Jumat, 28 Maret 2025

Kronik PRRI (Bagian 8: Perselisihan Internal dan Kontak Eksternal)

Sebelumnya di Bagian 7: Perang Saudara


Januari 1959: Pertemuan para pemimpin sipil

Pagadis adalah sebuah desa terpencil perbatasan Kabupaten Agam dan Kabupaten 50 Kota. Disanalah para pemimpin sipil PRRI mengadakan pertemuan untuk membahas perkembangan kondisi terakhir. Kekuatan Jakarta yang dibantu OPR sebagai warga lokal membuat pertempuran di pedalaman menjadi semakin brutal.

Karena itu para tokoh sipil yang hadir antara lain Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohammad Natsir, Mr. Burhanuddin Harahap dan Mr. Asaat berupaya kembali merumuskan garis perjuangan PRRI. Sepertinya senjata lawan senjata harus dilengkapi dengan siasat politik. Bahkan dalam pandangan Natsir dan Sjafruddin, tuntutan PRRI kembali ke UUD 1945 justru akan memperlemah perjuangan otonomi yang disuarakan PRRI. Karena itu sekaligus berarti akan memperkuat legitimasi Soekarno selaku presiden. Karenanya mereka mendorong didirikannya pemerintah federasi yang menggabungkan semua daerah yang berontak di Sumatera dan Sulawesi dalam suatu sistem federal yang otonom.

10 Februari 1959: HUT pertama PRRI

Setelah setahun perang saudara, praktis APRI hanya menguasai daerah perkotaan dan sekitarnya. Namun hampir seluruh wilayah pedesaan di Sumatera Tengah masih berada di bawah kontrol PRRI. Para pemimpin PRRI pun berusaha membuat suasana di wilayahnya berlangsung seperti biasa, untuk menunjukkan bahwa semua baik-baik saja.

Seperti pada hari itu, tanggal 10 Februari 1959, seluruh tokoh sipil dan militer PRRI berkumpul di Bonjol, Pasaman untuk memperingati Hari Ulang Tahun pertama PRRI dengan sebuah upacara resmi. Dalam upacara tersebut dilakukan pengibaran sang merah putih dengan diiringi nyanyian lagu Indonesia Raya. Pidato disampaikan oleh Ahmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara yang intinya mengajak agar tetap konsisten dengan tujuan perjuangan semula.

5 Juli 1959: Dekrit Presiden

Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengumumkan dekrit yang berisi pembubaran konstituante, pembatalan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD 1945. Tokoh-tokoh politik PRRI menentangnya karena dalam UUD 1945 Presiden menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Itu artinya Soekarno yang selama ini mereka lawan semakin kokoh kedudukannya. Sementara bagi tokoh-tokoh militer, kembali ke UUD 1945 berarti secara tidak langsung akan menguatkan peran militer. Mereka merasa akan terbuka peluang untuk berkompromi. Dari sini terjadi semacam peselisihan paham di antara pemimpin sipil dan militer PRRI.

8 Februari 1960: Proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI)

Sejak pertemuan di Pagadis setahun sebelumnya, para pemimpin PRRI telah membangun kontak dengan daerah-daerah bergolak lainnya. Dan diantara mereka bersepakat untuk mengubah struktur negara Republik Indonesia menjadi sistem federasi dengan nama Republik Persatuan Indonesia (RPI)

RPI diproklamasikan di Bonjol dua tahun setelah PRRI diproklamasikan dan terdiri dari 10 (sepuluh) negara bagian yang otonom yaitu Negara Islam Aceh, Tapanuli/Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Negara Islam Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Maluku Selatan. Pemerintah pusatnya dirancang tidak bersifat sentralistik dan hanya mengurusi urusan tertentu saja seperti luar negeri, pertahanan dan perhubungan.

Yang menarik adalah RPI dianggap sebagai kelanjutan dari negara RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan lambang negara, lagu kebangsaan, dasar negara dan bahasa adalah tetap seperti yang ada di negara RI. Bedanya adalah RPI memiliki konstitusi sendiri sebagai pengganti UUD 1945. Konsitusi ini cakupannya lebih luas, mengubah bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi, memberi otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah serta mencantumkan pasal-pasal yang rinci tentang Hak Azazi Manusia (HAM).

