Sepintas foto koleksi KITLV bertahun 1880 diatas adalah foto sejumlah penghulu kaum yang sedang berpose menghadap kamera. Ini dapat dilihat dari saluak yang mereka pakai. Beberapa diantaranya juga memegang tongkat. Bahkan menilik cara berpakaiannya -jas tutup hitam dan celana putih- ambo menduga bahwa beberapa orang dari mereka adalah Angku Lareh.
Tapi ada yang tak biasa dalam foto itu. Ditengah-tengah foto berdiri sosok pendek besar, bermata bulat dengan mulut menganga, dilengkapi gigi-gigi tajam. Sepertinya kehadiran para datuk ini adalah untuk 'mengunjungi' sosok itu. Mungkin peristiwa ini merupakan bagian dari sebuah ekspedisi bersama pejabat kolonial atau para peneliti kepurbakalaan.
Sayangnya judul foto yang tersedia tidak memberikan informasi tentang 'penampakan' ini. Bahkan lokasi pengambilan dan juru kodak-nya pun tidak ada. Ini membuat ambo kehilangan jejak untuk mengetahui patung atau arca apakah itu. Kunjungan ke laman-laman museum, juga hasilnya nihil. Tidak ada kelihatan koleksinya yang mirip dengan apa yang terlihat di dalam foto. Meskipun ambo yakin bahwa arca itu saat ini mungkin sudah berpindah tempat. Bisa ke sebuah museum dan bisa juga ke tangan seorang kolektor.
Selanjutnya dalam pikiran ambo, ada 2 'terduga' lokasi untuk penjepretan ini. Pertama ada di nagari Mahat (Maek) di Kab. Lima Puluh Kota. Kedua di Nagari Siguntur Kab. Dharmasraya. Ada apa di kedua nagari tersebut?
Di nagari Maek, banyak ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologis dari zaman prasejarah, seperti dakon batu, lumpang batu, balai batu dan yang paling banyak ditemukan adalah menhir. Jumlah menhir yang ditemukan di Nagari ini mencapai 800 buah—tersebar di Koto Tinggi, Padang Ilalang, Koto Gadang, Ronah, Ampang Gadang, Bawah Parit dan beberapa tempat lainnya.
Menhir adalah batu besar menyerupai tiang atau tugu yang ditegakkan diatas tanah hasil kebudayaan megalit. Menhir biasanya digunakan masyarakat prasejarah sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang. Batu-batu ini biasanya dibentuk dan dihias dengan berbagai macam bentuk dan ukiran dalam berbagai ukuran. Uniknya, semua menhir kecuali beberapa menhir di Padang Ilalang menghadap ke Tenggara atau ke arah Gunung Sago. Menhir-menhir yang ditemukan di Nagari Maek ini mirip dengan menhir-menhir yang ada di Irlandia, Inggris dan juga Perancis.
Masyarakat Maek sendiri menyebut menhir-menhir ini sebagai batu urang saisuak. Menurut penelitian para ahli, menhir-menhir ini telah ada sejak Periode Neolitikum yaitu sekira 6.000-2.000 tahun sebelum Masehi. Artinya masyarakat Maek sekarang sama sekali tidak bertalian dengan masyarakat pembuat menhir-menhir ini sehingga mereka tidak tahu apa dan untuk apa menhir-menhir ini didirikan.
Terduga kedua yaitu Nagari Siguntur khususnya di kawasan Padang Roco dimana terdapat kompleks candi dan tempat ditemukannya 2 buah patung besar yang sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta: Arca Amoghapasa dan Arca Bhairawa. Kedua arca itu merujuk kepada sebuah nama: Adityawarman.
Lokasi di hulu sungai Batanghari itu diyakini sebagai pusat sebuah kerajaan Melayu yang merupakan penerus dari kerajaan Sriwijaya yaitu kerajaan Dharmasraya. Dari sini Adityawarman selanjutnya dipercaya bergeser ke Saruaso (dekat Pagaruyung) berdasarkan prasasti Suruaso dan Kuburajo.
Arca Amoghapasa merupakan hadiah dari Kertanagara raja Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Pada bagian lapik (alas) arca ini terdapat tulisan yang disebut prasasti Padang Roco yang menjelaskan penghadiahan arca ini. Arca ini berukuran tinggi 163 sentimeter, lebar 97-139 sentimeter, dan terbuat dari batu andesit.
Pada tahun 1347 Masehi, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang patung tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya. Tulisan ini disebut Prasasti Amoghapasa. Bagian arca sendiri ditemukan sekitar tahun 1880 sedangkan bagian alas baru ditemukan pada tahun 1911 di tempat yang berbeda.
Pada tahun 1347 Masehi, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang patung tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya. Tulisan ini disebut Prasasti Amoghapasa. Bagian arca sendiri ditemukan sekitar tahun 1880 sedangkan bagian alas baru ditemukan pada tahun 1911 di tempat yang berbeda.
Arca Bhairawa adalah patung batu raksasa berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton dan terbuat dari batu andesit. Arca ini menggambarkan "Bhairawa", suatu dewa-raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana, yaitu pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Arca ini dikaitkan sebagai perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra.
Arca raksasa ini aslinya terletak di bukit di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan dibawahnya mengalir sungai Batanghari. Konon dulu, di tempat strategis itu Bhairawa dengan gagah berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari, sehingga siapa pun yang melewati sungai tersebut akan mudah melihatnya. Dikatakan strategis karena Padang Roco merupakan gerbang masuk melalui Batanghari menuju pusat pemerintahan Kerajaan Dharmasraya, dan arca raksasa ini berfungsi sebagai markah tanah.
Arca raksasa ini sempat rubuh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi. Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Sebelah sisi kakinya juga terlihat lebih halus karena asahan parang yang berulang-ulang.
Patung itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda dari 'persemayamannya' pada tahun 1935 ke Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia.
Sekarang, dimanakah letak arca pendek-besar kita diatas? Jadi batu asahan juga atau malah jadi penghias taman?
(Sumber: KITLV, indonesia.travel; wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar