Kamis, 11 September 2014

Para Guru Ummat (1920-an)

Duduk dari kanan: Syekh Daud Rasyidi, Syekh Mohd. Djamil Djambek, 
Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang),
Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh DR. Abdullah Ahmad

Sebuah foto yang langka, memotret para ulama besar Ranah Minang pada awal abad ke-20 yang dianggap sebagai para pembaharu ajaran Islam di Sumatera Barat dalam satu frame. Mereka lah yang disebut dengan ulama "Kaum Muda" sebagai lawan kata dari ulama Sumatera Barat generasi sebelumnya yang dibahasakan sebagai ulama "Kaum Tua".

Mereka adalah Syekh DR. Abdullah Ahmad dari Padang (1878-1933), Syekh Ibrahim Musa dari Parabek, dikenal sebagai Inyiak Parabek (1884-1963), Syekh Sulaiman Ar Rasuli dari Canduang, dikenal sebagai Inyiak Canduang (1871-1970), Syekh Muhammad Djamil Djambek dari Bukittinggi, dikenal sebagai Inyiak Djambek (1860-1947) dan Syekh Daud Rasyidi dari Balingka, dikenal sebagai Inyiak Daud (1880-1948). Kalaupun ada yang kurang dalam rombongan ini mungkin ialah Syekh  DR. Abdul Karim Amrullah dari Maninjau, dikenal sebagai Inyiak De-Er atau Haji Rasul (1879-1945).

Kalau ditarik lebih jauh, hubungan persaudaraan diantara Inyiak-Inyiak tersebut bertemu kepada guru mereka di Makkah Al Mukarramah, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Imam dan Khatib mazhab Syafi'i di Masjidil Haram yang berasal dari Balai Gurah Canduang, Agam. Konon beliau adalah orang non Arab pertama yang memperoleh kedudukan yang sangat terhormat itu. Setiap anak Melayu yang menuntut ilmu agama di Makkah pada awal abad ke-20 hampir  dapat dipastikan adalah murid beliau.

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi
Syekh Ahmad Khatib (1860- 1916) terkenal karena sikap kritisnya terhadap adat istiadat dan praktik keislaman di kampung halamannya karena dianggap telah bercampur baur dengan penyakit "TBC" alias Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Tahayul contohnya percaya kepada hari-hari naas, Bid'ah adalah amalan yang diada-adakan tanpa ada contoh dari Rasulullah. Sedangkan Khurafat (ejaan lama: Churafat) adalah syirik yaitu mempercayai kekuatan lain selain Allah misalnya kuburan, batu, keris, dsb. Maka tak heran jika   muridnya mewarisi pendapat yang sama. Inilah cikal bakal gerakan pembaruan Kaum Muda di awal abad ke-20 itu. Tepatnya setelah para murid itu kembali dari belajar di Makkah.

Isu pembaharuan itu pada umumnya berkisar kepada 2 hal pokok yaitu perkara hukum agama versus hukum adat serta praktek Tariqat dalam perspektif ajaran Islam. Sebagaimana diketahui, ajaran Islam pertama yang masuk ke Ranah Minang adalah dalam versi ajaran Tariqat, sehingga ritual-ritual tariqat mewarnai praktik kehidupan keislaman sehari-hari orang Minang pada saat itu. Kaum Muda menilai sebagian dari praktik tersebut terjangkit penyakit TBC tadi sehingga perlu diluruskan. Akibatnya tak jarang terjadi gesekan dengan penganut faham Kaum Tua.  Gerakan pembaruan ini berkebetulan sejalan dengan gerakan Muhammadiyah yang juga sedang berkembang di Tanah Jawa. Itulah juga sebabnya mengapa Muhammadiyah bisa tumbuh subur di Ranah Minang. 