Pada titik ini, sebagian pimpinan militer dan sipil tidak sepenuhnya menerima konsep RPI. Bagi kalangan militer, yang mereka perjuangkan adalah penggantian rezim Jakarta yang semakin condong ke komunis, dan bukan UUD 1945, apalagi negara RI. Bagi sebagian pemimpin sipil, terutama yang berasal dari luar partai Masyumi,  memasukkan Aceh dan Sulawesi Selatan yang berjuang menentang pemerintahan Soekarno atas dasar ideologi Islam, sangatlah berbeda dengan tujuan perjuangan PRRI. Apalagi di dalam PRRI/Permesta sendiri ada daerah yang mayoritas bukan Islam seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Mereka khawatir ini akan menjerumuskan PRRI seperti gerakan Darul Islam.

Apalagi jika selama ini PRRI tidak mengangkat kepala negara, namun RPI mengangkat Mr. Sjafruddin sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri. Semakin nyata perbedaannya dengan PRRI.

Juni 1960: Pembentukan Komando Tunggal

Meskipun Ahmad Husein sendiri selaku pimpinan militer PRRI sepertinya tidak keberatan dengan adanya RPI, namun ia menyadari bahwa ada pertentangan di kalangan anak buahnya. Termasuk dengan wakilnya, Mayor Djohan yang kukuh dengan pendapatnya bahwa PRRI tidak bermaksud untuk membubarkan negara RI, melainkan hanya untuk membentuk pemerintahan alternatif sementara.

Agar perbedaan pandangan itu tidak menjadi perpecahan, Husein memutuskan untuk membentuk Komando Tunggal dengan ia sebagai pimpinannya dan Mayor Djohan sebagai wakilnya. Namun para pimpinan sipil, khususnya Natsir, menilai hal itu sebagai upaya militer menjauhkan diri dari RPI. Anggapan itu setidaknya membuat ketegangan di kalangan para pemimpin PRRI bertambah-tambah.

Juli 1960: Koto Tinggi jatuh

Pasukan APRI yang saat ini mayoritas berasal dari divisi Diponegoro yang bernuansa kiri bergerak lebih ofensif daripada divisi Brawijaya yang sebagian besarnya telah ditarik. Pada akhirnya mereka menduduki Koto Tinggi, dimana para pemimpin sipil PRRI bermarkas. Sjafruddin, Natsir, Burhanuddin dan Asaat terpaksa mengungsi jauh ke dalam jantung rimba Bukit Barisan.

Akhir 1960: Kembalinya enam pemuda 

Sjofjan Kahar, adik Ahmad Husein yang berangkat ke Okinawa bersama enam temannya dengan pesawat Catalina dari danau Singkarak sehari sebelum Padang diserang APRI, kembali pulang. Mereka mendarat di Aceh lalu berjalan kaki melewati hutan-hutan pegunungan Bukit Barisan selama berbulan-bulan agar dapat bergabung dengan pasukan Ahmad Husein di Solok Selatan.

Selain ilmu militer dan komunikasi radio, mereka sekaligus juga membawa sebuah peralatan komunikasi canggih yang bisa menjangkau Permesta di Sulawesi bahkan ke luar negeri. Alat itu juga bisa mengirim dan menerima pesan morse dan radiogram dari peralatan milik pemerintah maupun tentara. Ini tentu berguna untuk penyadapan.

3 Maret 1961: Operasi Pemanggilan Kembali

Setelah 3 tahun berperang, tidak satupun pentolan PRRI dapat ditangkap. Ditambah dengan adanya informasi tentang perselisihan antara sipil dan militer di tubuh PRRI, KSAD Jenderal Nasution melancarkan operasi Pemanggilan Kembali yang ditujukan agar para perwira pemberontak "kembali ke pangkuan ibu pertiwi". Ia pun mengirim kontak-kontak untuk berunding dengan para perwira tersebut ke Sumatera, Sulawesi dan Singapura. Nasution pun menjanjikan bahwa mereka "akan diberi kedudukan yang sesuai". Bahkan Presiden Soekarno sendiri menjanjikan amnesti dan abolisi bagi para prajurit PRRI/Permesta yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum Oktober 1961.

Menanggapi hal ini, Simbolon berkata kepada Husein bahwa "inilah satu-satunya jalan terbaik bagi kita saat ini, " mengingat posisi mereka yang "sudah tidak memiliki harapan lagi". Menurut Simbolon, Husein setuju dengannya.

