Sabtu, 13 Juli 2013

Paviliun Minangkabau di Semarang (1914)


Pada akhir abad ke-19 muncullah trend baru di kalangan negara-negara penjajah di seluruh dunia untuk menyelenggarakan pameran tentang segala hal yang ada di daerah jajahan masing-masing. Pameran ini bersifat internasional dan bertujuan untuk meningkatkan hubungan dagang antar negara serta untuk saling memperoleh dukungan. Dalam hal jajah-menjajah tentunya. 


Belanda tentu tidak mau ketinggalan dengan negara-negara kolonial lain seperti Inggris dan Perancis atau Portugal. Mereka juga ikut menyelenggarakan sebuah expo internasional yang dihelat di Semarang selama 3 bulan pada 22 Agustus sampai 22 November 1914. Tidak begitu jelas bagi ambo kenapa yang dipilih Semarang dan bukan Batavia. Mungkin untuk lebih mendekatkan pengunjung pada suasana 'daerah'? Bisa jadi.


Tak main-main, expo bertajuk Koloniale Tentoonstelling ini termasuk salah satu yang terbesar sejagat pada era 1910-1920. Tujuannya adalah untuk 'memberikan gambaran terkini tentang kemajuan Hindia Belanda'. Menilik bentuk gerbangnya saja sudah cukup untuk menggambarkan skala pameran yang oleh orang Semarang disebut sebagai Pasar Malam Sentiling ini. Tentu karena lidah melayu membaca 'Tentoonstelling' berbeda dengan lidah bule.

Selain itu ternyata expo ini sekaligus juga bertujuan untuk memperingati 100 tahun lepasnya Belanda dari kekuasan Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Sungguh sebuah ironi karena kemerdekaan dari penjajah justru diperingati di negara jajahan. Whew.

Sumatra Westkust dengan budaya Minangkabau-nya yang unik serta alamnya yang indah tentu tidak ketinggalan dipamerkan pada expo ini. Paviliun Sumatra Westkust antara lain berisi rumah adat Minangkabau sebagaimana terlihat pada foto koleksi KITLV paling atas.

Sayangnya, dimata ambo bangunan itu lebih terlihat sebagai rumah adat batak daripada rumah adat minang. Bisa jadi karena yang mengerjakan adalah 'tukang jawa' sehingga tidak bisa membuat bentuk gonjong yang manis. Karena memang untuk gonjong ini tidak semua tukang -di ranah Minang sekalipun- bisa membuatnya dengan baik. Ada teori-teori khusus di dalam pengerjaannya. Kalau tidak pas paretongannyo, bisa aneh bentuknya.

Selain itu bisa jadi itu memang foto rumah adat batak. Tetapi sang juru foto atau si pembuat catatan foto (caption) yang tidak bisa membedakan mana rumah adat batak dan mana rumah adat minang. Maklumlah, informasi pada saat itu sangat terbatas..

(Sumber: KITLV, baltyra.com, wolfsonian.org, wikipedia)


3 komentar:

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...