Senin, 18 Maret 2013

"Bintang-bintang" Greveplein (1931)


Foto di atas berasal dari koleksi Tropen Museum bertahun 1931. Dalam foto terlihat 2 buah bangunan yang merupakan icon dari suatu kawasan yang bernama Greveplein di kota Padang. Namun perjalanan waktu yang membuat nasib kedua "bintang" itu menjadi berbeda.

Begini ceritanya.

Greveplein. Artinya Lapangan Greve. Lokasinya ada di daerah Muaro - Padang sekarang. Di pinggiran Batang Arau.

Di kawasan Greveplein terdapat sebuah monumen berwarna putih yang berbentuk lengkung diatasnya, sepintas seperti jam antik. Adapun tulisan yang tertera di atasnya serta ukurannya belum dapat ambo peroleh sampai saat ini. Namun jika dibandingkan dengan postur orang yang berjalan di dalam foto, monumen ini kelihatan besar. Tetapi itu bisa juga disebabkan oleh efek sudut pengambilan foto dan jarak antara Mat Kodak dengan objek. Namun demikian dengan mengamati foto diatas ambo meyakini bahwa monumen ini cukup besar. 

Monumen ini bernama Monumen De Greve. Didirikan untuk mengenang Ir. W. H. De Greve, seorang insinyur tambang yang hasil penelitiannya pada 1867-1868 meyakinkan pemerintah kolonial bahwa tambang batubara di Ombilin sangat-sangat-sangat feasible untuk dieksploitasi. Dan hal itu memang terbukti sampai sekarang. Sayang, sang insinyur muda meninggal karena kecelakaan terseret arus Batang Kuantan pada saat ia melakukan penelitian lanjutan. Untuk mengenang jasa-jasanya, monumen dan taman atau lapangan ini didedikasikan seturut namanya. Monumen De Greve dan Greveplein.

Sekarang bangunan di depannya. Itu adalah kantor De Javasche Bank. Kantor ini dibangun sejak 31 Maret 1921 dan ditempati pada tahun 1925. Meskipun sebenarnya diskusi tentang pembangunan kantor ini sudah berlangsung sejak tahun 1912, sebagai rencana pengganti kantor lama di kawasan Nipaaland (Jalan Nipah sekarang) yang sudah ditempati sejak tahun 1864. Konon, berlarut-larutnya rencana pembangunan ini karena pemerintah kota enggan untuk menngeluarkan izin karena kawasan Greveplein sejatinya ditujukan untuk kawasan pelabuhan sungai dan laut, bukan perkantoran. Wah, jaman itu Masterplan kota dijaga begitu ketat rupanya.

Apapun itu, bangunan yang dirancang oleh Biro Arsitek  Hulswitt - Fermont - Cuypers Architechten & Engineeren akhirnya terwujud juga. Berkantorlah De Javasche Bank Padang di sana sejak itu. Pada 1 Juli 1953, De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia, sehingga gedung ini menjadi kantor Bank Indonesia Padang sampai tahun 1977. Setelah Bank Indonesia Padang menempati kantor barunya di Jalan Sudirman, gedung ini sempat dimanfaatkan oleh Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat atau yang dikenal sekarang sebagai Bank Nagari selama beberapa tahun.  Sempat tak berpenghuni selama beberapa lama, pada saat ini gedung ini dijadikan museum oleh Bank Indonesia dan terawat dengan baik.

Akhirul kalam, itulah kisah 2 bintang Greveplein dengan nasib yang bertolak belakang. Monumen De Greve dan Greveplein hilang dalam gelora revolusi. Bahkan Greveplein sekarang sebagiannya terletak di tapak sebuah jembatan yang melintas Batang Arau, yaitu jembatan Siti Nurbaya. Sebagian lain berada di kolong jembatan itu.  Sementara di sisi lain, Gedung De Javasche Bank tetap terjaga karena kepedulian sekelompok anak bangsa, dalam hal ini adalah Bank Indonesia.

Sumber : Tropen Museum; redseahawk.blogspot.com; wikipedia


5 komentar:

  1. Bangunan De Javasche Bank di Muaro ini sudah lama menarik perhatian saya, tapi karena awak takabek dinagari urang sampai sekarang niat mengunjungi dan melihat lihat detailnya masih tinggal niat. Karena sasakali saat pulang barayo ingin singgah, gedung ini tutup..

    Bangunan ini contoh bagus untuk neo-classical dan art-deco style yang sedang trend di awal awal abad 20. Saya pernah membaca bahwa semua jendelanya ditutupi dengan kaca patri (stained glass) yang sangat indah. Apakah setelah jadi museum BI sekarang kondisi itu direstorasi seperti semula ? Mengingat terakhir saya melihat (dari luar) jendelanya hanya ditutupi dengan kaca biasa. Sayang seribu sayang kalau stained glasses itu tidak ada lagi. Priceless items !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uda Jasrial ini sepertinya seorang arsitek ya.

      Memang saya juga pernah membaca hal itu. Sayangnya renovasi yang dilakukan oleh BI hanya terbatas kepada struktur tapi tidak meliputi ornamen. Mungkin karena niatnya hanya mengkonservasi apa yang ada saja atau memang karena unsur ketidaktahuan sejarah. Padahal secara finansial BI pastinya mampu untuk itu.

      Poinnya adalah kaca patri itu sudah tidak ada. Hanya kaca biasa...:(

      Hapus
  2. Wah... sekolah pastor dengan atap gonjong ! Beneran sekolah pastor nih ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah sesat letak komennya ni pak...

      Bytheway baru baru ini saya berkunjung ke Museum BI yang di Jakarta, jendelanya juga ditutupi kaca patri yang indah indah. Apakah itu hasil restorasi atau memang kaca patrinya masih utuh semua ?

      Setuju dengan uda ntonk, ka bara bana lah di BI untuak marestorasi kaca patri di museum yang di Padang ko :D

      Hapus
    2. Hehe saking terkejutnya jadi salah kamar. :)

      Kalau untuk yg di jkt saya ndak tau ceritanya uda Ardi. Kalau untuk di padang harusnya ndak terlalu susah untuk merestorasinya. Di Padang Panjang masih banyak artis kaca patri ini. Tinggal motif aslinya saja lagi yg harus dicari. Untuak contoh.

      Hapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...