Pertengahan 1961: Kontak pertama

Radio yang dioperasikan Sjofjan Kahar berhasil kontak dengan radio Kodam III/!7 Agustus di Padang. Selanjutnya dilakukan komunikasi untuk menjajaki kemungkinan dan persyaratan perundingan damai. Akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan kurir sebagai kontak lanjutan.

Husein pun mengutus Kapten Djamhur Djamin untuk bertemu dengan Komandan Kodam 17 Agustus Kolonel Soerjosoempeno di Padang. Namun sesampainya di Padang ia tidak diperlakukan sebagai utusan namun malah dianggap menyerahkan diri. Hal ini tentu membuat kecewa Husein dan pasukannya sehingga mereka menyatakan akan terus berjuang.

Namun beberapa pekan kemudian, Kodam III/17 Agustus mengirim radiogram yang berisi bahwa mereka siap menerima utusan Husein berikutnya. Bahkan setelah urusan mereka selesai, Husein dan pasukannya dijanjikan akan bertemu Deputi KSAD Wilayah Sumatera Mayjen Soeprapto.

Husein mulai menimbang-nimbang tawaran itu bersama para pembantunya. Salah satunya adalah menganggap bahwa persoalan PRRI tidak ada kalah menangnya, sehingga "tidak ada soal tuntut menuntut". Selain itu mereka juga mempertimbangkan masa depan para pelajar dan mahasiswa yang sampai saat itu sebenarnya masih mendukung PRRI. Karena bagi Husein "generasi muda harus diselamatkan, karena merekalah penerus perjuangan kita di masa depan."


Selanjutnya: Bagian 9: Menyerah dan Kalah

Selasa, 25 Maret 2025

Kronik PRRI (Bagian 7: Perang Saudara)

 

9 April 1958: Operasi 17 Agustus
Ahmad Yani
Setelah Riau jatuh, maka sasaran selanjutnya tentulah pusat perlawanan PRRI, Sumatera Barat. Operasinya diberi nama 17 Agustus. Saking rahasianya operasi ini, maka perencanaannya pun bukan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), melainkan di rumah Kolonel Roekminto Hendraningrat, tetangga Kolonel Ahmad Yani. Yani sendiri ditunjuk menjadi komandan operasi 17 Agustus. Inilah operasi terbesar APRI pasca kemerdekaan dengan melibatkan 6.500 personil dari divisi Brawijaya (Jawa Timur) dan Diponegoro (Jawa Tengah), 20 kapal perang, 19 kapal angkut, 25 pesawat angkut C-47 Dakota, 6 pesawat pemburu P-51, 1 bomber B-25 Mitchell dan 6 pesawat serang darat AT-16 Harvard.

12 April 1958: Pasukan APRI menuju Padang
John Lie
Karena jumlahnya yang besar, maka keberangkatan pasukan dari pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta terpaksa dibagi dalam 3 gelombang, dengan selisih keberangkatan satu hari. Armada laut ini dipimpin oleh Letnan Kolonel John Lie dengan KRI Gajah Mada-nya. Sebagai titik kumpul ditentukan Pulau Pandan, 5,5 mil dari pantai Padang.

16 April 1958: Pendaratan rahasia di Danau Singkarak.
Armada ALRI mulai unjuk kekuatan dengan melakukan manuver-manuver di lepas pantai Padang sambil sesekali melepaskan tembakan ke arah kota. Gerakan ini ditujukan untuk menarik perhatian pasukan PRRI ke arah pantai.
Sementara itu nun di balik Bukit Barisan, kira-kira 50 km arah barat laut Padang, sebuah pesawat amfibi Catalina mendarat dengan diam-diam di Danau Singkarak. Setelah menaikkan 6 orang penumpangnya, pesawat tanpa identitas itu segera membumbung ke langit. Para penumpang yang naik adalah pasukan PRRI yang akan dilatih tentang persenjataan dan perhubungan di fasilitas-fasilitas militer Amerika yang ada di Filipina dan Okinawa. Satu diantara enam orang yang berangkat hari itu adalah adik Ahmad Husein sendiri yang bernama Sjofjan Kahar. Sebelumnya juga sudah berangkat sejumlah pasukan PRRI untuk tujuan yang sama, namun dengan menumpang kapal selam yang mengantar senjata ke lepas pantai Padang dan Painan.

17 April 1958: Padang jatuh
Jam 04.00  armada kapal perang ALRI mulai membuka rentetan tembakan ke arah kota Padang. Pukul 05.30 KRI Gajah Mada mulai menurunkan ponton-ponton dari drum bekas beralaskan bambu untuk pendaratan pasukan. Dibawah perlindungan tembakan meriam kapal dan riung pesawat pengebom, pasukan APRI yang dimotori KKO (Marinir) berhasil merapat ke beach-head pantai Parupuk dan pantai Ulak Karang sekitar pukul 06.00. Pemilihan lokasi ini membuat skenario pertempuran yang dirancang PRRI berantakan. Pihak PRRI memperkirakan pendaratan akan dilakukan  di Teluk Bayur atau di pantai Purus, sehingga menyiapkan pasukan penghadang di sana. Namun yang terjadi berbeda.
Benny Moerdani
Di saat yang sama, pasukan RPKAD dibawah komando Letnan Dua Benny Moerdani (terakhir menjabat Panglima ABRI) diterjunkan di sisi timur lapangan udara Tabing. Penerjunan diselesaikan pukul 06.40. Pendaratan selanjutnya dilakukan pukul 08.15 dan berlangsung hingga tengah hari.
Diluar dugaan, ternyata pasukan PRRI di Padang tidak memberikan perlawanan yang berarti. Memang ada tembakan-tembakan sporadis tapi tidak terlalu menghambat gerak maju pasukan APRI. Belakangan diketahui bahwa beberapa hari sebelumnya Ahmad Husein telah memerintahkan pejabat pemerintah dan guru-guru meninggalkan kota. 
Skenario yang dirancang adalah melakukan perlawanan dengan 2 buah pesawat pengebom B-26 yang dikirim dari Manado dan meledakkan ranjau-ranjau di pelabuhan Teluk Bayur. Namun ternyata skenario itu tidak berjalan. Kedua pesawat pengebom tidak pernah sampai ke Padang dan pasukan APRI tidak memilih Teluk Bayur sebagai tempat mendaratkan pasukan. 
Teluk Bayur sendiri baru bisa dikuasai oleh APRI pada lewat tengah malamnya, lewat jalur darat dari pusat kota Padang yang telah dikuasai. Baru 2 hari kemudian kapal-kapal ALRI bisa bersandar di Teluk Bayur setelah berjibaku membersihkan ranjau dan rongsokan kapal yang ditenggelamkan PRRI.
PRRI sendiri sebenarnya kekurangan tentara. Dari 4 batalyon yang berada di bawah Ahmad Husein selaku Komandan Resimen 4, 2 batalyon berada dalam operasi di luar Sumatera yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan. Sedangkan batalyon-nya Mayor Nurmatias juga sudah terpecah karena komandannya mundur dari PRRI. Sehingga praktis yang  lebih banyak bergerak adalah pemuda dan mahasiswa yang diberi latihan militer oleh PRRI. Mereka dijuluki oleh Ahmad Husein sebagai The Second Army. Memang sejak Januari 1958 tercatat sekitar 400-an mahasiswa pulang kampung dari kuliahnya di Pulau Jawa untuk bergabung dengan PRRI. Namun tak bisa dipungkiri bahwa dengan latihan yang terbatas, kemampuan mereka tentang persenjataan juga terbatas. Jadi bisunya meriam-meriam canggih PRRI kiriman Amerika itu dapat dipahami dari sisi ini. 
Namun juga ada informasi lain yang mengatakan bahwa pada saat itu ada perintah dari beberapa perwira PRRI untuk tidak menembak pasukan payung yang sedang terjun. Hal ini membuat The Second Army kebingungan. Belakangan tersebar rumor bahwa para perwira itu sebenarnya telah menyeberang ke pihak APRI.
Yani menyaksikan pendaratan pasukannya di Padang
Namun Kolonel Ahmad Yani punya versi sendiri. Kepada wartawan asing James Mosman yang saat itu sedang berada di Sumatera Tengah untuk penulisan bukunya Rebels in Paradise (Indonesia's Civil War) dan mewawancarainya sesaat setelah Padang jatuh,  Yani berkata bahwa ia tidak kaget dengan tidak adanya perlawanan PRRI karena "mereka pada dasarnya adalah pedagang dan lebih pandai bicara ketimbang jadi prajurit."
Pukul 17.00 seluruh kota Padang jatuh ke tangan APRI. Selanjutnya Ahmad Yani menjadikan rumah dinas Ahmad Husein selaku Danrem sebagai markas operasinya. Ia pun mengirim utusan kepada para perwira PRRI yang menyingkir ke Padang Sago untuk bergabung ke Padang. Tawaran itu diterima, namun Mayor Nurmatias menolak untuk memerangi rekan-rekannya dan meminta untuk dipindahkan ke Jakarta.
Pada hari yang sama ibukota PRRI dipindahkan ke Bukittinggi.

21 April 1958: Solok dikuasai APRI
Mengetahui bahwa Ahmad Husein mundur ke arah Solok, Ahmad Yani memutuskan Solok menjadi pilihan pertama untuk gerakan pasukan. Pilihan Ahmad Husein atas Kabupaten Solok bukan tanpa alasan. Beberapa tahun sebelumnya, saat agresi militer Belanda kedua, ia pernah bermarkas dan bergerilya di Solok bersama batalyonnya Harimau Kuranji yang mundur dari Padang. Karena itu medannya sangat ia kuasai.
Pada hari kedua, APRI sudah tiba di daerah Ladang Padi dan bergerak maju ke arah Lubuk Selasih, perbatasan antara kota Padang dan Kabupaten Solok. Gerakan cepat APRI ke Solok hampir membuat PM PRRI Sjafruddin tertangkap. Sjafruddin yang saat itu mencoba bergeser dari Bukittinggi ke Muara Labuh tidak menyadari bahwa pasukan APRI sudah berada di Lubuk Selasih. Akibatnya kendaraan yang ia tumpangi ditembaki sehingga ia terpaksa kembali ke Bukittinggi.
Ketika pasukan APRI memasuki kota Solok, terjadi kontak senjata dengan pasukan PRRI selama lebih kurang satu jam. Namun karena Solok tampaknya tidak disiapkan untuk bertahan, kota itu pun jatuh ke tangan APRI.

27 April 1958: APRI menguasai Muara Labuh
Setelah mengamati situasi, Ahmad Yani memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan operasi ke Muara Labuh yang pada saat itu sebagai jaringan utama ke Sumatera Selatan.  Meskipun di bawah hujan mortir dari pihak PRRI, Muara Labuh berhasil dikuasai. Benny Moerdani mencatat pasukannya yang berjumlah 70-an orang hanya tersisa 37 orang lagi. Sisanya terluka atau gugur.
Dengan dikuasainya Muara Labuh maka APRI berhasil memutus hubungan antara pasukan pemberontak di kedua daerah serta menjepit posisi Ahmad Husein yang diyakini berada di Solok Selatan.

1 Mei 1958: APRI memasuki Padang Panjang
Setelah kota Padang dikuasai sepenuhnya, Yani menargetkan Bukittinggi harus diduduki pada 2 Mei. Namun rencananya tertahan di Kayu Tanam karena pertempuran sengit menghadapi pasukan PRRI dibawah komando Mayor Djohan di Lembah Anai selama 2 hari. Mayor Djohan memang dikenal sebagai komandan yangb tangguh sejak perang kemerdekaan, dengan wilayah operasi sekitar kabupaten Tanah Datar dan Padang Panjang. Pasukan APRI akhirnya berhasil maju setelah mendapat dukungan pesawat Angkatan Udara. Tanggal 1 Mei mereka berhasil mencapai Padang Panjang.

4 Mei 1958: Bukittinggi menyerah
Inspeksi Yani di Bukittinggi
Pasukan APRI baru berhasil memasuki Bukittinggi tanggal 4 Mei. Disana mereka bergabung dengan pasukan yang maju dari Medan dan Tapanuli. Sementara pasukan PRRI sudah menyingkir keluar kota. Kolonel Dahlan Djambek sendiri membuat pertahanannya di Kamang, pinggiran kota Bukittinggi ke arah Bukit Barisan.
Kepada Mossman, Dahlan Djambek berkata Kami belum kalah. Kami akan terus berjuang. Kami akan berperang di hutan. Menyerang dan mundur. Seperti yang dulu kami lakukan terhadap Belanda”. Djambek melanjutkan, "Kami akan meledakkan jalur pipa minyak mereka dan mengadakan perang ekonomi untuk melawan mereka. Mereka tidak akan mampu menangkap kami, pada akhirnya mereka akan terpaksa untuk bersepakat dengan kami”.

