Kamis, 19 Desember 2013

Awal Misi Zending di Padang (1820 - 1901)


Heboh pro-kontra terhadap investasi yang diduga bermuatan kristenisasi di Ranah Minang beberapa bulan  terakhir membuat ambo berpikir untuk menoleh kebelakang.

Kelompok  yang kontra-investasi berpegangan kepada adagium "mancari sabalun hilang, maminteh sabalun hanyuik, alun takilek lah takalam, takileh ikan dalam aia alah tantu jantan jo batinonyo" (mencari sebelum hilang, mengejar sebelum hanyut, sebelum kilat tapi sudah gelap, berkelebat ikan dalam air sudah ketauan jantan atau betina). Kata lainnya adalah "mencegah lebih baik daripada mengobati".

Sementara kelompok yang pro-investasi menjawab dengan ucapan, "Manga cameh jo kristenisasi? Urang awak urang nan kuat agamonyo. Salamo ko awak dijajah Balando, alah bara baru urang awak nan murtad?" (Kenapa cemas dengan kristenisasi? Orang kita orang kuat beragama. Selama ini kita dijajah Belanda, sudah berapa sih orang kita yang murtad?).

Pikiran ambo berputar: bisakah sejarah menjawab hal ini? Ternyata ada beberapa hal yang ambo temukan.
 
Niniak kita dahulu menyebut istilah "Misi Zending" untuk menyebut para penginjil kulit putih yang datang ke negeri kita. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena "Misi" dan "Zending" merujuk kepada dua hal yang berlainan. "Misi" mengacu kepada penyebar agama Katolik Roma sedangkan "Zending" mengacu kepada penyebar agama Protestan. Untuk diingat bahwa Belanda umumnya beragama Protestan. Karena itu dari catatan sejarah terlihat bahwa aktivitas zending lebih mengemuka pada zaman kolonial dibanding misi. Hal ini tentu dapat dipahami. 

Padang sebagai sebuah kota metropolitan di Sumatera pada masa itu tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi misi zending, meskipun sebenarnya umat kristiani sudah ada di Padang sejak 1679 yaitu orang-orang VOC dan pedagang bangsa asing  yang bertugas di Padang. Namun mereka tidak menyebarkan agamanya, baik karena larangan dari pemimpin lokal setempat maupun karena larangan dari pemerintah kolonial. 

Alasannya berbeda. Kalau pemimpin lokal alasannya tentu terkait dengan fakta bahwa orang Minang sudah memeluk islam sejak abad ke-16 Masehi. Sedangkan pemerintah kolonial melarang dengan alasan agar tidak terjadi konflik di tengah masyarakat. Sebab kalau ada konflik, mereka sendiri yang bakalan repot. Hal ini sejalan dengan salah satu motto pemerintah kolonial  yaitu menjaga algemene rust en orde (ketentraman dan ketertiban umum).

Baru pada saat pemerintahan Inggris (interragnum) antara 1811 sampai 1825, Raffles memberikan izin yang memungkinkan beberapa pekabar Injil bekerja di pantai barat Sumatera.

Pada tahun 1820 tiga pekabar Injil dari aliran Baptis di Inggris memasuki daerah ini. Mereka adalah Ward yang pergi ke Bengkulu, Evans ke Padang dan Burton ke Sibolga. Misi ini dikabarkan gagal dengan pulangnya ketiga orang tersebut dari daerah tugas masing-masing. Namun Nathaniel Ward tetap bertahan di Padang dan menghabiskan waktunya dengan menerjemahkan injil. Meskipun demikian tidak ada catatan soal jemaat yang berhasil dihimpunnya.
.
Setelah Belanda berkuasa kembali, aturan soal rust en orde kembali diberlakukan. Diantara yang tidak diberi izin adalah misionaris katolik P. Candall di Padang tahun 1830 dari serikat MEP Perancis. Meskipun demikian pada tahun 1837 telah terdapat pastor pertama yang bermukim di Padang bersama dengan orang Katolik yang terdiri atas tentara Belanda, pegawai sipil dan peranakan indo serta beberapa orang Tionghoa. Tidak ada catatan soal jemaat yang berasal dari pribumi.

Terkait dengan pemberian izin itu, belakangan pemerintah kolonial melegalkannya didalam Regerings Reglement (Peraturan Pemerintah) Tahun 1854 pasal 123,  yang kemudian ditegaskan kembali dalam Indische Staatsregeling tahun 1925 pasal 177 yang berbunyi : (1) Guru-guru agama Kristen, pendeta dan zendeling harus ada ijin masuk yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk mengerjakan tugasnya dalam suatu daerah tertentu di Hindia Belanda. (2) Jika ijin masuk itu dianggap berbahaya atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditaati, ijin itu dapat ditarik kembali oleh Gubernur Jenderal.

