Sabtu, 20 Juli 2013

Noni Belanda van Anas Familie (1935)


Dua orang gadis dari Sumatra Westkust dengan berpakaian ala Barat ini berkulit sawo matang. Yang satu mengingatkan kita kepada wanita Belanda pada abad ke -19 sedangkan yang satunya berpakaian seperti mayoret, lengkap dengan tongkatnya.

Pada tahun 1935, kedua gadis minang ini berpakaian 'melampaui jamannya' untuk ukuran gadis lokal. Agak 'ganjia'.  Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian orang pada masa itu, bangsa Belanda adalah contoh atau role model. Terutama bagi yang berpendidikan Belanda. Roman Salah Asuhan dari Abdul Muis adalah potret yang tepat untuk itu.

Melihat catatan foto bahwa foto ini merupakan koleksi dari Djoesa Anas, maka 'keganjilan' dalam foto diatas dapat dipahami. Djoesa Anas adalah istri dari dokter Anas, Direktur Rumah Sakit di Payakumbuh saat itu. Keluarga ini terkenal ke-belanda-belanda-an. Bahkan setelah kemerdekaan, dr. Anas dan keluarganya memilih untuk hijrah ke negeri Belanda dan menetap disana selamanya.

Informasi yang ada tentang dr. Anas hanya sepotong-sepotong. Ia dan istrinya, Djoesa, berasal dari Kotogadang, meskipun ada informasi lain yang menyatakan bahwa Djoesa Anas adalah anak Angku Lareh Sungai Pua di Agam. Ibu dr. Anas bernama Jamilah dan ayahnya berdarah Jawa, namanya Atmo Wisastro yang konon masih termasuk trah Sultan Hamengku Buwono 1. Sumber lain menyatakan bahwa ia masih keturunan panglima perang Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo. 

Di rumahnya di Payakumbuh pernah menginap Bung Hatta, Rosihan Anwar, dan Abdul Muis. Pengarang roman Salah Asuhan itu adalah ipar kontan dr. Anas karena mengawini kakaknya, Nuriah, yang mati muda. Artinya tidak tertutup kemungkinan bahwa roman Salah Asuhan diilhami oleh gaya hidup keluarga ini.

Foto-foto keluarga dr. Anas, termasuk foto disamping ini, telah diserahkan ke KITLV Leiden. Foto ini diambil waktu resepsi pernikahan anaknya Nadia Anas dengan R. Budi Hartono di Den Haag pada bulan Maret 1966. Perempuan yang berkebaya dan berselendang yang duduk itu adalah Ibu Djoesa Anas, dan pria berkacamata dan memakai jas yang duduk di sebelahnya adalah dr. Anas, suaminya.

Memang hidup adalah sebuah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki alasan. Termasuk alasan 2 'noni' diatas berpakaian seperti itu. Juga alasan keluarga dr. Anas memilih menjadi orang asing di negeri asing daripada menjadi 'orang asing' di negeri sendiri...

(Sumber: KITLV, niadilova.blogdetik.com)

10 komentar:

  1. Kalau ndak salah ingek ambo pernah mambaco dr. Anas ko pernah berencana mendirikan negara Minangkabau. Tapi karena negara Minangkabaunya berinduk kepada negara Belanda, ide angku dotor ko tidak diacuhkan orang.

    Urang lain lah payah payah ka merdeka, inyo malah mintak dijajah baliak...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Tolong jangan membuat blog sembarangan tanpa ada sumber yang pasti

      Hapus
  3. Saya lebih percaya cerita di blog ini ketimbang keterangan org yg ngaku2 sbg keluarga dr. Anas di atas (m fyandie).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...