Jumat, 15 April 2011
Video : Padang - Bukittinggi (1926)
Perjalanan kita mulai dari tahun 1926.
Sebuah video yang diupload oleh Bovelius di Youtube, yang menurut ambo adalah sebuah "harta karun" yang tak ternilai harganya.
Meskipun tidak bisa berbahasa Belanda, tetapi paling tidak ambo bisa mengira-ngira apa yang dimaksud oleh sang Narator.
Video ini pada awalnya mengisahkan tentang pulau Sumatera. Namun setelah diamati ternyata sebagian besar isinya mengisahkan tentang Padang dan Bukittinggi. Dari hal itu dapat dilihat betapa besar peranan Padang dan Bukittinggi di Sumatera dari sudut pandang penjajah Belanda. Sebab kalau tidak, video ini tidak akan pernah ada.
Rekaman video ini berdurasi 4 menit 14 detik. Adapun menit ke menit dari video ini adalah:
00.05 - 00.35 : Pemandangan Ngarai Sianok yang disebut Narator sebagai "Kerbauwengat". Darimana istilah ini berasal mungkin perlu penjelajahan waktu lebih lanjut. Terlihat bahwa sungai di dasar Ngarai airnya cukup besar. Tidak seperti sekarang yang sudah kecil. Mungkin karena hutan di hulu sudah menyusut.
00.35 - 00.41 : Pemandangan kesibukan pasar, berkemungkinan Pasar Atas Bukittinggi, karena pada latar belakang terlihat Los Galuang yang masih ada hingga kini.
00.41 - 00.45 : Nah, kalau yang ini sudah pasti Janjang 40 di Bukittinggi. Sampai sekarang gerbangnya masih seperti itu. Meskipun pasti sudah bukan yang ada di video ini.
00.45 - 00.56 : Deretan bendi menunggu penumpang di pinggir jalan dan kesibukan amai-amai menyiapkan lapak dagangannya.
00.56 - 01.34 : Sepertinya bukan di Ranah Minang. Dapat dilihat dari pakaian wanita yang mengusir burung di sawah yang terlihat seperti kemben dan rambut tergerai. Bukan tipikal wanita minang. Ditambah lagi dengan cara memanen padi dengan cara dipetik. Juga bukan cara orang Minang. Cara memanggul padi pulang juga bukan cara Minang. Kincir air juga tidak seperti yang biasa dijumpai di Ranah Minang. Jadi, dimanakah ini? Mungkin masih di Sumatera, karena pada awal video ini terdapat peta Pulau Sumatera...
01.34 - 01.45 : Sepertinya sudah kembali ke Ranah Bundo. Wanita bertikuluak sedang bekerja menumbuk padi di lesung yang diputar pasti dengan kincir air atau yang biasa disebut kincia. Perhatikan bahwa wanita minang sambil bekerja tidak melupakan tugasnya sebagai ibu dengan tetap mengasuh anak.
01.45 - 02.24 : Sebuah kapal hendak merapat di Pelabuhan Emmahaven atau yang dikenal sekarang sebagai Teluk Bayur. Sebuah pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatera, berjarak kira-kira 10 km dari kota Padang. Dari kejauhan terlihat kereta api berlari, konstruksi baja pelabuhan (mungkin untuk kepentingan semen dan batubara, karena kedua produk itu merupakan produk unggulan pada masa itu), serta rumah dan mesjid di pinggir pantai.
02.24 - 02.34 : Pemandangan dari atas kereta api. Ini pasti di Ranah Minang karena tipikal rel yang digunakan adalah rel dengan gigi di tengahnya. Rel ini konon hanya digunakan di dua tempat di dunia, yaitu Ranah Minang dan Swiss karena medan yang hampir sama, berbukit dan bergunung. Posisi gambar ini berkemungkinan di sekitar Sicincin atau Kayu Tanam karena terlihat kereta menuju ke arah 2 buah gunung, yang hampir pasti adalah Gunung Singgalang dan Merapi.
02.34 - 02.57 : Dari potongan ini kita mengetahui bahwa gambar ini di ambil tahun 1926. Di layar tertulis "Fort de Kock 1926". Fort de Kock adalah nama Belanda untuk Bukittinggi. Dalam segmen ini terlihat kesibukan orang melewati Janjang Gudang, cara cepat mencapai Pasar Atas dari arah luar kota pada masa itu. Shoot pertama dari atas, dilanjutkan dengan shoot dari bawah. Rasanya Janjang Gudang dan rumah-rumah di pinggirnya masih seperti itu hingga sekarang. Alangkah awetnya bangunan lama!
