Inilah minuman yang sedang in di Ranah Minang saat ini: Kawa Daun. Dengan gampang dunsanak akan menemukan kafe-kafe di pinggir jalan raya -biasanya dari bambu, dilengkapi kursi dan balai-balai- tempat menyeruput minuman ini.
Apa itu kawa daun? Kawa artinya kopi. Dari bahasa arab qahwah. Daun ya daun. Jadi kawa daun adalah minuman yang dibuat dari seduhan daun kopi. Seperti teh. Sekali lagi: dari D-A-U-N kopi yang diseduh dengan air panas, dan bukan dari bijinya. Cara menikmatinya juga tak biasa : memakai tempurung alias batok kelapa, dengan ditemani gorengan. Sambil bersila di atas balai-balai bambu seraya dihembus angin sepoi-sepoi dingin pegunungan, sungguh kenikmatan tak terkira bagi penggemarnya. Rasanya? Kelat.
Tapi ambo tidak yakin semua penikmat kawa daun mengetahui bahwa sejarah minuman ini sekelam warnanya. Utamanya bagi orang Minang.
Bermula dari keinginan Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menerapkan tanam paksa kopi di Ranah Minang pada 1840 menyusul keberhasilan di Tanah Jawa 10 tahun sebelumnya. Kopi adalah komoditi bernilai tinggi di Eropa sehingga keuntungan yang membayang sungguh luar biasa. Bagi kompeni tentunya.
Akibat harganya yang tinggi itu, semua biji kopi harus diserahkan ke gudang kopi alias koffiepakhuis tanpa boleh tercecer sebijipun. Muncullah sebutan pakuih kopi bagi pegawai pribumi yang mengurus gudang kopi ini. Tak heran jika mereka umumnya ikut kecipratan kaya.
Tapi malang bagi masyarakat kebanyakan. Mereka hanya boleh menanam saja tanpa boleh mencicipi rasa minuman kopi yang diolah dari bijinya. Kopi adalah minuman para dewa yang tak terjangkau tangan. Tapi tak kayu janjang dikapiang, tak ameh bungka diasah, timbullah ide kreatif untuk membuat minuman dengan menyeduh daunnya. Demi dapat mencicipi rasa kopi yang harum itu. Dapat dipastikan bahwa ide ini muncul terinspirasi dari cara mengolah daun teh menjadi minuman. Sayangnya ide ini tidak tercatat dengan baik kapan munculnya, dimana dan oleh siapa.
Pastinya rasa daun kopi tidak sama dengan rasa biji kopi. Tapi setidaknya ada bau-bau kopinya juga. Kelat-kelat sedikit tak apalah, mungkin begitu pandangan masyarakat saat itu. Penderitaan ini baru berakhir pada tahun 1908 ketika tanam paksa kopi diganti dengan penerapan belasting atau pajak. Namun tradisi minum air daun kopi ternyata tidak ikut berhenti. Mungkin karena sudah berlangsung lebih dari 60 tahun.
Sebelum diseduh daun kopi diasapi dulu sampai kering. Setelah itu baru disiram dengan air panas didalam tabung bambu. Selanjutnya ditambahkan gulo saka sebagai pemanis. Taraaaa.....terciptalah kawa daun.
Proses pengasapan daun kopi ini yang terekam dalam sebuah potret koleksi Tropen Museum. Beberapa orang ibu sedang bakalumun asok mengasapi daun kopi. Di belakang mereka didirikan tikar sebagai penghalang angin. Tentu saja, karena tentu mereka tidak mengharapkan api menyala dan membakar daun-daun kopi itu. Yang diharapkan adalah baranya. Kalau daunnya sudah berbunyi gemerisik artinya proses pengasapan sudah selesai. Siap untuk diolah selanjutnya.