Pembaharuan lain yang dilakukan oleh para Inyiak diatas adalah metode pengajaran agama. Pembacaan kitab, riwayat maupun syair puji-pujian yang sebelumnya dibacakan dalam bahasa Arab, oleh para Inyiak kita tadi ditukar kedalam bahasa Melayu, agar dapat dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat. Inyiak Djambek adalah salah satu yang pertama melakukan hal ini di suraunya di Tangah Sawah Bukittinggi. Selain itu -berbeda dengan ulama terdahulu yang umumnya didatangi oleh masyarakat- para ulama Kaum Muda ini justru aktif mendatangi masyarakat dengan melakukan perjalanan tabligh ke mesjid-mesjid dan surau-surau di seantero Sumatera Barat. Tak heran nama mereka sangat dikenal masyarakat Ranah Minang pada saat itu, meskipun belum pernah bertemu secara fisik.

Dari kiri: Syekh HM. Thaib Umar Sungayang,
DR. H. Abdullah Ahmad,
DR. H. Abdul Karim Amrullah
Hal lain yang paling dramatis mendapat sentuhan pembaharuan adalah cara belajar agama Islam yang sebelumnya berbasis halaqah di surau, diganti dengan cara klasikal di dalam ruangan kelas. Berdirilah madrasah-madrasah "modern" yang pada gilirannya menjadi tujuan belajar santri dari seluruh penjuru nusantara. 

Inyiak Parabek mendirikan Perguruan Sumatera Thawalib di Parabek pada 1921. Inyiak Haji Rasul mendirikan Perguruan Sumatera Thawalib di Padang Panjang pada 1918. Haji Abdullah Ahmad mendirikan Perguruan Adabiyah di Padang pada 1909 serta Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada 1919. Inyiak Canduang mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Canduang pada 1926.

Kembali ke foto di awal tulisan, para murid yang berdiri di belakang guru-guru mereka memperlihatkan ciri pembaharuan itu. Mereka tidak memakai gamis dan surban, tetapi memakai peci dan kemeja serta jas dan pentalon. Bahkan ada yang berdasi dan bersepatu lokak. Pakaian seperti ini jugalah yang dipakai oleh H. Abdullah Ahmad dan H. Abdul Karim Amrullah pada saat menerima gelar Doktor dari Universitas Al Azhar Mesir pada tahun 1926, sehingga konon terjadi sedikit kehebohan karena pakaian mereka diluar "pakem" ulama saat itu.

Sebenarnya ambo sudah berusaha mencari dalam momen apa para ulama kharismatik ini berkodak basamo, tapi tidak berhasil. Dalam taksiran ambo, foto ini diambil sekitar pertengahan hingga akhir 1920-an, berpatokan kepada penampilan Inyiak Djambek yang terlihat berada pada umur pertengahan 60-an tahun. Yang pasti karena H. Abdullah Ahmad ikut didalam foto ini, artinya foto ini diambil sebelum tahun 1933, yaitu tahun berpulangnya beliau.

Terakhir, sebagaimana prinsip ulama dahulu bahwa ulama melahirkan ulama pula, setidaknya ada 2 ulama besar generasi berikutnya yang berasal dari keturunan para ulama di atas. Tabligh Inyiak De-Er atau Haji Rasul dilanjutkan oleh anaknya H. Abdul Malik Karim Amrullah yang populer sebagai Buya Hamka, sedangkan syiar Inyiak Daud diteruskan oleh putranya H. Mansur Daud yang kita kenal sebagai Buya HMD Dt. Palimo Kayo.



(Sumber: blogminangkabau.wordpress.com; ulama-minang.blogspot.com; thawalibparabek.tripod.com; 
               dpdpertisumaterabarat.blogspot.com; risalahislam.com; wikipedia)

6 komentar:

  1. memandang foto lama selalu mengundang tanya: momentum apakah?

    BalasHapus
  2. saya meragukan uraian diatas, dan keterangan foto yang sumbernya dari NKRI, indikasinya adalah Kebohongan Besar...
    https://www.facebook.com/photo.php?fbid=331092587051921&set=gm.354467364728697&type=1&theater

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Bia se lah Zulfa Hendra. Kapalonyo mungkin sudah taantuak...

      Hapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...