Senin, 30 Mei 2011

Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III

(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Ketiga dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.

Bagi yang belum membaca Bagian Kedua silakan
klik disini)


(Gambar : Buah melimpah di pasar)


Lalu muncullah kaum wanita. Mereka mengenakan sarung dan baju panjang dengan peniti emas. Mereka menggunakan penutup kepala, yang kelihatan melebar ke samping seperti memunculkan dua sayap, sementara kedua ujung belakangnya menggantung ke bawah, dengan membawa beban di kepala mereka. Mereka berjalan dengan cepat di sepanjang jalan, dengan perhiasan di tangan dan dada. Cincin emas, hiasan rambut, anting-anting, kalung manik-manik berwarna, ikat pinggang dan perhiasan emas lainnya.


(Gambar : Penduduk pergi ke pasar)

Sumatera adalah daerah pengrajin emas. Di Fort de Kock, lereng gunung Singgalang, penduduk desa Kota Gedang mengolah semua jenis perhiasan, mereka juga membuat kain yang indah, membuat sulaman terawang, dan seni halus lainnya untuk mempercantik gadis manis di daerah indah ini.
Fort de Kock mempunyai ketinggian 930 M. Tinggi dan memiliki suhu yang sangat nyaman. Namun situasi kesehatan masih jauh dari sempurna, demam adalah biasa disini. Dokter Belanda banyak memberikan resep untuk nyamuk yang melayang di atas genangan sawah di sekitar kota yang membentuk rawa buatan yang besar. Dari perspektif ini, Padang Pandjang, meskipun jauh lebih rendah, jauh lebih disukai. Kecuraman dari lereng sana menghilangkan genangan air, dan berkat curah hujan yang melimpah dan teratur tidak ada variasi yang besar pada suhu. Selain nyamuk, bagaimanapun, kondisi orang Eropa di Fort de Kock dan koridor kecokelatan yang teduh menunjukkan tingkat kesehatan yang baik di sini.
Orang Eropa sebagian besar pergi berlibur kesini, dan banyak perwira datang dan pergi dari Aceh. Ada banyak garnisun, dan mereka hidup nyaman dan sederhana, dengan kenyamanan dan gaya hidup yang efektif, seperti yang saya lihat di Jawa. Barak kecil, bangunan rendah, yang tidak memiliki kesamaan dengan reuzentabernakels kami yang menghabiskan biaya besar di Saigon, Hanoi, Dakar dan Saint Louis.
Di sini semua orang tidak merasa tercela tinggal di rumah kecil. Sebuah rumah dengan taman di mana orang dapat berjalan ke rumah tetangga dalam tiga puluh langkah.

(Gambar : Rumah perwira di Fort de Kock)

Di luar hampir tidak ada apa-apa, dan tidak ada alasan untuk membangun sesuatu disana. Di Hindia Belanda barak menempati wilayah besar, mereka tidak di dalam kota, seperti di Saigon atau Hanoi, tetapi di luar. Bangunan biasanya dibuat di lereng landai, yang berdrainase baik dan dibedah oleh parit-parit yang dalam dari semen, yang masih banyak mengalir air. Ada taman bunga besar, banyak pohon dan udara segar, paviliun dan di belakang masing-masing rumah memiliki kamar mandi kecil dalam jumlah yang cukup. Kotak-kotak ini begitu kecil. Tidak ada rumah yang memiliki ruang dengan dinding bercat putih, , betapapun kecilnya, di mana terdapat sebuah bak mandi dengan air jernih, untuk mandi berendam.
Di luar barak ada klub para bintara dan prajurit. Para perwira juga pergi ke Club, Harmony, dimana pegawai negeri juga menjadi anggota, tetapi para prajurit memiliki lingkungan mereka sendiri. Mereka memiliki ruangan membaca dan permainan, lapangan untuk permainan bola dan tennis, dan yang mungkin dapat menjelaskan bahwa situasi kesehatan di Hindia Belanda lebih baik daripada di Indo-China.
Pada malam hari, para tentara kelihatan tampan berseragam coklat, dengan menggandeng atau memeluk pinggang seorang gadis. Di barak, para wanita bebas menemui pasangannya, dan ada dapur terpisahnya, dimana masing-masing menyiapkan hidangan untuk pasangannya tersebut. Area tidur dipisahkan menjadi dua, untuk bujangan dan keluarga. Para perwira yang membawa saya berkeliling, memuji kebebasan yang mereka dapatkan, yang mereka anggap sangat diperlukan untuk menghapus kerinduan pada rumah dan semua hal-hal sedih lain, dan saya pikir mereka benar.

(Gambar : Kamar di dalam barak tentara di Fort de Kock)

