Kamis, 01 Agustus 2013

IJzerman dan Para Perintis (1891)


Foto koleksi Tropen Museum diatas mengingatkan ambo pada film-film gangster Wild West di Amrik sono. Gaya berpakaiannya, cara menatap kamera, kumis dan brewoknya serta gaya berdirinya. Tapi foto ini tidak berasal dari Texas, melainkan dari Hindia Belanda.

Para gentlemen yang berpose diatas adalah bagian dari ekspedisi yang dipimpin oleh adalah Dr. Jan Willem IJzerman, insinyur utama Jawatan Kereta Api Hindia Belanda pada 1891. Tujuannya adalah untuk mensurvey jalur kereta api lanjutan dari Padang Panjang sampai ke Siak di Riau. Dengan demikian pantai barat dan pantai timur Sumatra akan terhubung. Hal ini merupakan kelanjutan dari pekerjaannya sebelumnya yaitu jalur kereta api dari tambang batubara Ombilin ke pelabuhan Emmahaven. Dr. IJzerman sendiri kelak pada tahun 1920 dikenal sebagai pendiri Technische Hoogeschool te Bandoeng alias Institut Teknologi Bandung yang kita kenal sekarang.

Ijzerman bersama para penghulu
Sebuah buku karya Rudolf Mrazek, sejarawan asal Ceko, memuat cuplikan kisah perjalanan ekspedisi itu dalam bukunya Engineers of Happy Land (2002) terbitan Princeton University Press sebagaimana dibawah ini , dengan sedikit editan dari ambo.

.....
Pada tanggal 13 Februari 1891, sebuah ekspedisi dimulai dari Padang Panjang, sebuah kota kecil di Sumatera Barat dimana dari stasiun itu kereta api tidak dapat kemana-mana lagi. Diawali dengan tradisi setempat yaitu "lompat maju ala katak".

Tujuan ekspedisi itu adalah mensurvey wilayah diluarnya untuk sebuah rel baru menuju Siak, menuju pantai Timur Sumatra. Yang memimpin ekspedisi ini adalah Dr. Jan Willem IJzerman, insinyur utama Jawatan Kereta Api Hindia Belanda. Waktu itu usianya empat puluh tahun. Selain menjadi teknisi paling berpengaruh di balik pembangunan jalur-jalur kereta api baru di Hindia Belanda, ia dikenal juga sebagai arkeolog amatir di Jogjakarta. 

Pada pukul enam pagi itu, ekspedisi mulai bergerak. Rencananya ialah berjalan kaki “dari pukul enam hingga pukul empat” setiap hari. Selain IJzerman dan tiga orang Belanda lain, ada sekitar selusin hamba-hamba Jawa, dua puluh orang Jawa pekerja kereta api dan sekitar 120 orang pembantu yang direkrut dari warga setempat. Ekspedisi itu membawa “kopor-kopor, tempat-tempat tidur lapangan, kursi, lembaran kulit imitasi untuk berteduh, kasur, amunisi, kawat, tali, paku, paraffin, kamera foto dan makanan.”

Dr. IJzerman sepanjang perjalanan tidak pernah bisa lepas dari pistol revolvernya. Ia merasa bahagia, setidaknya begitu yang  nampak. Orang-orang yang ikut dalam ekspedisi itu berburu ikan untuk makan malam dengan menggunakan dinamit. Kemah mereka di hutan juga pernah diserang oleh “para bandit”. 

Dalam buku kenangan ekspedisi IJzerman menulis : “Sejak penemuan lahan batu bara Oembilin oleh insinyur pertambangan yang cerdas bernama W.H. de Greve di tahun 1868, banyak orangmulai membicarakan dan menulis keinginan mereka untuk menyusuri sungai besar yang mengalir jauh hingga Selat Malaka”. Foto besar kuburan de Greve yang berupa gundukan kecil dibawah pohon tjoebadak menghiasi buku itu.

Jembatan dari bambu sebagai rencana rute jembatan KA di Batang Ombilin
Dalam perjalanannya rombongan IJzerman berulangkali menemukan sporen baru, jejak kaki gajah, badak, tapir, harimau, babi hutan dan rusa. Jejak kaki itu “sangat tajam terlukis di tanah yang basah.” Namun binatangnya sendiri jarang terlihat. Dalam bahasa Belanda “sporen” berarti jejak-jejak itu maupun jalur kereta api yang akan mereka bangun.

Menurut kisah mereka sendiri, orang-orang Belanda dalam ekspedisi itu beranggapan bahwa alam liar yang mereka lewati tampaknya ramah terhadap mereka. Sebagaimana ditulis:

“Di hutan, jauh dari dunia yang berpenghuni, sebahagian besar waktu dikuasai oleh keheningan yang mendalam. Tak ada kelompok monyet yang membangkitkan gema dengan teriakan bahagia mereka. Tak ada kawanan burung penyanyi yang memulai melodi-melodi bening mereka. Semua binatang besar seolah-olah punah. Tak ada nyamuk mengganggu istirahat kami di malam hari. Tak ada ular berbisa. Tak ada kelabang dan tak ada kalajengking yang mengganggu tidur kami di tempat terbuka, dibawah pohon, dan di tumpukan daun-daun bercendawan. Tak ada tikus menggerogoti persediaan beras kami, kaleng-kaleng berisi makanan dapat kami biarkan terbuka. Pepohonannya tak ada daunnya yang membuat kulit kami bengkak, tak ada duri menginfeksi darah kami. Kami bahkan dapat minum air hutan dengan aman.”

J.W. IJzerman
 Mereka bergerak dengan meninggalkan jejak-jejak kaki di lumpur basah, persis seperti badak atau babi hutan. Untuk maju terus diperlukan cara gerak tertentu: “memanjat pohon-pohon tumbang, menjaga keseimbangan di atas dahan-dahannya, tergelincir ke bawah dan jatuh ke lubang-lubang berlumpur di antaranya.”

Sewaktu pekerjaan itu selesai, pada pagi pertama setelah ekspedisi mencapai Siak, calon stasiun kereta terakhir (sebelum mereka berangkat pulang dengan menumpang sebuah kapal Cina), van Bemmelen –anggota ekspedisi- bangun dan pikirannya melayang ke beberapa minggu terakhir. Ia menulis bahwa hari-hari itu adalah “hari-hari kebebasan, kehidupan berkemah tanpa batas” dan “petualangan”. Dan yang paling kuat tertinggal dalam ingatannya adalah “kelembaban di kedua sepatu lars saya yang setengah robek, dan para pejalan kaki yang hampir-hampir berubah menjadi coklat terkena api perkemahan dan lumpur”.
.....

Itulah sekelumit kisah para perintis di akhir abad lalu. Namun ternyata perjalanan dan rintisan mereka sia-sia karena kita tidak pernah menikmati rel tersebut. Sampai sekarang.

(Sumber : Tropen Museum, googlebooks, historici.nl)

6 komentar:

  1. Sangat bermamfaat utk generus mengenali jati dirinya.

    BalasHapus
  2. Ekspidisi yang memukau kala itu, laporannya berjudul "DWARS DOOR SUMATRA: Tocht van Padang naar Siak", diterbitkan tahun 1895

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sanak Tressi. Mungkin asyik kalau diterbitkan dalam Bahasa Indonesia.

      Hapus
  3. Semakin menumbuhkan rasa cinta pada kereta api..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah-mudahan ada pengambil kebijakan yang berniat melanjutkan 'karajo baiak' ko yo sanak Melwadi..

      Hapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...