Selasa, 24 Mei 2011

Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian II

(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Kedua dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.

Bagi yang belum membaca Bagian Pertama silakan klik disini)


Gambar : Mesjid dan desa di kaki Gunung Singgalang
Kami menginap di Solok dan pergi lagi pagi-pagi. Beberapa kilometer selanjutnya kami menurun sepanjang Lassi, tapi kemudian sebuah ngarai sempit membuka, dan kami melalui terowongan sepanjang 800 sd 900 M. Kami memasuki lembah Sawah Loento.
Lapisan batu bara di Sawah Loento tersebar di area permukaan yang sangat luas sepanjang lembah sungai Ombilien. Hanya bagian selatan dioperasikan. Terbagi dalam tiga lapisan paralel, yang terendah dengan ketebalan 6 sampai 8 M. Batubara diambil dari tambang, lalu ditempatkan dalam gerobak yang ditarik oleh kerbau, untuk jarak sekitar 1500 m. Kemudian dipindahkan ke gerbong, untuk dikirim ke Emmahaven.
Kami berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan sempit dalam tambang. Di atas genangan lumpur hitam yang meliputi tanah, kerbau menarik kereta di atas genangan air. Mereka terlihat ketakutan dan bodoh. Dengan kepala menunduk, mereka segera kembali bergerak lambat, melangkah lebar-lebar, menumpukan berat di tanah, di atas air berlumpur.
Kami mengakhiri wisata tambang antara dua dinding hitam besar. Tentu saja meskipun panas gerah, kami senang ketika melihat matahari lagi. Para penambang, kebanyakan laki-laki Cina dan Melayu, masih terus melanjutkan pekerjaannya. Kebanyakan narapidana Melayu. Mereka rindu dengan matahari dan daerah dengan pemandangan yang luas. Sementara orang Cina menerima upah. Para buruh bekerja di bawah pengawasan pengawas, yang juga narapidana, tetapi kekuasaannya diakui oleh semua. Tidak sulit untuk memimpin para buruh miskin ini. Keterasingan, hukuman, dan demam telah menghancurkan kekuatan mereka, juga ketidakpedulian terhadap kebersihan. Dan hanya sesekali terjadi perkelahian, yang biasanya berakhir dengan pengadilan.
Penduduk disana semakin padat. Meskipun batubaranya berkualitas rendah, produksi dan penjualan meningkat setiap hari. Sekarang mencapai 18 000 ton per bulan dan hampir 3000 penambang bekerja di sana. Yang terakhir ini adalah pegawai negeri, dan juga mengoperasikan kereta api, sedangkan seorang insinyur bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh pekerjaan dan kegiatan di Emmahaven. Meski Sawah Loento berjarak 156 mil dari pelabuhan, dengan tanjakan lebih dari 58 mil langsung melalui Soebangpas, tetapi dipilih rute melalui Padang Padjang sehingga nantinya dapat dibantu dengan kereta dari wilayah Fort de Kock dan Pajacombo. Setelah kunjungan kami ke tambang tersebut, kami kembali ke Solok, untuk bermalam di situ.

Solok bukanlah sebuah kota melainkan sebuah desa besar. Tanah di sekitar itu baru sedikit yang digarap, dan peradaban belum seperti di Jawa. Hewan-hewan liar masih banyak. Kami melihat harimau muda yang tertangkap dua hari sebelumnya. Dia berada di belakang di taman dalam kandang berat, dan begitu ia melihat kami, dia melompat ke arah kerangkeng dan menyambut kami dengan “ramah”nya. Rasa lapar dan obat bius tidak merubahnya menjadi tenang. Dia gugup dan ia meregangkan ototnya, matanya berapi-api dan bibir terangkat, sementara gemuruh auman membosankan dari mulut yang terbuka, dan lubang hidung bergetar dengan keinginan pada bau daging manusia hidup.
***