Bukan berarti sistem seperti itu dapat diterapkan pada seluruh koloni. Harus juga memperhitungkan karakter dan temperamen. Orang Belanda di sini senang dengan kehidupan yang tenang dan monoton. Di Fort de Kock, di Batavia dan di tempat lain ada sedikit perbedaan. Namun lingkungan disini indah. Kami suka itu. Kami akan mengunjungi danau Manindjoe dan kawah gunung Merapi.
Kami pergi dengan mengendarai kuda, pagi pada tanggal 22 April. Ketika pertama kali meninggalkan kota kami turun ke jurang yang dalam, yang mengalir anak sungai dari Masang, Si Anoq. Sungai berliku dengan kedalaman antara 2 M-300 M. Lembah yang luas, dikelilingi oleh dinding putih, yang curam dengan kedalaman 100 M. Lembah ini disebut Karbouwengat. Kami mengarungi sungai ke hulu dan mengikuti tepi sampai bertemu dengan sungai lain. Kabut pagi membuat batu berwarna terang dengan pegunungan yang tajam dan bentuk terpahat memberi kesan yang mendalam. Setiap jejak air ke dalam batu pasir yang lembut memiliki alur dalam, di mana banyak tanaman tumbuh. Di sana-sini blok terpisah, dimahkotai dengan pohon-pohon.
Di atas dataran tinggi kami melihat ke arah ngarai, sempit berkelok-kelok, karena ada begitu banyak di sini. Mereka membentuk tanjung dan pulau-pulau, dataran hijau tempat kerbau digembalakan. Kami segera turun ke dalam lembah Masang. Bambu dan semak yang menunjukkan tempat dimana sering dilewati, sekarang rata dengan tanah karena banyak hujan.
Di desa pasangrahan Matoea kami meninggalkan barang-barang kami. Pengawas laki-laki pribumi telah menunggu kami, dia telah menyewa kuda segar dan setelah istirahat beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan. Daerah ini menawan. Kanan dan kiri jalan tanah naik secara bertahap, dan ada gundukan bulat di atas dengan kanopi hutan. Kampung terdiri dari deretan rumah sepanjang sawah, dan di mana-mana kita melihat atap dengan ujung runcing, sehingga tampak akan terbang segera. Belakang punggung bukit nampak tidak teratur, mendekati cakrawala, kabut naik dan menyebar ke semua sisi. Kami masih berada di ketinggian, saat tampak seolah-olah tujuan menghilang di depan kami, dan tiba-tiba tenggelam dan kemudian tanah di bawah kaki juga menghilang, kami melihatnya. Danau Manindjoe.
Lingkaran danau yang tenang, adalah sebuah kawah kuno berdimensi raksasa. Danau itu sendiri memiliki panjang 16 KM dan lebar 8 mil. Sekitar pantai, air mengikis tebing, dengan ketinggian antara 11 M-1200 M. Tinggi di atas tepi danau. Jalan di mana kami lewat dan seolah-olah akan jatuh tadi berada 700 M di atas danau. Lereng ke sisi danau sangat terjal dengan jurang dan jalan yang berkelok-kelok mengitari pegunungan, di mana sawah bertingkat-tingkat, dengan taman di sekitarnya.


(Gambar : Danau Manindjoe)
Yang tidak menggembirakan adalah langit gelap dan mengancam. Di sekitar danau berkabut tebal. Ketika melihat ke selatan hanya terlihat dinding hitam, naik di atas air, di mana kabut putih pucat merayap. Sesekali petir menerangi dinding ngarai, dan terbayang adegan mengerikan saat aliran lava pijar datang bergelombang dulunya. Sinar itu menerangi sawah yang berwarna emas pucat, kebun kelapa, atap besi dan kayu, dan kami terus berlanjut mendekati permukiman. Kami dengan cepat menurun ke bawah, memotong jalan tanah licin, kuda kami gesit dan cepat seperti kambing. Tidak ada angin, kami hanya melihat sedikit riak di permukaan air, di atas kabut menggantung, lalu tiba-tiba beberapa tetes air mulai jatuh. Kami berada di hutan di ngarai yang sempit,tiba-tiba hujan lebat, membuat kami basah kuyup sampai di Manindjoe.
Auditor Manindjoe telah diberitahu sebelum kedatangan kami. Kebaikan luar biasa dari penerimaan nya membuat kami segera melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan tadi, dan saat kami menyesal bahwa kami hanya sedikit menyaksikan pemandangan yang indah karena kabut, dia mengajak kami untuk melanjutkan pada sisa hari. Saat matahari muncul lagi, langit cerah, dan kami jadi lebih dapat melihat dengan cara yang berbeda. Kami menerima tawaran agar seorang pelayan dikirim ke Matoea untuk mengambil barang-barang. Kami menghabiskan sore yang menyenangkan. Hujan telah berhenti. Kami berdayung di danau. Air, bergerak dalam membuat jurang di antara perahu.
Malam jatuh, malam yang indah dan hening, garis-garis warna merah dalam kabut abu-abu membuat suasana seperti di surga. Tidur nyenyak tanpa terganggu oleh apa-apa, tidak ada angin, tidak ada tangisan, dan hanya beberapa lampu malu-malu bersinar sepanjang tepian, di bawah pohon palem tinggi.
Keesokan paginya saat fajar kami meninggalkan Manindjoe dengan rasa sedih. Inilah surga tempat dimana orang-orang bisa hidup dengan tenang , dengan udara yang lembut dan indah! Tidak ada tempat di dunia ini yang pernah saya rasakan begitu memberi kedamaian dan kebahagiaan.
(Fakta menarik :
1. Memang sudah kodratnya bahwa kaum ibu itu kalau ke pasar selalu full asesoris. Sejak jaman dulu ternyata....:)
2. Koto Gadang sudah terkenal sebagai daerah produsen perhiasan dan sulaman.
3. Meskipun banyak nyamuk, tapi orang-orang Belanda di Bukittinggi sehat-sehat.
4. Bukittinggi sudah jadi lokasi berlibur bagi orang-orang Belanda, terutama dari Aceh. Ini tentu karena di Aceh waktu itu masih perang basosoh. Jadi refreshing itu perlu untuk yang baru pulang dari front pertempuran.
5. Lokasi garnisun di Bukittinggi (lapangan kantin sekarang) berada di luar kota.
6. Rumah perwira dianggap terlalu kecil di mata orang Belanda. Juga kamar mandinya, yang tidak pakai bath-tub. Meski demikian, toh mereka enjoy-enjoy saja....
7. Para prajurit dan para perwira memiliki club atau tempat ngumpul yang berbeda. Disana mereka membaca dan main bola atau tenis.
8. Para tentara bebas membawa wanita ke dalam barak. Katanya obat kangen kampung halaman....
9. Perjalanan ke danau Maninjau dilakukan lewat bawah ngarai Sianok dan naik lagi menjelang Matur. Jadi bukan lewat jalan umum. Ini yang menyebabkan pemandangannya menjadi menakjubkan.
10. Deskripsi tentang danau Maninjau, kabutnya, awan mendung dan hujannya serta suasananya sungguh detail dan luar biasa. Sampai sekarang Maninjau masih seperti itu.....)
(Sumber : www.gutenberg.org)
---Untuk melanjutkan ke bagian keempat klik disini

Selasa, 24 Mei 2011

Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian II

(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Kedua dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.