02.57 - 03.14 : Jam Gadang dengan bagian atas yang masih berbentuk kubah ini menunjukkan gambar ini diambil pada zaman Belanda. Pada zaman Jepang kubah itu berganti seperti kuil, sedangkan pada zaman sekarang kubah itu berbentuk rumah adat Minang. Pengambilan gambar sepertinya dilakukan dari arah sudut Gedung Tri Arga, dengan latar belakang Pasar Atas yang masih seperti Los Besar.
03.14 - 03.28 : Berkemungkinan adalah Pasar Atas dipandang dari titik tertinggi di Bukittinggi: Jam Gadang! Hal ini karena kemiripan dengan bangunan pasar yang terlihat dari kejauhan dalam segmen sebelumnya. Terlihat ramai orang dan bendi. Pasar terdiri atas 2 bangunan besar dan berpagar. Cukup rapi kelihatannya.
03.28 - 03.43 : Sebuah mobil tuan meneer melintas entah darimana hendak kemana.
03.43 - 04.01 : Sebuah pemandangan kampung tradisional di Ranah Minang. Ada sekelompok ibu-ibu yang sedang memasukkan jemuran padinya ke dalam karung. Entah karena mau hujan atau karena sudah kering. Di jalan ramai orang yang lewat. Berkemungkinan pada saat itu hari pasar, karena ibu-ibu terlihat berpakain rapi dan banyak yang menjunjung sesuatu di kepalanya, sebuah cara tradisional membawa barang. Selanjutnya anak-anak mencebur ke kolam berenang-ria, sementara di jalan lewat seorang bapak menggiring sapi. How romantic...!
04.01 - 04.14 : Sebuah papan bertuliskan "Over 66 K.M - 1700 Bochten" yang menurut mbah Google artinya "Lebih 66 KM - 1700 tikungan". Wow! Sebuah rambu yang tidak pernah ada sekarang. Siapa juga yang mau ngitung tikungan? Ternyata Belanda mau ya. Terus terdengar Narator mengucapkan kata "Toba" dan "Trans Sumatera". Tikungan yang 1700 tadi pasti berada antara Bukittinggi dan Danau Toba. Dan karena itu pulalah supir yang ahli di Ranah Minang disebut dengan istilah supir Medan. Karena sudah khatam melintas 1700 tikungan dalam 66 kilometer....!
(Update : Tambahan informasi dari pembaca Anonim adalah bahwa Jalan 1700 tikungan itu jalan antara Parapat-Sibolga. Untuk jalur Trans Sumatera jalan ini sudah mulai ditinggalkan karena sempit dan rada berbahaya bagi yang tidak biasa. Wah, kalau gitu sebenarnya istilah yang lebih tepat bukan supir Medan, tapi supir Supir Parapat-Sibolga, ya? :) )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)
Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...
-
Suatu hari di awal Ramadhan lalu, ambo tercenung di depan tumpukan buku di toko buku Gramedia Palembang. Di tangan ambo ada sebuah buku b...
-
Dalam posting-posting terdahulu seringkali kita menyebut Sumatera Barat dengan istilah yang dipakai dalam adminstrasi pemerintahan kolon...
-
Dunsanak semua, Karena jadwal yang padat maka minggu ini kegiatan penterjemahan buku Van Batavia Naar Atjeh terpaksa tertunda dulu. Namun u...
Mantapppp...
BalasHapusJalan 1700 tikungan itu jalan antara Parapat-Sibolga. Untuk jalur Trans Sumatera jalan ini sudah mulai ditinggalkan karena sempit dan rada berbahaya bagi yang tidak biasa.
BalasHapusAnonim No.1 : Tengkyu bos.
BalasHapusAnonim No.2 : Tengkyu juga bos. Postingannya akan diupdate dengan tambahan ini. Sayangnya nama anda nggak ada sehingga saya nggak bisa menampilkan penghargaan khusus untuk anda. :)
mangstabs...melintas waktu dengan videonya...
BalasHapuskemanggisan pulo : tengkyu gan..
BalasHapusDuh ngeri.. kayak masuk ke lorong waktu.. Saya juga penyuka sejarah, terima kasih atas info dalam blog ini... Meskipun baru sekali ke Padang dan Bukit tingg, rasanya kok gak bakalan lupa deh
BalasHapusRizal : kok ngeri? :) Ada kejadian apa nih di padang dan bukittinggi sampai gak bakalan lupa...hehehe...
BalasHapusWALAU KITO BERANG KA BULANDO NAN ALAH MANJAJAH, SATIDAK NYO KINI KITO BATARIMO KASIH KARANO ALAH MAREKAM KEADAAN MASO LAMPAU DIMANO URANG AWAK MASO ITU MASIH SANGAN KOLOT
BalasHapusIYO TARIMO KASIH BULANDO
HapusKayaknya itu kincir air masih di ranah minang,pak. Terakhir awak lihat ada di nagari Taluak Tigo Jangko kecamatan Lintau Buo. Nda tau sekarang masih ado apo indak
BalasHapus