Gambar : Desa antara Fort van der Cappelen (Batusangkar) dan Pajacombo
Kami menghabiskan delapan hari di Padang Bovenlanden dan sekarang siap untuk pergi lagi. Setelah perjalanan pertama kami ke Padang, kami akan tinggal disana hanya satu hari.
Kami menginap di Hotel Aceh. Sebuah bangunan persegi besar di panggung berdiri tegak di tengah alun-alun yang ditanami pohon. Sebuah beranda raksasa, dengan meja dan kursi goyang. Ruang makan ada di sisi lain dan koridor mengarah ke sana, menghadap ke kamar. Di kedua sisi dari gedung persegi terdapat kamar sempit panjang, di mana kita menginap. Dinding dan langit-langit terbuat dari kayu dan begitu panas, sedangkan suara-suara bisa terdengar dari satu ujung ke ujung lainnya. Tikus-tikus berjalan-jalan dan tampak tertarik pada kulit sepatu saya dan pakaian kanvas kami. Sepanjang hari itu hotel seperti mati. Jam lima baru ada gerakan. Semua orang berpakaian santai melewati tangga curam lambat-lambat dan pergi ke kamar mandi. Orang-orang mengenakan jaket putih pendek dan celana lebar kain Jawa dengan gambar hitam besar berwarna coklat atau biru. Para wanita yang terbungkus dalam sarung berwarna-warni, dalam berbagai tampilan bentuk, menuju kamar mandi.
Tapi tontonan tersebut tidak cukup untuk membuat kami bertahan di Padang, dan kami menyelesaikan persiapan untuk berangkat lagi dengan tergesa-gesa.
Kami tiba siang hari di Fort de Kock. Ia adalah ibu kota daerah atas, dan merupakan lokasi penempatan terbesar pasukan garnisun. Kota ini dibangun di tengah cekungan, dikelilingi oleh pegunungan tinggi di sebelah Barat, Selatan dan Utara. Ke arah Timur menurun ke daerah lembah Masang Sinamar dan dataran Pajacombo.
Tanahnya subur terdiri dari batu pasir yang relatif muda, lembut, dimana alur sungai mengikis mendalam, dan terutama di sebelah utara anda dapat melihat lembah besar dengan dinding curam di mana-mana. Pada awal abad ini daerah ini tertutup hutan lebatdi sisi lembah dan pegunungan, dan daerah ini lebih dari nyaman untuk perang gerilya dengan penyergapan dan pengkhianatan, yang begitu lama telah mengamuk.
Perang akhirnya selesai. Belanda telah menaklukkan. Kelompok-kelompok bangsa Minang telah mempertahankan tanah dan kepala mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah orang bebas. Mereka berbahasa Melayu, tetapi dengan nada keras. Dalam perjanjian perdamaian tidak ada kewajiban bagi mereka selain pemeliharaan jalan dan penanaman kopi. Mereka benar-benar tahu bahwa kemenangan sebenarnya ada di pihak mereka.
Mereka adalah petani terampil dan pedagang yang cerdas. Meskipun demikian, tidak terlihat kereta orang Cina untuk masuk ke dalam persaingan dengan mereka. Pada hari pasar terlihat garis panjang pribumi di sepanjang jalan yang sibuk.

Para pria memiliki kebanggaan diri, berdiri tegak dan mereka tidak menunduk ke bawah untuk merendahkan diri ketika bertemu dengan orang Eropa. Beberapa orang memegang sangkar burung di tangan dengan handuk di atasnya, . Mereka membawa burung katitiran, burung seukuran merpati, sebagai penjaga di hampir setiap rumah. Ia dipercaya membuat bisnis berhasil, melindungi keluarga dari penyakit tanaman dan kekeringan. Namun itu tidak berlangsung selamanya. Setelah empat tahun ia kehilangan semua kekuatannya, dan sampai batas waktunya tuannya akan berduka atas kematiannya. Tubuhnya diawetkan dan disimpan di atap rumah , dan sang tuan bergegas pergi ke pasar untuk membeli burung yang baru.
Hari pasar selalu menjadi hari yang sibuk. Ada kerumunan, bergerak bersama-sama. Kereta, kerbau atau sapi dimanfaatkan untuk berjalan. Di antara payung cantik besar warna-warni terlihat buah, gerabah, kain kapas, perhiasan dan kue. Ada buah raksasa, yang jelek baunya tergantung di pohon-pohon, yaitu durian, dengan duri tajam sepenuhnya dengan daging buah berwarna putih krem dan memerlukan keberanianuntuk mencicipinya. Ini tampaknya merupakan kehendak alam, yang menghasilkan , buah juicy dengan daging yang lezat namun memiliki bau yang mengerikan.
Selain itu ada mangga. Ia adalah sesuatu yang sehalus salju dan meleleh di mulut dan dingin, dengan rasa aneh yang harum . Dan kemudian ada adalah bertandan-tandang pisang, jeruk dengan ukuran besar, kelapa dan lain-lain.