Bagi yang belum membaca Bagian Pertama silakan klik disini)


Gambar : Mesjid dan desa di kaki Gunung Singgalang
Kami menginap di Solok dan pergi lagi pagi-pagi. Beberapa kilometer selanjutnya kami menurun sepanjang Lassi, tapi kemudian sebuah ngarai sempit membuka, dan kami melalui terowongan sepanjang 800 sd 900 M. Kami memasuki lembah Sawah Loento.
Lapisan batu bara di Sawah Loento tersebar di area permukaan yang sangat luas sepanjang lembah sungai Ombilien. Hanya bagian selatan dioperasikan. Terbagi dalam tiga lapisan paralel, yang terendah dengan ketebalan 6 sampai 8 M. Batubara diambil dari tambang, lalu ditempatkan dalam gerobak yang ditarik oleh kerbau, untuk jarak sekitar 1500 m. Kemudian dipindahkan ke gerbong, untuk dikirim ke Emmahaven.
Kami berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan sempit dalam tambang. Di atas genangan lumpur hitam yang meliputi tanah, kerbau menarik kereta di atas genangan air. Mereka terlihat ketakutan dan bodoh. Dengan kepala menunduk, mereka segera kembali bergerak lambat, melangkah lebar-lebar, menumpukan berat di tanah, di atas air berlumpur.
Kami mengakhiri wisata tambang antara dua dinding hitam besar. Tentu saja meskipun panas gerah, kami senang ketika melihat matahari lagi. Para penambang, kebanyakan laki-laki Cina dan Melayu, masih terus melanjutkan pekerjaannya. Kebanyakan narapidana Melayu. Mereka rindu dengan matahari dan daerah dengan pemandangan yang luas. Sementara orang Cina menerima upah. Para buruh bekerja di bawah pengawasan pengawas, yang juga narapidana, tetapi kekuasaannya diakui oleh semua. Tidak sulit untuk memimpin para buruh miskin ini. Keterasingan, hukuman, dan demam telah menghancurkan kekuatan mereka, juga ketidakpedulian terhadap kebersihan. Dan hanya sesekali terjadi perkelahian, yang biasanya berakhir dengan pengadilan.
Penduduk disana semakin padat. Meskipun batubaranya berkualitas rendah, produksi dan penjualan meningkat setiap hari. Sekarang mencapai 18 000 ton per bulan dan hampir 3000 penambang bekerja di sana. Yang terakhir ini adalah pegawai negeri, dan juga mengoperasikan kereta api, sedangkan seorang insinyur bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh pekerjaan dan kegiatan di Emmahaven. Meski Sawah Loento berjarak 156 mil dari pelabuhan, dengan tanjakan lebih dari 58 mil langsung melalui Soebangpas, tetapi dipilih rute melalui Padang Padjang sehingga nantinya dapat dibantu dengan kereta dari wilayah Fort de Kock dan Pajacombo. Setelah kunjungan kami ke tambang tersebut, kami kembali ke Solok, untuk bermalam di situ.

Solok bukanlah sebuah kota melainkan sebuah desa besar. Tanah di sekitar itu baru sedikit yang digarap, dan peradaban belum seperti di Jawa. Hewan-hewan liar masih banyak. Kami melihat harimau muda yang tertangkap dua hari sebelumnya. Dia berada di belakang di taman dalam kandang berat, dan begitu ia melihat kami, dia melompat ke arah kerangkeng dan menyambut kami dengan “ramah”nya. Rasa lapar dan obat bius tidak merubahnya menjadi tenang. Dia gugup dan ia meregangkan ototnya, matanya berapi-api dan bibir terangkat, sementara gemuruh auman membosankan dari mulut yang terbuka, dan lubang hidung bergetar dengan keinginan pada bau daging manusia hidup.
***

Gambar : Desa antara Fort van der Cappelen (Batusangkar) dan Pajacombo
Kami menghabiskan delapan hari di Padang Bovenlanden dan sekarang siap untuk pergi lagi. Setelah perjalanan pertama kami ke Padang, kami akan tinggal disana hanya satu hari.
Kami menginap di Hotel Aceh. Sebuah bangunan persegi besar di panggung berdiri tegak di tengah alun-alun yang ditanami pohon. Sebuah beranda raksasa, dengan meja dan kursi goyang. Ruang makan ada di sisi lain dan koridor mengarah ke sana, menghadap ke kamar. Di kedua sisi dari gedung persegi terdapat kamar sempit panjang, di mana kita menginap. Dinding dan langit-langit terbuat dari kayu dan begitu panas, sedangkan suara-suara bisa terdengar dari satu ujung ke ujung lainnya. Tikus-tikus berjalan-jalan dan tampak tertarik pada kulit sepatu saya dan pakaian kanvas kami. Sepanjang hari itu hotel seperti mati. Jam lima baru ada gerakan. Semua orang berpakaian santai melewati tangga curam lambat-lambat dan pergi ke kamar mandi. Orang-orang mengenakan jaket putih pendek dan celana lebar kain Jawa dengan gambar hitam besar berwarna coklat atau biru. Para wanita yang terbungkus dalam sarung berwarna-warni, dalam berbagai tampilan bentuk, menuju kamar mandi.
Tapi tontonan tersebut tidak cukup untuk membuat kami bertahan di Padang, dan kami menyelesaikan persiapan untuk berangkat lagi dengan tergesa-gesa.
Kami tiba siang hari di Fort de Kock. Ia adalah ibu kota daerah atas, dan merupakan lokasi penempatan terbesar pasukan garnisun. Kota ini dibangun di tengah cekungan, dikelilingi oleh pegunungan tinggi di sebelah Barat, Selatan dan Utara. Ke arah Timur menurun ke daerah lembah Masang Sinamar dan dataran Pajacombo.
Tanahnya subur terdiri dari batu pasir yang relatif muda, lembut, dimana alur sungai mengikis mendalam, dan terutama di sebelah utara anda dapat melihat lembah besar dengan dinding curam di mana-mana. Pada awal abad ini daerah ini tertutup hutan lebatdi sisi lembah dan pegunungan, dan daerah ini lebih dari nyaman untuk perang gerilya dengan penyergapan dan pengkhianatan, yang begitu lama telah mengamuk.
Perang akhirnya selesai. Belanda telah menaklukkan. Kelompok-kelompok bangsa Minang telah mempertahankan tanah dan kepala mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah orang bebas. Mereka berbahasa Melayu, tetapi dengan nada keras. Dalam perjanjian perdamaian tidak ada kewajiban bagi mereka selain pemeliharaan jalan dan penanaman kopi. Mereka benar-benar tahu bahwa kemenangan sebenarnya ada di pihak mereka.
Mereka adalah petani terampil dan pedagang yang cerdas. Meskipun demikian, tidak terlihat kereta orang Cina untuk masuk ke dalam persaingan dengan mereka. Pada hari pasar terlihat garis panjang pribumi di sepanjang jalan yang sibuk.

