Minggu, 07 April 2013

Tambang Emas Salido (1669 - 1928)


Saat ini sedang heboh-hebohnya soal illegal mining emas di Solok Selatan, yang konon menghasilkan 60 kg emas perhari (!). Dikabarkan bahwa ada  sekitar 300 eksavator yang mengeruk sepanjang Sungai Batang Hari yang melalui kabupaten tersebut. Konon lagi, penggantian Kapolda Sumbar beberapa waktu lalu juga terkait dengan soal emas ini. Tapi bagi ambo agak lucu juga kalau eksavator yang berjumlah ratusan itu disebut illegal. Karena yang illegal itu biasanya kan sembunyi-sembunyi. Nah, sekarang bagaimana caranya eksavator bekerja secara sembunyi-sembunyi? Mau datang lewat mana dia? Diantar pakai helikopter? BBM-nya beli dimana? Naik helikopter juga? welehweleh...

Ya, kita hentikan saja pembicaraan soal Solok Selatan. Pihak yang berwenang sedang mengurusnya.  Yang jelas kasus ini mengingatkan ambo kepada tambang emas yang konon tertua di Indonesia, yaitu tambang emas Salido di dekat Painan.

Sebenarnya kemasyhuran pulau Sumatera sebagai Swarna Dwipa atau Pulau Emas sudah lama terdengar oleh bangsa Eropa melalui cerita-cerita para pelaut dari Timur. Konon para raja yang berkuasa di Swarna Dwipa menggunakan emas selain untuk alat tukar juga untuk menghias istana. Bahkan untuk melempari ikan di kolam di kerajaan Dharmasraya sang raja menggunakan batangan-batangan emas. Begitulah saking kayanya dengan emas. Sementara daerah yang dianggap sebagai biang emas adalah daerah di sepanjang aliran sungai ke Samudra  Hindia yang berhulu di Bukit Barisan.

Salah satu negeri yang tercatat dalam catatan bangsa Eropa memiliki tambang emas itu adalah Salido.  Dalam catatan kolonial disebut Salida. Berasal dari bahasa Portugis yang berarti Jalan Keluar. Memang Salida adalah pintu gerbang (atau jalan keluar) bagi bangsa Eropa untuk keluar dan masuk ke pulau Sumatera dari  Loji/Benteng mereka yang berlokasi di Pulau Cingkuak. Pulau Cingkuak sendiri posisinya tepat berada di depan Salido. Nama Salida mulai populer ketika VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatera melalui Perjanjian Painan pada Mei 1662.

Tambang emas Salido sebenarnya sudah ditambang secara tradisional oleh masyarakat. VOC baru mengeksplorasinya pada tahun 1669 dengan mendatangkan 2 ahli pertambangan yaitu Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf. Hasil penelitian keduanya melaporkan bahwa tambang itu layak untuk dieksploitasi. Karena itu didatangkanlah budak-budak dari Madagaskar serta tawanan perang untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang disana.

Pada bulan Juli tahun 1679 sampailah di Salido seorang insinyur baru yang bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman. Rupanya ia seorang yang rajin mencatat. Beberapa tahun kemudian ia membuat buku tentang pengalamannya bekerja di tambang Salido. Sketsa dibawah dibuat berdasarkan catatannya pada tahun 1685.(click untuk memperbesar)


Dari sketsa terlihat bahwa tambang emas Salido berbeda dengan tambang emas illegal mining-nya Solok Selatan. Kalau di Solok Selatan emasnya berada di dalam batang air sehingga perlu dikeruk dengan eksavator, maka di Salido emasnya berada di perut bukit. Sehingga perlu dibuat lubang seperti tikus untuk menambangnya. Ke dalam lubang tikus itulah para pekerja bekerja. Bisa dibayangkan menyuruk ke dalam tanah dengan teknologi abad ke-17, tentulah sangat beresiko tinggi. Tak ayal tingkat kematian buruh tambang disini juga tergolong tinggi.

Barak pekerja terlihat berada di pintu masuk lubang tambang, baik di kaki bukit maupun di atas bukit. Yang di atas bukit dihiasi dengan bendera triwarna. Sedangkan di pinggang bukit terdapat sebuah bangunan yang ditulis sebagai "Laboratorium". Tidak dijelaskan apa kegunaan laboratorium itu.