Para pria berjongkok di bawah pohon melihat burung Katitiran, yang dipuji-puji oleh pedagang. Perempuan menjual minuman dan potongan aneh produk yang lengket, berwarna hitam atau merah, dan mereka membuat kopi dari daun kopi, yang digantung pada potongan bambu dan yang tersebar di tanah. Paket kecil tembakau coklat dibungkus daun enau juga dijual dan dipotong kecil-kecil, tipis, yang digulung oleh perokok sebagai rokok mereka. Di jalan terlihat laki-laki berjalan dengan kera besar di belakangnya, yang patuh mendaki pohon kelapa tinggi, untuk mengambil kelapa yang sudah matang.
.....................................
(Fakta menarik:
1. Batubara dikeluarkan dari dalam tambang dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh kerbau. Tambang yang beroperasi juga baru tambang dangkal dengan kedalam 6-8 meter.
2. Ternyata selain narapidana (orang rantai istilah di Minang umumnya), di tambang batubara juga banyak bekerja orang Cina, meskipun mereka menerima upah.
3. Kembali istilah Soebangpas muncul. Dimana ya?
4. Solok masih merupakan desa besar dengan binatang buas yang berkeliaran.
5. Fort de Kock atau Bukittinggi merupakan tempat konsentrasi pasukan garnisun Belanda terbanyak. Pasti hal ini berkaitan dengan Perang Padri.
6. Di Padang ada hotel yang bernama Hotel Aceh. Agak unik juga. Yang punya orang Aceh atau bagaimana? Soalnya rasa ke-Indonesia-an kan belum tumbuh waktu itu, sehingga agak kurang lazim menggunakan atribut daerah lain di suatu daerah. Biasanya malah nama Belanda, seperti Hotel Oranje.
7. Perang Padri selesai. Namun orang Minang hanya diminta memelihara jalan dan menanam kopi sebagai pihak yang "kalah". Meskipun akhirnya ada juga belasting atau pajak, bahkan sampai terjadi pemberontakan di beberapa daerah.
8. Meskipun ditaklukkan Belanda, orang Minang tidak kehilangan ke-PeDe-annya. Mereka tetap egaliter. Terbukti bahwa mereka tidak menunduk atau merendahkan diri ketika berpapasan dengan orang Eropa. Nada bicaranya juga keras. Maklum, orang Sumatera, bung!
9. Orang Minang diakui sebagai petani yang terampil dan pedagang yang cerdas. Bahkan orang Cina tidak berani bersaing di pasar (tradisional).
10. Orang Minang suka memelihara burung Katitiran sebagai penjaga rumah. Agak diragukan juga pendapat penulis bahwa burung Katitiran bagi orang Minang dianggap sebagai "juru selamat". Karena, agak berbeda dengan orang Jawa (tradisional), memelihara burung bukan sesuatu yang wajib bagi orang Minang.
11. Penulis sangat takjub dengan buah-buahan lokal seperti durian yang disebut "buah lezat berbau mengerikan" atau mangga yang disebut "selembut salju, lumer di mulut dengan bau wangi yang aneh." Alamak!
12. Orang Minang minum kopi yang dibuat dari daun kopi (kawa) dan merokok daun enau. Ini tentu karena biji kopi sudah habis dikirim ke Eropa semuanya oleh Belanda...)
--- Untuk melanjutkan ke bagian III silakan klik disini
(Sumber : www.gutenberg.org)

6 komentar:

  1. Terimakasih sanak, sangat menarik membaca kondisi Sumbar zaman belanda dahulu.

    Amri
    UAE

    BalasHapus
  2. Bung Amri : Sama2, mudah2an membuat selalu teringat kampuang nan jauh di mato. :)

    BalasHapus
  3. Soebangpass mungkin bukit subang, daerah tempat jembatan timbang kab. Solok sebelum masuk kawasan padang. Saya berpendapat demikian karena adanya tower STRGM(stasiun transmisi radio dan gelombang mikro) bukit subang di sana.

    BalasHapus
  4. Anonim : Nah, ini dia yang dicari2...! Yak, sepertinya memang itu dia. Pass maksudnya adalah celah, jadi Soebangpass adalah celah Subang, yaitu celah di bukit Subang. Memang kalau diperhatikan, celah itu sepertinya celah alam yang diperlebar menjadi jalan. Tarimokasih, bung Anonim..!!

    BalasHapus
  5. Seperti dikatakan bung Anonim diatas, buku Land en volk van Sumatra (1916) juga menyebutkan Soebang Pass adalah daerah sebelum Loeboek Soelasih (Lubuk Selasih) kalau dari arah Padang. Dan kalau saya tidak salah ingat, sebelum Lubuk Selasih kita akan melewati celah antara 2 bukit. Mungkin disana tepatnya letak Soebang Pass ini.

    Buku Land en volk van Sumatra (1916) juga banyak memuat deskripsi tentang penduduk dan geografi Minangkabau pada masa itu. Ini linknya http://www.archive.org/details/landenvolkvansum00lekkuoft jika bung ntonk tertarik.

    Chan.

    BalasHapus
  6. Bung Chan : Persis. Saya pun berpikir begitu sekarang. Awalnya kata-kata "Subang" di kepala saya cuma mengacu ke daerah di Jawa Barat. Tapi bung Anonim telah mengingatkan saya dengan nama "Bukit Subang" yang diperkuat lagi dengan data dari anda ini. Berarti tidak ada keraguan lagi ya? Terimakasih banyak, bung Chan!
    Btw, terimakasih juga atas link bukunya. Segera saya akan meluncur kesana...:)

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...