Salah satu maksud dari  RR 1854 ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi konflik akibat dubbele zending (adanya dua badan zending yang bekerja pada satu kawasan). Selanjutnya lagi, seiring dengan terbitnya RR 1854 ini, Sumatera Barat, Banten, Bali dan (belakangan) Aceh, dinyatakan tertutup untuk misi zending. Tak lain tak bukan tentu dalam kaitannya menjaga rust en orde tadi. Sumatera Barat, Banten dan Aceh dianggap sebagai daerah muslim, sedangkan Bali dianggap sebagai daerah Hindu. Menjalankan misi zending di daerah-daerah tersebut bisa memancing konflik antar pemeluk agama. Bisa rusak rust en orde.

Akibatnya jelas. Misi zending tidak bisa berjalan di Sumatera Barat karena izin untuk itu tidak pernah diberikan oleh pemerintah kolonial. Padang sebagai kota besar pada waktu itu hanyalah menjadi tempat mengambil ancang-ancang bagi para misi zending sebelum bergerak ke utara. Tanah Batak (kecuali bagian selatan yang telah diislamkan oleh Tuanku Rao), dianggap sebagai ladang yang subur untuk misi zending karena penduduknya masih memeluk agama nenek moyang yang menyembah batang kayu dan sejenisnya. Untuk yang satu ini pemerintah kolonial memberikan izin, bahkan menyokongnya.

Diantara nama-nama beken yang memulai langkahnya dari Padang antara lain  G. van Asselt dari jemaat Ermelo dari Belanda yang mendarat di Padang pada Desember 1856 dan akhirnya menetap di Sipirok. Selanjutnya Lidwig Ernst Denninger yang mendarat di Padang pada 21 Nopember 1861,  yang semula ditugaskan ke Barus tapi akhirnya memutuskan ke Nias karena berkenalan dengan orang Nias sewaktu ia menetap sementara di kawasan Kampung Cina Padang karena istrinya sakit. Selain itu ada Ludwig Ingwer Nommensen yang  tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang,  yang pada akhir hayatnya mendapat julukan sebagai Rasul Orang Batak karena berhasil membaptis 180.000 orang dan mendirikan cikal bakal gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Ada lagi August Lett yang menjalankan misi zending ke Mentawai pada 1901, namun akhirnya tewas terbunuh disana pada 1909.

Ada baiknya juga kita lihat biografi seorang misi zending dari Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang juga memulai langkahnya dari Padang yang dicuplik dari buku karangan George Munson berjudul More Than Conquerors, terbitan Teach Services, New York tahun 2007 

.............

Ralph W. Munson dan istrinya, Carrie
Pada akhir 1899, Ralph Waldo Munson bersama istri dan kelima anaknya tiba di pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur sekarang), menumpang kapal Prins Hendriks, dari pelabuhan New York 11 November 1899, untuk memulai misi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia. Mereka dikirim oleh Kantor Konferens Michigan atas biaya sendiri untuk bekerja ke tengah-tengah orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Memilih kota Padang sebagai sasaran pekerjaannya mengingat seorang muridnya waktu ia masih seorang pendeta Methodist di Singapura, bernama Tay Hong Siang, berasal dari Sumatera Barat yang tinggal di Bukit Tinggi. Alasan lain ia memilih kota Padang adalah sehubungan larangan pemerintah Hindia Belanda kepada orang-orang asing memasuki wilayah jajahan kecuali atas izin khusus, dan daerah yang telah dimasuki zending tidak boleh dimasuki zending baru. Dan kota Padang sebagai salah satu ibukota pemerintahan Belanda waktu itu belum dimasuki zending Eropa, sekalipun sudah ada orang Kristen di sana sejak zaman VOC.

Kemudian sewaktu menjadi seorang misionari Gereja Methodist di Singapura, ia mendengar orang-orang Batak telah  membunuh salah seorang dari keluarganya, yaitu Samuel Munson yang mengadakan ekspedisi ke Tapanuli beberapa puluh tahun yang lalu.  Semangat missionarinya yang menyala telah mendorong dia sekali waktu untuk datang ke tengah-tengah suku Batak itu dan mempertobatkan mereka, dan kota Padang sebagai sasaran pertamanya merupakan langkah awal sebelum memasuki Tapanuli kemudian hari.

Keluarga Munson di depan rumahnya di Padang
Setelah tiba di Padang,  ia membeli sebidang tanah yang di atasnya telah berdiri dua rumah tua dan satu bangunan sekolah. Uang membeli tanah dan bangunan itu ia bawa dari Amerika sebagai persembahan khusus pada waktu perkemahan yang diselenggarakan Konferens Michigan sebelum keberangkatan keluarga Munson ke Indonesia. Mereka tinggal di rumah itu, dan di sanalah ia membuka sekolah bahasa Inggris buat anak-anak Tionghoa, dan membuka kelas-kelas bahasa Inggris privat kepada pedagang-pedagang Belanda.

Beberapa hari kemudian Munson bertemu dengan Tay Hong Siang. Ia pun dibaptiskan. Dengan perantaraan Tay Hong Siang, Munson diperkenalkan kepada seorang Tionghoa yang lain yang amat berpengaruh di kota Padang, dan orang itu adalah paman Tay Hong Siang yang kemudian meninggalkan penyembahan berhala-berhalanya setelah dibaptiskan oleh Pdt. Munson sebagai buah sulung kota itu.