Tambang ini sempat buka-tutup beberapa kali karena merugi. Manajemennya pun bergantiganti. Namun menurut studi yang dilakukan oleh R.J. Verbeek yang pernah menulis beberapa buku tentang Tambang Salido, antara 1669-1735 sudah 800 ton bijih emas yang dihasilkan Tambang Salido, dengan nilai f 1 200 000 atau rata-rata f 1 500 per ton.

Akhirnya pada tahun 1928, tambang ini resmi ditutup (kembali) karena bangkrut. Meskipun di dalam perut bukitnya masih terkandung emas. Namun biaya eksploitasinya tidak sebanding dengan hasilnya. Sisa-sisa emas inilah yang ditambang oleh masyarakat sampai sekarang. Tapi hasilnya sungguh berbeda jauh dengan yang di Solok Selatan...

Sebagai kenang-kenangan, dua orang "Toean" berpose di depan lubang tambang Salido yang diberi nama lubang Prinse (Pangeran) pada 14 Agustus 1914. Kalau di dalam sketsa-nya Vogel diatas, lubang ini adalah lubang yang berada di kaki bukit. Saat foto ini diambil, manajemen tambang sedang giat-giatnya melakukan upaya penyelamatan tambang dari kebangkrutan. Walaupun akhirnya gagal juga.

Dengan teknologi modern sekarang, mungkinkan Swarna Dwipa dihidupkan kembali?



(Sumber: http://niadilova.blogdetik.com; adlenaline.wordpress.com; kitlv)

15 komentar:

  1. Menurut saya bisa saja lokasi lokasi pertambangan emas di Sumatera Barat diexplore dan di exploitasi kembali. Di Sumut baru dibuka tambang emas Martabe yg dikelola oleh G-Resources, mining company dari Hong Kong yg akan beroperasi penuh bulan April-Mei ini. Target produksinya 250.000 ounces (sekitar 7 ton) emas dan 2,2 juta ounces (sekitar 62 ton) perak pada akhir 2013.

    Kalau benar produksi illegal mining di Solok Selatan 60 kg/hari, itu berarti 21,9 ton/tahun, jauh diatas tambang Martabe. Benar benar potensi yang luar biasa.
    Sayang yang menikmati hanya segelintir orang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bung Rinaldi,

      Memang dari cerita-cerita lokal, emas bertebaran di Sumbar. Dharmasraya, Sijunjung, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Pasaman, Pasaman Barat, dll. Tapi sayangnya cerita tinggal cerita. Tidak ada yang serius mengeksplorasinya..

      Hapus
    2. Mengenai tambang emas di Bukit tinggi gmn y Pak,,apa pernah dengar kronologinya,, saya ingin tahu jika ad info mohon dishare Pak,,,
      Wassalam

      Hapus
    3. Di Bukittinggi di daerah mana uda Karbon Aktif? Rasanya belum pernah dengar...

      Hapus
    4. Agak mustahil kalo bisa sampel segitu dapat emas, apalagi cuma keruk pake excavator. Yang jadi pertanyaan, berapa fee aparat agar tambang ilegal tetap jalan?

      Hapus
  2. bagaimana pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya? gawat...gawat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apanya yang gawat uda Rizal?

      Hapus
    2. Yg gawat y rakyat sana Uda Ntonk, kira2 sejahtera gak rakyat sana ya dengan banyaknya hasil tambang daerah itu :D
      Wassalam

      Hapus
    3. Kayaknya...belum tuh uda Karbon...:)

      Hapus
  3. Menarik dan mengagumkan sekali hasil penelusurannya !!! tidak mudah untuk mendapatkan sumber2 sejarah yang benar, tidak akan hilang dimakan waktu.
    Very impressive, I appreciate your work !!

    BalasHapus
  4. labiah rancak tambang2 ameh tu indak diexplore, karano keuntungan dari pertambangan hanyo dinikmati sebagian orang, dan dampak negatifnyo dirasokan dek masyarakat banyak, satwa2 yg hidup disitu dan ekosistem yg rusak dek ulah limbah penambangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uda Adrial, memang kegiatan pertambangan langsung head to head jo damak lingkungan. Apa mungkin dipertemukan?

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. semoga atikelnya bisa menambaah wawasan dan pengetahuan bagi yang membaca,,terutama buat kita samua.

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...