Para pria memiliki kebanggaan diri, berdiri tegak dan mereka tidak menunduk ke bawah untuk merendahkan diri ketika bertemu dengan orang Eropa. Beberapa orang memegang sangkar burung di tangan dengan handuk di atasnya, . Mereka membawa burung katitiran, burung seukuran merpati, sebagai penjaga di hampir setiap rumah. Ia dipercaya membuat bisnis berhasil, melindungi keluarga dari penyakit tanaman dan kekeringan. Namun itu tidak berlangsung selamanya. Setelah empat tahun ia kehilangan semua kekuatannya, dan sampai batas waktunya tuannya akan berduka atas kematiannya. Tubuhnya diawetkan dan disimpan di atap rumah , dan sang tuan bergegas pergi ke pasar untuk membeli burung yang baru.
Hari pasar selalu menjadi hari yang sibuk. Ada kerumunan, bergerak bersama-sama. Kereta, kerbau atau sapi dimanfaatkan untuk berjalan. Di antara payung cantik besar warna-warni terlihat buah, gerabah, kain kapas, perhiasan dan kue. Ada buah raksasa, yang jelek baunya tergantung di pohon-pohon, yaitu durian, dengan duri tajam sepenuhnya dengan daging buah berwarna putih krem dan memerlukan keberanianuntuk mencicipinya. Ini tampaknya merupakan kehendak alam, yang menghasilkan , buah juicy dengan daging yang lezat namun memiliki bau yang mengerikan.
Selain itu ada mangga. Ia adalah sesuatu yang sehalus salju dan meleleh di mulut dan dingin, dengan rasa aneh yang harum . Dan kemudian ada adalah bertandan-tandang pisang, jeruk dengan ukuran besar, kelapa dan lain-lain.

Para pria berjongkok di bawah pohon melihat burung Katitiran, yang dipuji-puji oleh pedagang. Perempuan menjual minuman dan potongan aneh produk yang lengket, berwarna hitam atau merah, dan mereka membuat kopi dari daun kopi, yang digantung pada potongan bambu dan yang tersebar di tanah. Paket kecil tembakau coklat dibungkus daun enau juga dijual dan dipotong kecil-kecil, tipis, yang digulung oleh perokok sebagai rokok mereka. Di jalan terlihat laki-laki berjalan dengan kera besar di belakangnya, yang patuh mendaki pohon kelapa tinggi, untuk mengambil kelapa yang sudah matang.
.....................................
(Fakta menarik:
1. Batubara dikeluarkan dari dalam tambang dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh kerbau. Tambang yang beroperasi juga baru tambang dangkal dengan kedalam 6-8 meter.
2. Ternyata selain narapidana (orang rantai istilah di Minang umumnya), di tambang batubara juga banyak bekerja orang Cina, meskipun mereka menerima upah.
3. Kembali istilah Soebangpas muncul. Dimana ya?
4. Solok masih merupakan desa besar dengan binatang buas yang berkeliaran.
5. Fort de Kock atau Bukittinggi merupakan tempat konsentrasi pasukan garnisun Belanda terbanyak. Pasti hal ini berkaitan dengan Perang Padri.
6. Di Padang ada hotel yang bernama Hotel Aceh. Agak unik juga. Yang punya orang Aceh atau bagaimana? Soalnya rasa ke-Indonesia-an kan belum tumbuh waktu itu, sehingga agak kurang lazim menggunakan atribut daerah lain di suatu daerah. Biasanya malah nama Belanda, seperti Hotel Oranje.
7. Perang Padri selesai. Namun orang Minang hanya diminta memelihara jalan dan menanam kopi sebagai pihak yang "kalah". Meskipun akhirnya ada juga belasting atau pajak, bahkan sampai terjadi pemberontakan di beberapa daerah.
8. Meskipun ditaklukkan Belanda, orang Minang tidak kehilangan ke-PeDe-annya. Mereka tetap egaliter. Terbukti bahwa mereka tidak menunduk atau merendahkan diri ketika berpapasan dengan orang Eropa. Nada bicaranya juga keras. Maklum, orang Sumatera, bung!
9. Orang Minang diakui sebagai petani yang terampil dan pedagang yang cerdas. Bahkan orang Cina tidak berani bersaing di pasar (tradisional).
10. Orang Minang suka memelihara burung Katitiran sebagai penjaga rumah. Agak diragukan juga pendapat penulis bahwa burung Katitiran bagi orang Minang dianggap sebagai "juru selamat". Karena, agak berbeda dengan orang Jawa (tradisional), memelihara burung bukan sesuatu yang wajib bagi orang Minang.
11. Penulis sangat takjub dengan buah-buahan lokal seperti durian yang disebut "buah lezat berbau mengerikan" atau mangga yang disebut "selembut salju, lumer di mulut dengan bau wangi yang aneh." Alamak!
12. Orang Minang minum kopi yang dibuat dari daun kopi (kawa) dan merokok daun enau. Ini tentu karena biji kopi sudah habis dikirim ke Eropa semuanya oleh Belanda...)
--- Untuk melanjutkan ke bagian III silakan klik disini
(Sumber : www.gutenberg.org)

