Selasa, 03 Desember 2013

Pasar Kuda (1900-1940)


Sederetan kuda terikat berjajar sambil diikat muncungnya, meskipun tidak dicucuak hidungnya seperti sapi atau kerbau. Di kening para kuda tertempel nomor urut. Sebagai contoh, kuda yang menghadap kamera, di jidatnya tertempel nomor 7. Mungkin dia kudanya James Bond..:)

Sementara di belakang kuda-kuda itu berdiri mematut-matut segerombolan orang berpakaian berbahan kain (belacu?) berwarna terang, bercelana tanggung, dengan kain sarung disampirkan ke bahu atau dililitkan di kepala. Khas jaman kolonial. Agak mengambil jarak nampaknya. Mungkin takut kena sipak balakang para kuda.

Itulah sekelumit gambaran sebuah foto koleksi Tropen Museum yang berjudul "Pasar Kuda di Sungailiman" bertahun antara 1900-1940. Tak jelas betul dimana itu Sungailiman. Apakah mungkin maksudnya Sungai Limau, Pariaman, tentu kita harus bertanya kepada orangtua-orangtua disana apakah benar di sana dulu pernah ada pasar khusus jual beli kuda.

Terlepas dari soal itu,  foto ini menjadi menarik karena saat ini kita rasanya hampir tidak pernah lagi mendengar adanya pasar sejenis ini. Yang tinggal lagi hanya pasar ternak yang menjual sapi, kerbau dan kambing. Sekali-sekali terdengar juga ada bisik-bisik di kalangan terbatas, khususnya para peminat buru babi, bahwa ada juga pasa taranak khusus anjing pemburu. Meskipun terkesan underground karena jual beli anjing dianggap sebagai sesuatu yang kurang elok di mata umum.

Lenyapnya pasar kuda tentunya seiring dengan menurunnya peran kuda dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minang. Setidaknya ada beberapa jenis kuda yang akrab terdengar di telinga orang Minang sejak jaman dulu, Uniknya hal itu tidak ada hubungan sama sekali dengan jenis rasnya. Meskipun dulu Payakumbuh menjadi salah satu sentra peternakan kuda terbesar di Hindia Belanda, orang Minang tetap tidak begitu akrab dengan nama-nama ras kuda. Orang Minang malah membagi jenis kuda berdasarkan fungsinya.

Pertama, kuda pacu. Kuda yang badannya tinggi berdegap, makannya dan kesehatannya terjaga, ras pilihan. Keluarnya hanya sesekali, untuk melepas penat di kandang atau memang untuk bertanding.

Kedua, kuda beban. Kuda yang berfungsi sebagai sarana transportasi. Kalau dalam postingan terdahulu kita pernah mengumpamakan pedati yang ditarik oleh kerbau sebagai truk jadul, maka kudo baban itu ibarat mobil pick-upnya. Kapasitas angkut kecil.

Kudo Baban dari Solok (1900-1940)
Ketiga, kuda bendi. Biasanya adalah mantan kuda pacu yang sudah afkir. Dia masih dimanfaatkan karena tenaganya -yang masih cukup kuat itu- masih bisa dimanfaatkan untuk menarik bendi beserta beberapa orang penumpang diatasnya. Tapi yang kacau kalau si kudo bendi ex kudo pacu ini teringat nostalgia lama ketika berada di pacuan pada saat penumpang sedang sarat. Bisa terjengkang semua lantaran bendinya ngebut.

Keempat, kuda sawah. Inilah kuda yang sudah jatuh harga dirinya. Sehari-hari kerjanya cuma bermain lumpur di sawah. Tidak jelas juga apa memang kuda dulu pernah dipergunakan untuk membajak sawah atau bagaimana, sehingga muncul istilah ini. Yang jelas, istilah kudo sawah mengacu kepada istilah 'orang atau barang yang tak masuk hitungan'.

+ Lai lasuah main bola cako du? (Asik ga maen bolanya tadi?)
- A nan ka lasuah, nan main kudo sawah sansai sen... (Gimana mau asik, yang maen kuda sawah semua...)

Tapi, boleh-lah jadi kudo sawah asal jangan jadi kudo patah. Dijamin langsung jadi dendeng barang tu...:))

(Sumber: Tropen Museum)

1 komentar:

  1. Baidewei melihat baris baris terakhir post diatas, sepertinya uda ntonk ini rang bukik ya ?

    Iyo du da ?

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...