Sabtu, 07 Desember 2013

"Penemu" Pucuak Parancih (1798-1880)

Catatan si Ntonk: Tulisan ini bersumber dari buku Pak Rusli Amran Plakat Panjang (1984). Salah satu dari beberapa karya beliau yang pernah kita singgung dalam postingan terdahulu. Yang susah adalah mencari foto/lukisan orang yang dimaksud Pak Rusli itu. Karena peristiwa paling populer yang menyangkut orang tersebut -yaitu peristiwa penangkapan Tuanku Imam Bonjol- mungkin tidak sepopuler peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Sehingga tidak ada dokumentasi visual tentang hal tersebut, termasuk orang-orang yang terlibat. Ditambah lagi Ranah Minang tidak punya pelukis sekaliber Raden Saleh Syarif Bustamam yang bisa menggambarkan peristiwa penangkapan Tuanku Imam Bonjol seperti lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Halah. Jadi kemana-mana ceritanya. Singkatnya, foto yang dicari akhirnya ketemu juga dan bisa menghiasi laman ini. Oke, selamat menikmati tulisan Pak Rusli Amran dibawah!

Emanuel Francis dengan medali "Singa Belanda"-nya
Siapa yang tak kenal dengan sayur “pucuk parancih”. Sayuran tersebut merupakan salah satu jenis sayuran yang umum ditemukan pada masyarakat Minang. Sayuran tersebut berasal dari pucuk daun ketela pohon. Sungguh unik, jika masyarakat lain hanya mengambil umbinya untuk dimakan tapi bagi masyarakat Minang daunnya pun dapat dijadikan sayur. Mengenai penamaan pucuk parancih, berkenaan dengan nama Francis yang dieja dengan francis atau parancih dalam lidah orang Minang.

Siapakah Francis itu? Emanuel Francis, begitu nama lengkapnya, merupakan Residen (sekarang Gubernur) Sumatera Barat pada tahun 1834. Sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Asisten Residen (Wagub) Sumatera Barat dengan Residennya De Stuers.

Francis sebenarnya orang Inggris tulen yang lahir di India. Dia kemudian menikah dengan orang Belanda. Riwayat hidupnya cukup menarik. Pada usia yang masih muda dia  menjadi seorang pelaut. Kemudian menjadi juru tulis pada kantor dagang Inggris di Banten (1815). Dia pindah haluan dengan mengabdi pada pemerintah Hindia Belanda. Selama di pemerintahan dia sudah beberapa kali ditugaskan ke beberapa daerah seperti Banten, Kalimantan, Palembang, Makassar, Bengkulu, Timor,  Sumatera Barat, Rembang, Madiun dan Manado. Jabatan tertingginya adalah Inspektur Keuangan. Setelah pensiun dia masih diminta untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) selama 12 tahun. Prestasi cukup hebat untuk orang Inggris di pemerintahan Belanda.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch, mengangkat Francis sebagai Residen Sumatera Barat karena pengalamannya. Pada waktu itu Belada dalam kondisi terjepit akibat Perang Paderi dan Perang Diponegoro. Batavia memutuskan cara lunak untuk menaklukan Sumatera Barat dengan mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang merupakan pernyataan Batavia yang mengakui keberadaan pemerintahan dan peradilan adat di Sumatera Barat. Belanda berjanji tidak akan memungut pajak dan memberi gaji kepada para penghulu. Plakat ini dikeluarkan  untuk mengantisipasi serangan kaum paderi yang telah bergabung bersama kaum adat.

Francis begitu percaya terhadap isi plakat Panjang tersebut tanpa mengetahui itu hanya akal-akalan Batavia semata. Selama di Padang, Francis aktif melakukan pendekatan terhadap pemberontak. Dia bahkan berhasil membujuk Tuanku Imam Bonjol untuk menyerah. Bahkan Francis sendiri memberi jaminan bahwa Tuanku Imam tidak akan dibuang dari kampungnya. Namun karena permainan pihak tentara, Tuanku Imam malah dijebak dan dibuang. Francis membujuk Batavia agar Tuanku Imam cukup dibuang ke Batavia saja. Namun oleh Batavia malah dibuang jauh sampai ke utara Sulawesi. Sikap Batavia yang demikian membuat Francis sangat malu. Dia melihat bagaimana Tuanku Imam diperdaya dengan cara yang sangat kotor.

Mengenai sayur pucuk “parancih” tadi, sewaktu menjadi Residen Francis berusaha mencari simpati masyarakat. Dia membawa ubi ketela pohon untuk dibudidayakan di Padang. Namun oleh masyarakat Minang daunnya juga dimanfaatkan sebagai sayuran. Untuk mengingat bahwa tanaman tersebut diusahakan oleh Francis maka masyarakat menyebutnya sayur “prancis” atau “parancih”.

(Sumber:  harmanza.wordpress.com; wikipedia.nl; camerama.demon.nl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...