Sabtu, 21 Mei 2011

Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian I


(Pengantar : Tulisan berikut adalah sebuah terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.
Buku ini menjadi menarik karena gaya bahasanya cukup detail dan dilengkapi dengan foto-foto.
Terjemahan ini hanya mengambil bagian yang meliput Ranah Minang.
Tips membaca : resapi kata demi kata dan bayangkan.... Masa lalu memang selalu terlihat lebih romantis! :) )


..............
Mendekati Padang, kapal cukup dekat sepanjang pantai. Pegunungan indah muncul dan semakin dekat kami ke Padang, semakin sempit pantai, di mana desa-desa dihiasi dengan kebun hijau. Bukit Barisan muncul seperti dinding tinggi yang naik dari laut. Ia berubah dari curam, batu merah, tertutup dengan warna hijau dan tiba-tiba turun ke dalam gelombang. Di sela-sela pegunungan muncul sebuah teluk melengkung biru dengan semenanjung berpasir dan laguna yang tenang, pohon-pohon palem bergoyang di tiup angin, dan daun halus berkilau dibawah Matahari mengubah nada dalam lanskap dari biru laut ke biru langit.
Pertama-tama terlihat bambu dan pohon kelapa, pohon-pohon besar dengan dedaunan gelap dan potongan besar bayangan misterius,membentuk tirai dengan menyebar warna ungu. Tempat ini terlihat indah, dan keindahan alam yang luar biasa sangat menarik orang-orang Eropa. Alam yang terlihat memberikan sebuah sihir tak tertahankan. Saya bisa membayangkan bahwa dengan kondisi ini seorang penyair akan berada dalam keadaan terus-menerus berkontemplasi.
Kami tidak mendarat di Padang, tetapi di Emmahaven di sebuah teluk melingkar besar ke Selatan dan terbuka ke Barat yang dilindungi oleh pegunungan. Di tempat ini beberapa tahun yang lalu tidak terdapat apa-apa selain rawa akar pohon dan pohon pandan. Bintik-bintik kuning dan putih terang terlihat di lereng, yang merupakan tambang, dan berlubang ke arah utara yang disebabkan oleh rel kereta api. Sebuah bangunan tinggi dari besi bersilangan dengan garis-garis tajam melawan langit di atas laut dan mengeluarkan lengan panjang seperti sebuah timbangan raksasa. Dari sana, gerbong ditarik oleh lokomotif kecil, dan lengan panjang yang terbuat dari logam mengisi kapal dengan zat padat hitam, batubara.
Beberapa menit kemudian, kereta api telah membawa kami ke Padang. Apakah ini sebuah kota? Tentu, dan masih yang terbesar di Sumatera, tapi sungguh berbeda dari biasa. Seperti Batavia, penuh dengan taman dan jalan. Rumah-rumah terbuat dari kayu, di atas tiang dan beratap jerami. Tapi terasa nyaman dan tidak terlalu panas. Udara lewat secara bebas di antara atap yang tinggi, matahari dihalangi dengan kanopi, sehingga tidak terlalu silau di tanah yang berlapis rumput tebal.
Sungai tidak begitu dalam sepanjang Kampung Cina,tapi kapal-kapal kecil dapat melayarinya. Mereka membawa buah, kayu dan ikan. Mereka juga berlayar ke laut sepanjang pantai , sedangkan kapal yang sangat sarat muatan berlabuh di hilir sungai. Sebuah bukit kecil di pantai, Gunung Monyet, yang di mulut sungainya banyak kapal menari di atas ombak.
Tanggal 16 April kami menuju Padang Bovenlanden. Ada dua jalan menuju kesana, ke Timur menuju Soebangpas dan Danau Singkarak, dan yang lain menyusur di sepanjang pantai, kemudian mengikuti lembah Anai dan berakhir di Padang-Pandjang. Kereta api mengikuti rute kedua dan kami mengambil rute ini.
Pertama kami berjalan sepanjang 40 mil di daerah datar, di mana sungai besar, sungai, laut ada di dekatnya, dan kita bisa melihatnya di antara tirai tebal pepohonan. Tak lama kita tiba di sepanjang tebing tinggi dan gelap. Desa-desa semua berada dekat dengan sungai, dan hamparan sawah datar yang dipenuhi padi. Seperti pada hari kedatangan kami, kami bahagia dengan keanekaragaman vegetasi. Ada berbagai bentuk dan warna.
Daun-daun ramping, lincah dan elegan dari batang kelapa bergantian dengan sagu, palem, dan bambu. Diantara pepohonan pisang Anda bisa melihat ratusan pohon tak dikenal dengan daun terang atau gelap, kusam dan mengkilap, besar dan kecil. Saat hutan menempel pada lereng , daun dan batang Colossi raksasa dengan akar tertanam di batuan, seprti kepiting aneh yang sedang menggenggam, dan tanaman merambat, menggantung seperti karangan bunga.
Di kaki batuan terdapat rawa dan tanaman air pakis dan lumut, ranting dan batang dengan nuansa pucat menyebar, sementara anggrek hidup di lapisan kulit mereka. Banyak parasit terlihat, setiap tanaman memiliki tanaman parasit sendiri, masing-masing adalah perawat bagi yang lain.
Lembah Anei memilik jalan, dan kereta api melewati lembah tersebut. Terletak antara Kajoetanam dan air terjun. Kereta api memotong ketinggian, dan lokomotif berasap dan meraung keras. Lokomotif berada di belakang di kereta, mendorong ke depan, dan kami dapat melihat jalan berliku di depan kami. Sungai berbelok dari satu sisi ke sisi lain melalui lembah sempit, air terang berkilau membelai batuan dan menyatu dengan musik merdu dengan akar, sampai tiba-tiba ketika ada hambatan yang datang di jalannya, meloncat tinggi. Air terjun jatuh ke batuan, tiga puluh atau empat puluh kaki di atas kepala kami, dan angin mengirimi kami partikel air. Kereta api beberapa kali berada di atas sungai, terlihat di bawah busa putih, dan setiap belokan terlihat pemandangan yang indah. Stasiun pertama di ngarai terdiri dari dua atau tiga cottage di antara pohon palem dan pisang. Perhentian lain berada antara tembok tinggi dan tertutup dalam sebuah lubang, dan seperti satu keajaiban muncul secara tiba-tiba. Kemudian ada jembatan dan terowongan kecil dan gemuruh sungai dan kusut-masai pohon.
Di sana-sini jejak dari kemarahan Anai masih terlihat. Reruntuhan dan sisa-sisa jembatan di dalam sungai yang liar. Satu tahun setelah peresmian rute ini terjadi banjir dengan tiba-tiba dan memerlukan perbaikan total sebesar £ 600.000. Saya telah melihat di Padang photografieĆ«n foto-foto yang diambil pada pagi hari setelah bencana. Sangat menakutkan bagi setiap insinyur Eropa. Jalan tersapu ratusan meter, tebing di bawah jalan longsor ke arah sungai. Rel dan bantalan bengkok atau bahkan tergantung di atas jurang. Stasiun kereta api dan jembatan rusak. Dengan sangat segera pekerjaan perbaikan dimulai.
Kami berjalan perlahan melalui ngarai. Dari Kajoetanam ke Padang-Pandjang hanya 15 mil jauhnya, tapi jalan naik 640 meter bahkan pada bahwa jarak yang pendek. Cuaca menjadi dingin, dan keluar dari hutan kami bisa melihat desa-desa. Kami melewati sebuah jembatan tinggi dengan lengkungan dan lereng yang kurang curam, terlihat tanaman berbaris-baris dan kami sudah berada di Padang Pandjang.
Ini adalah sebuah kota di punggung bukit sempit, yang justru merupakan lembah antara dua lereng Sumatera. Singkatnya, kita tidak lebih dari 30 mil dari pantai dan berada di tepi dataran tinggi. Sebenarnya, nama “dataran” di sini salah. Daerah ketinggian ini memiliki permukaan tidak teratur, sangat bergelombang dan dipotong oleh lembah dan puncak tinggi yang naik di sampingnya. Tiga gunung-gunung tinggi yang indah di Padang Pandjang, yaitu Tandekat dan Singgalang di Barat, Merapi di Timur Laut. Iklim di tempat ini sempurna jika tidak begitu banyak hujan. Pagi hari yang sangat bagus, tetapi perlu waktu sampai jam sembilan untuk menyingkirkan kabut. Mereka merayap menaiki lereng gunung dan secara bertahap menyerap semua yang kami sebelumnya terlihat berkilauan di kejauhan. Awan menjadi lebih berat, dan segera turun hujan di siang hari. Tidak begitu lama, tapi matahari tidak muncul lagi, dan terlihat abu-abu terang dengan bentuk bulat dan membosankan. Saya hampir lupa bahwa saya berada di Sumatera jika aku tidak melihat pohon palem dan bambu dan rumah-rumah Melayu dengan atap rumah mereka yang begitu khas.

