu tidak terlalu jelas, apalagi antara asisten residen dan kontrolir. Mungkin pada saat itu tidak masalah karena semua orang yang membaca peta ini mengerti tentang struktur pemerintahan di Sumatra Westkust. Namun untuk kondisi sekarang bisa membuat kita bingung. Ambo, contohnya.

(Sumber: KITLV)


2 komentar:

  1. gambarnyo ketek bana da, ndak jaleh detilnyo. Ado gambar yang agak gadang da ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uda Edi,

      Memang ternyata ndak tajam kalau di klik ya? Kalau begitu silakan meluncur ke tekape di

      http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/30?q_searchfield=padangsche+bovenlanden

      Disitu nampak sadonyo mah...:)

      Hapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...