Jumat, 22 Maret 2013

Sekolah Pastor di Taluak? (1910)


Beberapa hari setelah ambo memosting tentang sebuah surau yang berbentuk agak "ganjia" di nagari Taluak -pinggiran kota Bukittinggi- (lihat disini), salah seorang kakak laki-laki ambo menginformasikan bahwa dirinya juga menemukan bangunan yang juga "ganjia" saat browsing-browsing. Lokasinya? Masih di Taluak.

Bangunan di atas jika dilihat dengan perspektif sekarang tidaklah aneh. Semenjak pak Harun Zain jadi gubernur dengan slogan mengembalikan harga diri urang awak setelah peristiwa PRRI saisuak, atap berbentuk gonjong wajib menjadi penutup bagian atas bagi semua bangunan pemerintah di Ranah Minang. Menurut beliau untuk menunjukkan identitas ke-Minang-an. Jadi apapun mode bangunannya, atapnya harus bagonjong.

Tapi lain halnya dengan perspektif masa itu. Rumah bagonjong adalah rumah tradisional. Dindingnya kalau tidak terbuat dari tadia (anyaman bambu) ya dari papan berukir. Tidaklah lazim bangunan "modern" beratapkan gonjong. Modern disini maksudnya adalah rumah batu atau berbahan baku adukan semen.

Tapi lihatlah foto diatas. Sebuah rumah batu berwarna putih beratap gonjong berdiri kokoh tinggi menjulang diantara jejeran rumah berbahan "tradisional". Arsitekturnya juga ke-belanda-belandaan. Terlihat juga bahwa rumah ini berada di tengah kampung, tidak terpencil. Banyak tetangganya. Apalagi di sebelahnya ada kolam yang cukup luas. Bisa jadi berisi ikan gurami, mujair atau paweh.

Arsitektur yang cukup berani pada masanya. Akan lebih berani lagi jika kita baca caption foto yang dipajang oleh Tropen Museum: Priesterschool Taloeg bij Fort de Kock. Sekolah pastor Taluak dekat Fort de Kock. Tahunnya antara 1910-1930,  tanpa tambahan keterangan lain.

Pertanyaan langsung mengawang dalam pikiran. Benarkah di Taluak pernah ada sekolah pastor? Kalau benar ada, kok bisa? Karena takut dengan Belanda atau karena ada alasan lain? Atau ada Taluak lain di dekat kota Bukittinggi? Atau....

Sekelebat imajinasi liar mengisi kepala kakak laki-laki ambo tadi. Jangan-jangan bangunan Surau Ngarai yang unik itu dihadiahkan oleh Belanda sebagai imbalan kepada penduduk nagari Taluak karena telah bersedia "menerima" pendirian lokasi sekolah pastor ini di nagari mereka........

Jika ditelisik lebih dalam bisa saja hal itu terjadi. Pertama, kedua bangunan itu -baik surau maupun sekolah pastor- bercorak arsitektur yang tidak umum terdapat di dalam sebuah kampung di Ranah Minang pada masanya. Kedua, masa foto ini diambil hampir bersamaan. Seolah ada hubungan antara mereka. Foto Surau Ngarai bertahun 1900-1925 sedangkan foto Sekolah Pastor bertahun 1910-1930.

Mungkinkah? Entahlah. Tapi yang jelas sebenarnya masih ada satu bangunan "ganjia" lagi di dalam foto ini. Lihatlah kesebelah kanan foto. Ada bangunan bulat berwarna putih, beratap gelap meruncing keatas dengan jendela atau motif lengkung-lengkung. Apa itu? Sekali lagi, entahlah. Mudah-mudahan saja masih ada foto berikutnya dari Taluak.....

(Sumber : Tropen Museum)

Senin, 18 Maret 2013

"Bintang-bintang" Greveplein (1931)


Foto di atas berasal dari koleksi Tropen Museum bertahun 1931. Dalam foto terlihat 2 buah bangunan yang merupakan icon dari suatu kawasan yang bernama Greveplein di kota Padang. Namun perjalanan waktu yang membuat nasib kedua "bintang" itu menjadi berbeda.

Begini ceritanya.

Greveplein. Artinya Lapangan Greve. Lokasinya ada di daerah Muaro - Padang sekarang. Di pinggiran Batang Arau.

Di kawasan Greveplein terdapat sebuah monumen berwarna putih yang berbentuk lengkung diatasnya, sepintas seperti jam antik. Adapun tulisan yang tertera di atasnya serta ukurannya belum dapat ambo peroleh sampai saat ini. Namun jika dibandingkan dengan postur orang yang berjalan di dalam foto, monumen ini kelihatan besar. Tetapi itu bisa juga disebabkan oleh efek sudut pengambilan foto dan jarak antara Mat Kodak dengan objek. Namun demikian dengan mengamati foto diatas ambo meyakini bahwa monumen ini cukup besar. 

Monumen ini bernama Monumen De Greve. Didirikan untuk mengenang Ir. W. H. De Greve, seorang insinyur tambang yang hasil penelitiannya pada 1867-1868 meyakinkan pemerintah kolonial bahwa tambang batubara di Ombilin sangat-sangat-sangat feasible untuk dieksploitasi. Dan hal itu memang terbukti sampai sekarang. Sayang, sang insinyur muda meninggal karena kecelakaan terseret arus Batang Kuantan pada saat ia melakukan penelitian lanjutan. Untuk mengenang jasa-jasanya, monumen dan taman atau lapangan ini didedikasikan seturut namanya. Monumen De Greve dan Greveplein.