Rumah-rumah berada di tiang tinggi, dibuat dari kayu dan bambu, dan setiap titik meruncing sampai ujung-ujungnya, seperti haluan dan buritan kapal. Mereka dimahkotai dengan atap melengkung, dua tinggi, titik yang tajam diarahkan ke langit sebagai tanduk raksasa. Pada jendela depan yang tanpa penutup, dan sebelum pintu merupakan tempat berteduh kecil, terbuat pada kayu. Dinding putih dan warna hitam atau merah dan gambar kasar diplester dengan ornamen, potongan dekorasi kaca atau tembaga. Di setiap sisi bangunan utama yang lebih rendah, simetris saling berhadapan dan semua dibangun dengan cara yang sama, sementara atap yang lebih rendah di bawah yang lain. Di dekatnya juga lumbung beras, yang merupakan bangunan persegi kecil berbentuk panggung dan dengan atap sama dengan rumah-rumah.

Di Padang Pandjang harus diakui bahwa seluruh rumah-rumah bagus. Kami hanya memiliki beberapa jam waktu berhenti. Jalan terus mendaki sampai 1154 m., untuk menuju ke celah yang memisahkan Singgalang dan Merapi. Di sebelah kanan kami, turun dengan cepat, pemandangan Danau Singkarak yang dikelilingi oleh kabut.

Dari Kota Baru kami kembali turun ke arah Fort de Kock, yang akan dicapai pada jam lima. Hari hujan dan kami menginap di hotel. Hal ini sebaiknya tidak dialami. Bahkan kamar paling bagus sekarang diduduki oleh tikus. Sepanjang malam binatang ini membuat pemandangan seperti di neraka. Gerombolan nyamuk mendengung di surga ini, yang jauh dari kesan manis pada saya.

Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan kami ke Pajacombo. Kami berangkat saat ini untuk menjelajah tapi kemudian akan kembali ke sini, untuk mengamati lebih khusus dan mencari jawaban atas rincian pertanyaan yang menarik minat kami. Awalnya kami berada pada sebuah dataran tinggi, yang melereng lembut ke timur. Daerah ini dibangun secara mengagumkan, dan sawah meluas ke sisi Merapi. Di belakangnya muncul Singgalang; puncak gunung ditutupi dengan hutan, tapi pada kakinya desa-desa dan perkebunan berganti satu sama lain. Pada satu bagian dari perjalanan ini kami mengikuti jalan biasa, dengan rel berada sepanjang salah satu tepi, dan kami melewati pribumi berbaris dengan gerobak sapi, menuju pasar.

Lalu kami turun dalam garis lurus sepanjang 7 mil, lereng menurun bertahap, tanpa keraguan disebabkan oleh semburan lava yang luar biasa pada zaman dahulu. Kiri dan kanan memiliki gunung kapur yang curam dan tebing batu pasir. Potongan batu hitam bertebaran dimana-mana. Di kaki bukit itu kami melihat sebuah lorong sempit di antara dua batu, dan membawa kami ke dataran Pajacombo.