Satu lagi tentang istilah Melayu Kopi Daun. Konon ini sebutan bangsa Belanda kepada orang Minang karena mereka meminum minuman kawa daun ini. Tepatnya sebuah hinaan. Tapi dulu almarhumah ibu ambo pernah bercerita bahwa istilah melayu kopi daun bukan diberikan oleh penjajah Belanda, tetapi karena salah tangkap pendengaran si Minang terhadap makian khas Belanda, "Melayu G*dverdomme". Tapi intinya tetap sama: istilah itu muncul dari sebuah hinaan dan makian.
Tak ada salahnya bagi dunsanak penikmat kawa daun mengenang sejarah ini sambil mairuik kupi...slurrrppp....
(Sumber: Tropen Museum, wisnugresco.blogspot.com)
Awal tahun lalu sewaktu dinas ke Sumbar saya diajak oleh beberapa kawan disana menikmati kawa daun ke daerah dekat Batusangkar. Saya yang bukan penggemar kopi, dan menurut saya rasa kawa daun ini tidak enak (maaf lho). Saya malah lebih asyik menikmati pemandangan dan sejuknya hawa pegunungan disana.
BalasHapusSesudah membaca tulisan diatas ternyata sejarah terciptanya kawa daun ini jauh lebih tidak enak dibanding rasanya, ya ?
Uda Hakim, tidak perlu meminta maaf soal rasa kawa daun. Karena anda bukan satu-satunya yang berpendapat demikian hehe..
HapusDalam tulisan Mestika Zed : Dilemma Ekonomi Melayu: Dari Melayu Kopi Daun Hingga Kapitalisme Global ( http://ejournal.unp.ac.id/index.php/tingkap/article/view/2/2 ) ada versi sejarah yang berbeda tentang kawa daun ini.
BalasHapusDisana ditulis bahwa sebelum Ulando ulando tu memberlakukan tanam paksa kopi di Sumatera Barat, orang Minang sudah lama mengenal tanaman ini, yang dulunya dibawa oleh para pedagang pedagang bangsa Arab. Dan dari dulu orang Minang memang suka minum air rebusan daun kopi, seperti minum teh. Katanya mengikut tradisi para pedagang yang mengenalkan kopi ini ke orang Minang.
Sewaktu Belanda melihat itu, mereka menganggap orang Minang bodoh karena membuang biji kopi dan malah memilih daunnya. Dari situlah muncul istilah "Dasar Melayu kopi daun!" yang maksudnya : "Dasar orang Minang bodoh, kopinya dibuang, daunnya dimakan!"
Dan hal itu juga membuat Belanda yakin tanam paksa kopi di Sumatera Barat akan sukses, karena si Melayu Kopi Daun yang bodoh ini tidak akan mencuri kopi, mereka cuma butuh daunnya.
Awal awalnya memang begitu, produksi kopi dari Sumatera Barat sangat tinggi, gudang gudang kopi penuh, dan aman dari pencurian. Tetapi kemudian si Melayu Kopi Daun ini mendapat berita dari para perantau bahwa ternyata harga biji kopi sangat mahal ! Mulailah terbit galir si Melayu kopi daun, kopi yang sudah dipanen tidak mereka serahkan semua ke gudang gudang kopi, tapi sebagian besar mereka jual sendiri melalui network para perantau ke pelabuhan pelabuhan dipantai timur Sumatera bahkan langsung langsung ke Singapura dan Malaka.
Perlahan tapi pasti gudang gudang kopi mulai kosong. Belanda agak bingung kok bisa begitu, padahal tidak ada hama, kebun kebun kopi penduduk masih bagus semua, tidak ada yang berkurang. Dan dimana mana para Melayu Kopi Daun masih minum air daun kopi.
Karena geografi Sumatera Barat yang bergunung gunung sementara transportasi saat itu belum lancar ditambah lagi personil gubernemen urusan kopi sangat kurang, Belanda kesulitan untuk melakukan kontrol dan pengawasan. Akhirnya tahun 1908 tanam paksa kopi di Sumatera Barat dihapuskan karena tidak menguntungkan lagi bagi Belanda.