17 Mei 1958: Berakhirnya Provinsi Sumatera Tengah
Kaharoeddin Dt. Rky Basa
Jakarta bergerak cepat. Mereka mengirimkan misi yang dipimpin oleh Wakil PM Mr. Hardi ke Sumatera Barat. Misi ini terdiri dari 5 orang menteri, 70 pegawai tinggi dan 5 wartawan. Tugasnya adalah menyusun pemerintahan sipil di Sumatera Barat atas wewenang penuh dari PM Djuanda. Hal ini sekaligus menindaklanjuti isi UU Darurat No 19 tanggal 9 Agustus 1957 yang membagi provinsi Sumatera Tengah menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi yang selama ini tidak dapat direalisasikan akibat pergolakan daerah.
Tokoh daerah yang dipandang cakap untuk memimpin provinsi pecahan itu adalah Komisaris Besar Polisi Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, salah satu tokoh Dewan Banteng yang menolak bergabung dengan PRRI.
Pada tanggal 17 Mei 1958, Kaharoeddin dilantik sebagai Pejabat Gubernur/Koordinator Pemerintahan Sipil Daerah Swatantra Tk. I Sumatera Barat melalui sebuah Keputusan Presiden. Dengan demikian tamatlah secara resmi riwayat provinsi Sumatera Tengah, termasuk jabatan Ahmad Husein sebagai Ketua Daerah Sumatera Tengah.

20 Mei 1958: Payakumbuh dikuasai APRI
Kota terakhir yang dikuasai PRRI, Payakumbuh, jatuh ke tangan APRI pada tanggal 20 Mei. Sejak itu PRRI terpaksa menarik pasukannya mundur jauh ke dalam pegunungan Bukit Barisan. Komando tentara PRRI yang dipimpin Ahmad Husein berpindah-pindah di seputar Solok Selatan. Sementara para pemimpin sipil PRRI berpusat di Koto Tinggi, sebuah nagari terpencil di utara Kabupaten Lima Puluh Kota, tempat dimana Sjafruddin memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia 10 tahun sebelumnya.
Sementara di front utara, Dahlan Djambek membangun markasnya secara berpindah-pindah di daerah Kamang Agam. Demikan juga Zulkifli Lubis dan Simbolon yang tampak sering berkeliaran ke berbagai front PRRI. Semuanya ditempuh dengan berjalan kaki.

Juli 1958: Ahmad Yani ditarik pulang
Pranoto Reksosamudro
Setelah menyelesaikan tugasnya menguasai kota-kota di Sumatera Barat, Kolonel Ahmad Yani ditarik ke Jakarta dan digantikan oleh Kolonel Pranoto Reksosamudro (belakangan menjabat KSAD pasca peristiwa G30S/PKI). Berbeda dengan Yani yang cenderung anti komunis, Pranoto sepertinya lebih pragmatis dengan prinsip "enemy of my enemy is my friend" (lawan dari lawan adalah kawan).
Menyadari bahwa PRRI didukung oleh Masyumi dan sangat anti komunis, maka Pranoto justru menggunakan tangan kaum komunis untuk memperlancar tugasnya dalam menghadapi perlawanan PRRI. Ia merekrut 6.341 anggota OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) yang hampir seluruhnya berasal dari anggota Pemuda Rakyat, organisasi di bawah PKI. Tugasnya adalah "membantu memelihara keamanan." 
OKR inilah yang belakangan menjelma menjadi OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) yang selama masa pergolakan sangat berwarna komunis. Mereka melakukan teror dan intimidasi serta perbuatan brutal lainnya kepada rakyat, khususnya kepada orang-orang bekas PRRI dan keluarganya.
Bukan itu saja, para perwira militer yang berhasil dibina oleh PKI memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan pengaruh komunis sampai ke desa-desa di Sumatera Barat. Mereka mengganti para wali nagari yang pro PRRI dengan orang-orang atau simpatisan mereka.
Ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1960 karena dinilai berkaitan langsung dengan PRRI, maka PKI dengan cepat menggantikan posisi mereka di lembaga legislatif DPRD Gotong Royong pada tahun 1961 sebagai kekuatan politik terbesar kedua di Sumatera Barat setelah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).


Selanjutnya: Perselisihan Internal

Kronik PRRI (Bagian 8: Perselisihan Internal dan Kontak Eksternal)

Sebelumnya di Bagian 7: Perang Saudara Januari 1959: Pertemuan para pemimpin sipil Pagadis adalah sebuah desa terpencil perbatasan Kabupaten...