Kami pergi ke tempat itu, menemui Asisten Residen untuk berbicara dan meminta bantuannya untuk perjalanan kami. Ketika kunjungan kami sudah berakhir, kami sekali lagi naik kereta api dan kembali ke Padang-Pandjang. Di tempat ini rel kereta api terbagi, dan satu cabang pergi ke Solok dan dari situ ke tambang batubara Sawah-Loento. Itu adalah tujuan utama dari tamasya pertama kami. Kereta turun perlahan menuruni lereng curam, di stasiun menunggu kereta api batubara, yang pada gilirannya ditempatkan di jalan dan dengan kesulitan diseret oleh lokomotif.

Terhampar lembah yang indah Soempoer, penuh dengan desa-desa dan sawah. Di sebelah kiri kami adalah daerah tertutup, dipotong oleh ngarai dalam, dan sejauh mata memandang kami dapat melihat kopi, ditanam di sekitar rumah. Hujan, hujan terus-menerus telah dimulai, awan merayap sampai ke Merapi dan kabut tebal menutupi sawah, mengelilingi dan menyembunyikan bagian atas pegunungan. Sekarang kami berkendara di sepanjang Danau Singkarak. Kumpulan air terletak tak bergerak dalam cahaya monoton dan suram. Hujan berhenti, tapi kabut menyapu bersih semua kontur dan lansekap, sinar matahari cerah telah berganti kabut, dan tampak mengantuk, gelap dan mematikan sebagaimana pemandangan Eropa utara dalam kabut. Sekitar danau dikelilingi ketinggian, arus air yang kuat telah mengukir batu, dan banyak ngarai tak berujung bercabang ke segala arah. Air dari pegunungan berakumulasi menjadi kerucut puing-puing raksasa, setinggi 50 atau 60 M. dan perlahan-lahan bergerak. Setiap hujan datang aliran pasir dan batu ke arah jalan kereta api dan kemudian kadang-kadang benar-benar tertutup. Sebuah jembatan rendah di atas Sungai Ombilien berada di pintu keluar danau. Air itu indahnya tak tertandingi, biru safir dan sangat bersih. Pada akhir danau kita memasuki sebuah lembah dengan dasar rata dan kemudian lenyap, tanpa sadar naik lagi menuju Solok.

.............

(Fakta menarik dari kutipan diatas:
1. Padang adalah kota terbesar di Sumatera pada saat itu.
2. Penggambaran pelabuhan Emmahaven persis seperti yang tergambar di video dalam posting sebelumnya. Ini meyakinkan bahwa deskripsi pengarang tentang apa yang dilihatnya dapat diandalkan. (Klik disini untuk melihat)
2. Sungai di daerah Muaro Padang dapat dilayari kapal sampai ke dalamnya. Tidak seperti sekarang...:(
3. Disebutkan ada Rute Padang ke arah Solok melalui Subangpas. Dimana itu Subangpas? Rasanya ndak ada nagari yang bernama itu di jalur tersebut. Apakah salah tulis? Atau si Pengarang salah dengar dari dialek lokal?
4. Hutan di lembah Anai sungguh lebat dan ...menyeramkan!
5. Di lembah Anai terdapat stasiun KA yang berupa cottage. Mungkin itu adalah bangunan setelah air terjun, di sebelah kiri dari arah Padang, yang sekarang tertutup semak belukar lebat. Ambo pernah melihatnya waktu petugas Perumka membersihkannya beberapa tahun yang lalu.
4. Setahun setelah peresmian, jalur KA Lembah Anai dihantam banjir besar. Perbaikannya memerlukan biaya sebesar 600 ribu gulden atau sekitar 3,3 Miliar Rupiah sekarang.
6. Rumah-rumah di Padang Panjang bagus-bagus.
7. Padang Panjang sering hujan setelah tengah hari. Dan setelahnya berkabut.
8. Perlu waktu sampai jam 9 pagi bagi kabut untuk betul-betul lenyap dari Padang Panjang.
9. Bukittinggi banyak tikus dan nyamuk!
10. Di daerah Solok kopi ditanam sampai ke halaman rumah.)
..................Silakan melanjutkan membaca Bagian Kedua (klik disini)
(Sumber : www.gutenberg.org)

Sabtu, 07 Mei 2011

Mantri Kopi Alahan Panjang (1877)

Sewaktu melihat-lihat koleksi Tropen Museum, ambo tertarik pada foto ini. Atau lebih tepatnya, miris atau lebih tepatnya lagi, sedih. Di foto ini terlihat seseorang dengan memakai saluak -yang menandakan ia adalah seorang penghulu suku atau datuak- duduk berjongkok disamping 2 orang bule berjenggot. Yang satu berdiri dan yang satu duduk.
Ternyata ketertarikan awal itu berlanjut kepada "penemuan" bahwa foto itu merupakan bagian dari hasil Midden Sumatra Expeditie (Ekspedisi Sumatera Tengah) yang berlangsung selama 2 tahun, yaitu antara 1877-1879 dan disponsori oleh Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) atau Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda. Ekspedisi ini berhasil memetakan bagian tengah pulau Sumatera, mengikuti alur Sungai Batanghari dan sekitarnya.
Dua orang bule itu adalah peneliti Belanda, yaitu Arend Ludolf van Hasselt (kelak menjadi Residen di Riau) dan Johannes Francois Snelleman (kelak menjadi direktur museum di Rotterdam). Sedangkan angku kita yang sedang berjongkok itu ternyata adalah seorang koffiemantri untuk kawasan Alahan Panjang dan sekitarnya yang bernama Pakih Sutan.