Sesudah tidak ada lagi tanam paksa kopi, dan sesudah tahu biji kopi itu enak, perlahan lahan kebiasaan minum kawa daun mulai berganti menjadi minum kopi beneran, meskipun disana sini tetap ada yang mempertahankan kebiasaan minum kawa daun ini, karena bagaimanapun harga kopi memang mahal.
Karena orang orang modern suka dengan hal hal yang berbau nostalgia, tradisi ini mulai dibangkitkan kembali. Menjamurlah sekarang palanta palanta kopi daun dimana mana, dan laris !
Kalau dulu orang minum kawa daun karena: belum tahu mengolah biji kopi, karena takut ketahuan Belanda dan karena harga kopi mahal, sekarang orang minum kawa daun karena : ada yang ingin bernostalgia, ada yang penasaran ingin tahu rasanya, ada yang sekedar ikut ikutan dan ada juga yang ingin kelihatan cool kata anak anak sekarang hehe..
Dasar Melayu Kopi Daun !
Uda Yasri, menarik komennya...tengkyu..:)
HapusSaya juga pernah baca versi yang itu, tapi bagi saya ada sesuatu yang "tidak pas" dengan versi tersebut.
Pertama, orang Arab sejak dahulu kala dikenal sebagai eksportir biji kopi. Artinya mereka sudah mengenal bahwa yang dimanfaatkan dari kopi adalah bijinya. Rasanya aneh kalau mereka mengekspor biji kopi tapi meminum air daun kopi untuk dirinya sendiri (dan mengajarkannya kepada orang Minang).
Kedua, saking ingin menjaga hegemoninya terhadap tanaman kopi, orang Arab memasak dulu biji kopi sebelum mengekspornya. Maksudnya agar biji tersebut tidak bisa tumbuh jika ditanam. Nah dari mana pedagang Arab di ranah Minang (dan orang Minang yang "meneruskan" kebiasaan minum air daun kopi)memperoleh daun kopi untuk direbus? Kalaulah pedagang Arab membawa sendiri daunnya, setelah daun itu habis, habis pula yang mau diminum. Apalagi orang Arab terkenal "pelit" (no offense). Tidak mungkin mereka mau memberi bibit kopi untuk ditanam secara cuma-cuma.
Ketiga, sepengatuhan saya sampai saat ini tidak pernah kita dengar ada tradisi minum kawa daun di negara-negara Arab. Malah kalau di Saudi Arabia yang terkenal adalah minum teh susu.
Karena itu saya lebih condong bahwa tanam paksa lah yang membuat orang Minang minum kawa daun.
Begitu kira-kira, uda...:)
Antah nan ma nan batua antaro duo sejarah, nan jaleh zaman balando urang awak banyak nan bansaik
BalasHapusJaman ini masih banyak juo uda Uyuang..:)
HapusWah ini menarik......
BalasHapusKata kawa diyakini berasal dari bahasa Arab qahwa yang berarti kopi. Dan itu sesuai dengan sejarah yang menyatakan bahwa yang mengenalkan orang Minang dengan tanaman kopi adalah para pedagang Arab. Kata qahwa kemudian disesuaikan dengan lidah orang Minang, jadilah kawa.
Orang Arab menggunakan biji kopi (coffee bean) untuk membuat qahwa, bukan daun kopi. Dan logikanya mereka tentu mengenalkan hal yang sama ke orang Minang. Dan kelihatannya orang Minang sangat suka dengan kawa. Sampai ada istilah minum kupi sebagai padanan kata snack sekarang.
Pada saat tanam paksa, biji biji kopi harus diserahkan semua ke Belanda. Akibatnya biji kopi di ranah Minang menjadi sulit diperoleh. Kalaupun ado nan taserak, harganya sangat mahal.
Karena minum kopi atau kawa sudah jadi tradisi di ranah Minang, nggak ada bijinya, daunnya pun jadi lah... muncullah kawa daun...
Merujuk hal diatas, saya lebih cenderung pada pendapat minuman kawa daun ini muncul karena keterpaksaan, bukan karena kebiasaan.
Tapi itu hanya personal opinion, karena saya bukan sejarawan :)
Sependapat kita uda Ardi...
HapusTerlepas dari segala kontroversi asal kawa daun ini, teh daun kopi ini katanya banyak manfaatnya. Hasil penelitian Royal Botanic Gardens, UK dan Joint Research Unit for Crop Diversity, Adaptation and Development di Perancis menunjukkan kandungan antioksidan dalam teh daun kopi ini tinggi, selain itu daun kopi mengandung zat zat pencegah peradangan dan zat zat pencegah hipertensie alias bloeddruk alias sakik darah tinggi.
BalasHapusJadi meskipun ambo juo maraso rasanya tidak enak, sebenarnya kawa daun ini adalah minuman sehat dan menyehatkan.
Dan kecek urang urang tuo dikampuang ambo daun kopi juga bisa dijadikan obat penyakit kulit, terutama untuak ubek kurok (kurap). Caranya agak horror : tumbuk sampai halus beberapa lembar daun kopi dicampur dengan (ini bagian horrornya) beberapa ekor semut hitam. Setelah halus campuran ini digosokkan ke bagian tubuh yang terkena kurap. Ulangi selama beberapa hari, dijamin kurok anda akan sembuh.
Apakah benar begitu, antahlah. Ambo alun pernah mancubo lai hehehe
Ambo tambahkan saketek lai : Hasil penelitian 2 lembaga diatas baru dirilis awal tahun 2013. Penelitian ini dilakukan karena melihat kebiasaan orang Sudan Selatan dan Ethiopia yang selain minum kopi juga minum repusan daun kopi. Dan juga, believe it or not, penelitian ini juga berdasarkan temuan bahwa "in Sumatera, Indonesia, coffee-leaf tea is quite popular and already known to date back more than 100 years ago."
HapusJadi kawa daun ko lah ado kontribusinyo ka ilmu pengetahuan mah hehehe
Cubolah sekali-sekali uda Ilham...nak tau khasiatnyo...:)
HapusDulu awak pernah maminumnnyo daerah Simanau kecamatan tigo lurah (payuang sekaki ) kab Solok sekitar tahun 1985 - 1990 sering menikmatinya walau tanpa gula pahit dan wanginya lain dari yang lain.......tapi sayang sekarang waktu saya berkunjung ke tempat itu lagi sudah jarang dan hampir nggak ada.
BalasHapusCerita yang sangat menarik!
BalasHapusIzin untuk kutip dan sunting dengan link balik ke laman ini. Terima kasih!
Silakan sanak Suwandi.
Hapus-Nt.
Mokasi infonyo uda..uda sadonyo
BalasHapusSy penggemar minum kopi dan teh, saya suka minuman ini
BalasHapusMenurut penuturan sejarawan Mestika Zed--beliau merujuk ke arsip-arsip yang ada di Belanda--sebelum Belanda masuk, orang Minangkabau belum mengonsumsi biji kopi. Orang Minang terbiasa minum air daun kopi, tetapi tidak dengan bijinya yang dibiarkan saja terabai. Waktu itu, kopi masih berupa tanaman liar. Orang Belandalah yang mengenalkan bahwa biji kopi itu enak dikonsumsi dan bernilai jual tinggi. Belanda berupaya menjalankan kebijakan tanam paksa di Minang, tapi tidak berhasil karena para penduduk Minang galir. Misalnya, dari 200 batang yang ditanam, cuma 50 yang disetorkan. Selebihnya dijual sendiri oleh petani ke pasar. Karena tidak berhasil, Belanda menghentikan kebijakan itu. Saking kesalnya, Belanda pun mengucapkan makian yang kira-kira bunyinya begini,"Dasar Melayu kopi daun. Kalau bukan karena kami, kalian tidak akan tahu soal tanaman kopi." Orang Minang sangat marah dengan sebutan "Melayu Kopi Daun" itu. "Kami yang menanam kopi, kenapa harus kami setor ke kalian?"
BalasHapusOtherside of story. Salam Yola.:)
Hapus-Nt.