Tanggal 1 Maret 1900, dengan resmi Munson telah memperoleh izin dari pemerintah Belanda untuk pengoperasian sekolah bahasa Inggris itu, dan 53 orang murid telah terdaftar untuk kelas siang dan 15 orang belajar malam, dan 3 murid tinggal bersama keluarga Munson yang belajar malam harinya. Sekolah ini telah menjadi sumber pendapatan keluarga Munson sekaligus untuk menunjang biaya penginjilan.

Di dalam suratnya kepada kantor Adventist Review and Sabbath Herald (yang dimuat dalam volume 77, tanggal 22 Oktober 1900, hlm 685),  Ralph Munson menceritakan masalah-masalah yang dihadapinya antara lain izin kerja yang tidak dapat diperoleh dari pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan agama, agama mayoritas yang amat berpengaruh, dan dana yang amat terbatas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan melayani masyarakat.

Selanjutnya beberapa orang Tionghoa didekati, diadakan kebaktian di rumah Munson pada hari Sabtu dan Minggu. Setahun kemudian Munson telah membaptiskan dua orang kepala keluarga Tionghoa, dan 20 orang lagi sedang belajar.

Di dalam laporannya tanggal 6 Juli 1901 ke Australia, tempat pusat pengawasan gereja untuk wilayah Hindia Belanda, Munson melaporkan 8 orang dewasa telah dibaptiskan dan 3 orang lagi sedang mengikuti kebaktian. Di dalam suratnya kepada E.H. Gates, Ketua Uni Konferens (Union Conference) Australia, ia menceritakan tenang kemajuan pekerjaan di Padang dan ia memohon bantuan dana untuk mencetak risalah dan juga tenaga pendeta dari Australia.

Menyambut surat Munson itu, E.H Gates menyampaikan kabar melalui surat yang menyatakan bahwa 60 poundsterling telah dikirim untuk mencetak risalah dalam bahasa Melayu. Dengan dana itulah Munson mencetak risalah keagamaan.

Dari Padanglah kemudian Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh meluas ke Medan, dan ke pulau Jawa.

............

Nah, kembali ke kaji awal, dari catatan sejarah tadi terlihat bahwa  tidak berjalannya misi zending di Sumatera Barat bukan semata karena penolakan oleh masyarakat setempat saja, tetapi juga karena tidak diberi ruang gerak oleh pemerintah kolonial, terutama dalam hal perizinan. Ini terbukti dengan isi surat dari Pdt. Munson yang menyatakan bahwa ia tidak mendapat izin untuk  mengembangkan agama di Padang. Meskipun demikian, dari biografi Munson juga kita bisa membaca bahwa misi zending tetap berjalan (meski hanya untuk warga Tionghoa) melalui metode pembelajaran di sekolah. Terbaca juga bahwa misi zending tetap saling terhubung satu sama lain, termasuk soal pendanaan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial dalam RR 1854 beserta turunannya -termasuk menjadikan daerah Sumatera Barat sebagai daerah tertutup bagi misi zending- sedikit banyaknya telah ikut berperan dalam 'mengamankan' Ranah Minang dari apa yang dikenal sekarang sebagai kristenisasi. Efek langsung dari kebijakan itu adalah lenyapnya potensi konflik yang bernuansa keagamaan.

Kini, disaat ranah berkecamuk didera soal isu kristenisasi -yang cenderung memecah belah masyarakat- perlukah kita belajar lagi ke masa lampau soal bagaimana membuat peraturan dan kebijakan yang tidak mengusik ketentraman dan ketertiban umum? Atau mesti kita agendakan dulu kunjungan kerja dan studi banding ke perpustakaan Leiden untuk membolak-balik kitab-kitab tua guna dapat memahami arti algemene rust en orde?

(Sumber: filadelfiaministry.wordpress.com; keuskupanpadang.org; sejarah.co; bnkpshalom.wordpress.com; googlebooks: Ragi Carita 1 dan 2 (Th. van den End), Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jan S. Aritonang); zavage.nl; haluanriau.com; wikipedia)

5 komentar:

  1. Top markotop infonyo 'Ntonk.... kito tunggu info berikutnya...

    BalasHapus
  2. Mantap infonyo bung...semoga bisa manjadi pemicu para akademisi minang utk melakukan kajian nan labiah konfrehensif.

    BalasHapus
  3. Cukup komprehensif, dan saya yakin tidak banyak yang tau tentang hal ini.

    Two Thumbup!

    BalasHapus
  4. Alah panjang leba tu om jabarannyo..kesimpulannyo kristenisasi macet di ranah minang...nan partamo penolakan dari masyarakat...nan ka duo indak ado izin dari penguasa....alah tu....pacik sajo itu.....tp kalau penguasa ma izin kan...alamaik ba cakak banyak kito sarumpun minang

    BalasHapus
  5. Raflles antara 1811-1816,, 1825 sudah masuk masa tanam paksa Van Den Bosch bearti ke Belanda lagi

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...