Wow. Seorang mantri kopi? Sebuah jabatan adminstratif sebagai seorang inspektur perdagangan kopi tentu bukanlah orang sembarangan. Ini terkait juga dengan Minangkabau sebagai daerah produsen utama tanaman kopi di Hindia Belanda pada jaman tanam paksa. Mantri kopi setidaknya adalah orang yang berpendidikan, artinya pernah sekolah dan bisa tulis-baca. Sebuah keterampilan yang sangat langka pada saat itu.
Paling tidak hal ini bisa terlihat pada foto kedua. Kewibawaan dan tatapan mata yang tajam cukup memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang pejabat pada masanya. Perhatikan juga bahwa jas dan saluak dipakai dengan cara yang persis sama dengan foto sebelumnya.

Belum cukup itu saja. Ternyata angku mantari kupi ini cukup terkenal juga. Terbukti bahwa lukisan foto (atau foto lukisan?) beliau dan istri beserta satu orang lain (yang disebut sebagai "penulis pribumi" -mungkin maksudnya penterjemah), juga dimuat dalam buku karya F.J van Uildricks yang berjudul Beelden uit Nederlandsch Indiƫ (Gambar-gambar dari Hindia Belanda). Buku ini diterbitkan tahun 1893. Sekali lagi, perhatikan gaya pakaian dan saluaknya. Persis sama...:)

Nah, kembali kepada komentar pertama ambo tadi. Ambo miris bahwa seorang dengan jabatan adat dan jabatan administratif yang relatif tinggi, masih saja berjongkok kepada orang Belanda yang ternyata"hanya" para peneliti biasa. Konon lagi rakyat jelata. Begitulah nasib anak jajahan....:(

(Sumber : Tropen Museum; digital.staatsbibliothek-berlin.de; knag-expedities.nl)

Minggu, 01 Mei 2011

Monumen Michiels (1855)

Pernahkah dunsanak membayangkan bahwa di Padang pernah berdiri sebuah monumen terbesar di pulau Sumatera? Jika belum, mari tengok gambar di samping ini. Namanya Michiels Monument atau Monumen Michiels bahasa kitanya.
Monumen ini didirikan pada tahun 1855 di Michielsplein (Lapangan Michiel) atau kira-kira berlokasi di Taman Melati sekarang. Terbuat dari besi tuangan dengan lantai marmer dan full relief di dinding luarnya. Dengan ujung-ujung yang meruncing yang terdiri dari beberapa tingkat, kesan bangunan Eropa kuno tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Berapa tingginya? Ambo belum menemukan referensi yang pasti. Tapi dari foto yang ditampilkan pada cover buku karangan Antropolog Belanda Freek Colombijn, dapat kita bandingkan ketinggian Michielsmonument dengan tinggi dua orang Meneer yang berpose-ria di depannya. Sekitar 8 kali. Jika ketinggian rata-rata orang Belanda pada waktu itu adalah 180 cm, maka ketinggian monumen ini adalah sekitar 14,4 meter atau setinggi gedung 5 lantai kurang lebih. Bisa dibayangkan?

Sebenarnya monumen yang bentuknya mirip seperti Monumen Michiels ini di Hindia Belanda ada 3 buah. Selain di Padang, juga ada di Batavia. Tepatnya di Waterlooplein (Lapangan Waterloo) atau sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng. Posisinya kira-kira di sudut timur Mesjid Istiqlal sekarang. Sebagaimana terlihat di foto di samping ini, monumen ini terlihat lebih "gemuk" dibanding yang di Padang. Namanya? Sama. Michiel Monument juga. Dibangun juga pada kisaran tahun yang sama yaitu antara tahun 1853-1855.
Satu lagi berada di Surabaya. Meskipun di Surabaya, tapi namanya Bali Monument. Dibangun pada tahun 1869. Diberi nama Bali Monument karena dibangun untuk memperingati kemenangan Belanda di Bali pada tahun 1849. Sayang setelah mengobrak abrik dunia maya, ambo belum berhasil menemukan satupun fotonya. Posisinya sekarang kira-kira di depan kantor Polwiltabes Surabaya.
Lantas kenapa ada 3 monumen, bahkan 2 dengan nama yang sama? Kalau dirunut ke belakang, monumen-monumen ini mengacu kepada satu orang, yaitu Mayor Jenderal Andries Victor Michiels.
Generaal Majoor ini dianggap berjasa besar kepada pemerintah kolonial Belanda dan mempunyai prestasi yang gilang gemilang di tanah jajahan.
Lahir di Maastricht (Nederland), 23 April 1797, pertama kali mendarat di Jawa pada tahun 1817 dengan pangkat Letnan Satu. Setelah terlibat dalam perang Cirebon dan Diponegoro, pada 1831 ia dipindahkan ke Sumatra Utara. Selanjutnya diangkat menjadi komandan militer untuk Sumatera Barat dengan pangkat Letnan Kolonel. Ia dianggap berjasa dalam menaklukkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol.
Atas keberhasilannya tersebut, pada 1837 pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Tahun 1838 ia ditugaskan sebagai Gubernur Sipil dan Militer di Sumatra Barat. Pada masa jabatan ini beberapa daerah dapat dikuasainya. Atas jasa-jasanya ini pada tahun 1843 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Pada 1849, karirnya semakin menjulang dengan diangkat sebagai Komandan KNIL di Batavia. Ia lalu memimpin ekspedisi menumpas perlawanan di Bali. Ia tewas terbunuh disana pada tahun yang sama dan dimakamkan di pemakaman Kristen Kebon Jahe Kober, Kerkhof Laan (kini Jl Tanah Abang I), Jakarta Pusat. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Museum Taman Prasasti.
Untuk mengenang jasa-jasanya itulah pemerintah kolonial Belanda membangun ketiga monumen tersebut. Sayangnya tidak satupun dari ketiganya yang masih berdiri hingga kini. Berkemungkinan mereka dirobohkan pada zaman penjajahan Jepang atau pada awal-awal kemerdekaan.
Tinggallah foto-foto ini sebagai bukti keberadaan Michielsmonument di Padang...



Foto Atas : Tahun 1895
Foto Tengah : Tahun 1900
Foto Bawah : Tahun 1910




(Dari berbagai sumber, foto koleksi Tropen Museum, KITLV dan Wikimedia)

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...