Sekarang bangunan di depannya. Itu adalah kantor De Javasche Bank. Kantor ini dibangun sejak 31 Maret 1921 dan ditempati pada tahun 1925. Meskipun sebenarnya diskusi tentang pembangunan kantor ini sudah berlangsung sejak tahun 1912, sebagai rencana pengganti kantor lama di kawasan Nipaaland (Jalan Nipah sekarang) yang sudah ditempati sejak tahun 1864. Konon, berlarut-larutnya rencana pembangunan ini karena pemerintah kota enggan untuk menngeluarkan izin karena kawasan Greveplein sejatinya ditujukan untuk kawasan pelabuhan sungai dan laut, bukan perkantoran. Wah, jaman itu Masterplan kota dijaga begitu ketat rupanya.

Apapun itu, bangunan yang dirancang oleh Biro Arsitek  Hulswitt - Fermont - Cuypers Architechten & Engineeren akhirnya terwujud juga. Berkantorlah De Javasche Bank Padang di sana sejak itu. Pada 1 Juli 1953, De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia, sehingga gedung ini menjadi kantor Bank Indonesia Padang sampai tahun 1977. Setelah Bank Indonesia Padang menempati kantor barunya di Jalan Sudirman, gedung ini sempat dimanfaatkan oleh Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat atau yang dikenal sekarang sebagai Bank Nagari selama beberapa tahun.  Sempat tak berpenghuni selama beberapa lama, pada saat ini gedung ini dijadikan museum oleh Bank Indonesia dan terawat dengan baik.

Akhirul kalam, itulah kisah 2 bintang Greveplein dengan nasib yang bertolak belakang. Monumen De Greve dan Greveplein hilang dalam gelora revolusi. Bahkan Greveplein sekarang sebagiannya terletak di tapak sebuah jembatan yang melintas Batang Arau, yaitu jembatan Siti Nurbaya. Sebagian lain berada di kolong jembatan itu.  Sementara di sisi lain, Gedung De Javasche Bank tetap terjaga karena kepedulian sekelompok anak bangsa, dalam hal ini adalah Bank Indonesia.

Sumber : Tropen Museum; redseahawk.blogspot.com; wikipedia


Sabtu, 16 Maret 2013

Mesjid Kontemporer - Surau Ngarai (1925)


Ada di antara pembaca yang bisa memberi informasi tentang  mesjid ini?

Ambo menemukannya secara tak sengaja dalam sebuah situs forum arsitektur yang membahas tentang bangunan kolonial Belanda di seluruh dunia. Namun tak ada informasi di situ karena yang dipentingkan forum itu hanyalah penampakan gedung. Yang ada hanya foto. Maklumlah, forum itu adalah forumnya peminat arsitektur.

Untunglah forum itu juga memberikan link-back ke sumber aslinya. Ternyata foto itu adalah koleksi Tropen Museum. Museum langganan kita :). Tapi setelah ambo telusuri ke sana, informasi yang tersedia hanyalah Moskee in Taloek bij Fort de Kock yang artinya Mesjid di Taluak dekat Fort de Kock. Tahun yang tertulis juga hanya 1900 - 1925. Pemotretnya juga tidak diketahui. That's all.

Hmmm. Taluak, ya? Sepengetahuan ambo Mesjid Taluak yang paling nge-top sejauh ini adalah mesjid nagari yang sudah pernah kita bahas sebelumnya.(Lihat disini). Tapi yang ini memang benar-benar baru bagi ambo.

Dari arsitekturnya, terlihat dominasi arsitektur kolonial dengan pola lengkung dan langit-langit tinggi. Terasnya juga senada. Pemilihan warna juga khas kolonial. Sampai disini bangunan ini bisa merupakan bangunan apa saja. Rumah pejabat Belanda, kantor gubernemen, bahkan sebuah gereja (!). Tapi lihatlah dibelakang bangunan itu. Mencogok 3 buah kubah. 1 besar dan 2 kecil mengapitnya. Menandakan bangunan ini berfungsi sebagai sebuah mesjid. Sepintas kubahnya mirip dengan kubah Mesjid Kutaraja di Banda Aceh sana. Sebuah kombinasi yang unik untuk sebuah bangunan mesjid.

Yang jelas adalah bahwa mesjid ini terletak di dalam kampuang. Lihatlah di sekelilingnya. Rimbunan bambu dan pohon-pohon besar yang menaungi jalan tanah persis di sebelah mesjid. Ada juga orang yang lagi duduk menjuntai kaki di teras mesjid. Tandanya mesjid ini memang benar-benar dipakai dan tidak hanya sekedar simbol atau monumen.

Entah mengapa, hati ambo berbisik bahwa bangunan ini adalah hasil karya seorang arsitek Belanda atau paling tidak anak nagari Taluak yang pernah mengenyam pendidikan Belanda. Ambo membayangkan perdebatan dan pergumulan pemikiran yang terjadi untuk membuat mesjid dengan bentuk seperti ini terwujud .

Perlu keberanian besar bagi si arsitek untuk mendesain sebuah mesjid dengan model Belanda yang notabene dicap sebagai urang kapia pada saat itu. Perlu keberanian besar juga bagi anak nagari untuk menerima mesjid dengan model demikian berada di nagarinya. Mengingat disain umum untuk mesjid di Ranah Minang pada waktu itu adalah limas bersusun tiga.

Bagaimana, pembaca?

Catatan : Kata-kata "Surau Ngarai" pada judul ambo tambahkan setelah membaca komen dari uda Sazli dan uni Murni di bawah. Hal ini dimaksudkan agar nama tersebut dapat ter-indeks oleh Google.

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...