Selasa, 04 September 2012

Kecelakaan Mobil di Muaro Labuah (1929)



Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan jalan di Ranah Minang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (baca: Perjalanan Berliku Jalan Berkelok), maka kendaraan roda 2 dan roda 4 mulai berseliweran ke seluruh pelosok nagari. Arus barang dan orang semakin lancar. 

Namun demikian, karena teknologi yang masih dominan dengan konstruksi kayu, cuaca tropis yang lembab menyebabkan kayu cepat menjadi lapuk. Akibatnya ya kejeblos.

Ini contohnya. Terjadi pada tanggal 1 Oktober 1929, sebuah mobil tagurajai karena melewati jembatan lapuk di Muaro Labuah, Solok Selatan. Roda depannya masih nyangkut diatas jembatan sementara bagian belakangnya sudah terduduk di dalam sungai. Tepatnya Sungai Rambutan, sebagaimana tertulis dengan tulisan tangan di pojok kiri bawah foto.

Di atas jembatan, berdiri 3 orang. 2 diantaranya berpakaian seragam. Itu pastilah polisi yang mengamankan lokasi tersebut dan datang dengan sebuah motorpit gandeng persis film Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Motorpit-nya parkir dekat orang ketiga yang berbaju putih dan berkopiah. Mungkin penduduk lokal atau pemuka masyarakat.

Mobil ini sepertinya mobil penumpang. Karoseri atau rumah-rumah-nya terbuat dari kayu. Kalau di zoom di dindingnya terbaca "SINARLAJANG P.ARO L.B.G.D". Karena belum ada EYD saat itu, maka tulisan dan singkatan yang ditulis di dinding itu tidak konsisten dalam penempatan tanda baca, khususnya spasi dan titik. Kalau dibaca sekarang tentu menjadi "Sinar Layang P. Aro Lb. Gd". Maksudnya Padang Aro Lubuak Gadang, nama daerah di Solok Selatan. Sinar Layang mungkin nama perusahaan oto-nya.

Selanjutnya di bawah tulisan itu tertulis "CYLINDER". Entah apa maksudnya ini. Merk mobil atau apa. Sementara di pintunya tertera "18 PERS EGW 1427 KG". Kita bisa mengira-ngira maksudnya mungkin berat kendaraan itu adalah 1427 Kg. Tapi apa iya seperti itu. Mungkin ada pembaca yang bisa memberi pencerahan :).

Disebelahnya ada lambang bulan bintang. Apakah ini bisa diartikan bahwa mobil ini milik orang Minang yang notabene beragama Islam? Bisa jadi. Apalagi kalau melihat namanya yang melayu banget. Sinar Layang.

Yang unik adalah apa yang tertulis di kaca depan. Dibagian kiri dan kanan atas kaca depan tertulis "HUUR AUTO". Artinya adalah "mobil". Kenapa sudah jelas mobil masih ditulis lagi "mobil" di kaca depannya? Mungkin saat itu belum banyak yang tahu nama makhluk beroda ini adalah "mobil"...

Sumber :KITLV

8 komentar:

  1. Ass...
    Seblumnya ambo sangat berterima kasih dengan uda Ntonk yang selalu rajin untuk berbagi carito lamo atau sejarah minang di blog ini. Ambo selalu rajin untuk mengikuti postingan terbaru dari uda, walaupun kadang2 menunggu lama tetapi apa yang uda posting sangat bermanfaat dan menambah ilmu ambo tentang nagari awak Minang ko.

    Sehubung dengan postingan kecelakaan Muaro labuah, ambo beberapa saat lalu membaca sebuah berita di Padang-today.com tentang penemuan sebuah tugu kecelakaan kereta api di Padang panjang, yang menarik nya dari tugu tersebut peristiwa kecelakaannya ditulis tahun 25-12-2604 dan 23-3-2605 sayangnya tidak ada penjelasan lengkap atau gambaran kecelakaan tersebut terjadi..
    Ambo berharap mungkin uda Ntonk bisa menemukan sumber yang lebih jelas atau sedikit keterangan tentang tugu tersebut dan kejadian kecelakaan kereta api tersebut..
    Sbelumnya saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan moga selalu sehat dan sukses buat uda Ntonk wassallam..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bung Darend Ariza,

      Maklumlah blog ini hanya untuk perintang-rintang hari kalau sedang santai. Jadinya ya seperti ini. Muncul sewaktu-waktu hehe...

      Saya juga ada baca berita itu. Malah ditulis "aneh" karena tanggalnya itu. Sebenarnya wartawannya yang belum tahu bahwa tanggal itu adalah tanggal Jepang, jadi dibilang aneh. Mungkin dia pikir itu monumen dari masa depan :)

      Kalau melihat tanggalnya, kejadiannya tahun 1944 dan 1945. Tapi saya juga belum menemukan informasi tambahan tentang ini. Mungkin yang keluarganya ada di PT. Keretapi bisa menjawabnya.

      Hapus
  2. Ambo menambahkan saketek yang ambo tau : Pada zaman Jepang terjadi dua kali kecelakaan keretaapi di Padang Panjang. Yang pertama di daerah Bintungan, nagari Panyalaian pada bulan Desember 1944 (2604 tahun Japangnyo). Korban pada kecelakaan ini cukup besar dan tidak tertampung di rumah sakit yang ada di Padang Panjang. Jepang kemudian menggunakan Sekolah Diniyyah Putri Padang Panjang sebagai rumah sakit darurat karena bangunan Diniyyah Putri punya ruangan yang cukup luas untuk menampung korban.

    Kecelakaan kedua di Lembah Anai bulan Maret tahun 1945 (2605). Dan lagi lagi Diniyyah Putri dijadikan rumah sakit darurat. Belakangan Jepang memberi Piagam Penghargaan pada Diniyyah Putri atas peristiwa tersebut.

    Satantang tugu, melihat tahun kejadian kecelakaan yg tertulis di tugu tersebut, ditambah lagi penanggalannya menggunakan penanggalan Jepang, sudah jelas itu bukan tugu kecelakaan zaman Belanda seperti yang ditulis Padang-today.com, tetapi kecelakaan di zaman Jepang.

    Sayang monumen tersebut tidak terawat, bahkan katanya sudah dilaporkan ke Dinas Sosial setempat tapi belum ada tindak lanjut...

    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tarimokasih Umi Namira atas tambahan informasinya yang sangat berharga.

      Bagi yang punya akses ke Diniyyah Putri, mungkin hal ini bisa disampaikan. Agar piagam yang menjadi saksi sejarah itu dapat diselamatkan dengan baik. Agar tidak terjadi kebingungan serupa di masa depan soal tahun-tahun aneh seperti ini lagi..:)

      Hapus
  3. Tugu monumen kecelaka'an kereta api tu angker , dibawah tugu kareta api tu , kuburan korba kecelaka'an tu , kecek urang sakaliliang acok tadangan suaro nan aneh aneh , ngeri sabana ngeri , pemerintah takuik jo tugu tu da .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh....tapi ancak juo kalau dibersihkan oleh Pemda ndak?

      Hapus
  4. muaro labuah kampuang ambo ma dunsanak sakalian hehehhe

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...