Kamis, 21 Agustus 2014

Benteng van der Capellen (1824)


Baron van der Capellen
Kalau di Bukittinggi ada benteng peninggalan Belanda, Fort de Kock, mungkin hampir setiap orang tahu. Apalagi benteng Fort de Kock dengan strategi pariwisata yang cerdas disatukan dengan Kebun Binatang Taman Marga Satwa Bundo Kanduang melalui sebuah jembatan gantung yang bernama Jembatan Limpapeh. Akibatnya pengunjung seperti beli satu dapat dua. Efeknya kedua objek wisata itu menjadi semakin populer.

Berbeda dengan benteng kolonial yang ada di Batusangkar, Fort van der Capellen. Mungkin generasi sekarang (kecuali yang tinggal di Batusangkar) merasa asing dengan nama ini. Padahal kedua benteng dibangun pada masa yang hampir bersamaan dan dengan tujuan yang sama pula, yaitu sebagai pusat komando serdadu Belanda dalam Perang Paderi.

Hal ini dapat dimaklumi karena tidak seperti "saudaranya" di Bukittinggi, benteng van der Capellen selama puluhan tahun digunakan sebagai kantor aparat militer dan kepolisian yang terkesan "garang". Hal ini bisa jadi menjadi salah satu faktor yang mengaburkan memori kolektif masyarakat tentang sejarah dan keberadaan benteng ini.

Sejarahnya bermula dari konflik terbuka berupa peperangan fisik antara Kaum Adat dan Kaum Agama (Paderi) yang membuat Kaum Adat meminta bantuan Belanda yang pada waktu itu sudah berkedudukan di Padang. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raff masuk ke Tanah Datar untuk melakukan penyerangan kepada Kaum Paderi.

Sesampai di Batusangkar, pasukan Belanda dipusatkan di suatu tempat yang paling tinggi, lebih kurang 500 meter dari pusat kota. Pada tempat ketinggian inilah pasukan Belanda kemudian membangun sebuah benteng yang permanen. Bangunan benteng pertahanan yang dibangun pada tahun 1824 ini berupa bangunan yang memiliki ketebalan dinding 75 cm dan ± 4 meter dari dinding bangunan dibuat parit dan tanggul pertahanan yang melingkar mengelilingi bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diberi nama Benteng Van der Capellen, sesuai dengan nama Gubernur Jendral Belanda pada waktu itu yaitu Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen.

Dengan adanya benteng pertahanan yang permanen dan strategis, maka secara militer dan politis memudahkan Belanda untuk menguasai wilayah sekitar Batusangkar. Hal ini menandakan beratnya perjuangan kolonial Belanda di Tanah Datar sehingga harus membuat benteng. Kesempatan demikian akhirnya bukan hanya bertujuan untuk memadamkan gerakan Kaum Agama, tetapi sekaligus untuk menguasai secara politis kawasan Tanah Datar dan sekitarnya. Konflik ini akhirnya berkembang menjadi Operasi Militer Belanda. Kenyataan demikian menyadarkan Kaum adat yang semula mengizinkan Belanda untuk masuk ke Tanah Datar. Tapi semua sudah terlambat. Belanda sudah bercokol.

Benteng van der Capellen (1826)
Sebuah lukisan sketsa yang dibuat oleh Louis Henri Wilhelmus Merckes de Stuers yang diyakini dibuat antara tahun 1845 dan 1869 memperlihatkan sebuah benteng di atas bukit dengan latar belakang pegunungan. Di bagian bawah sketsa tertulis Fort van der Capellen Menangerbau Pagaroeyoeng Padangsche Bovenlanden Soematra. Bendera triwarna berkibar pada sebuah tiang tinggi hingga menyentuh awan yang bergelayut rendah. Pada jalan setapak menuju benteng terlihat seorang serdadu dengan seragam biru memacu kudanya menuju ke arah benteng. Sementara di latar depan terlihat seorang bersurban dan berompi merah sedang menunjuk ke satu arah. Mungkin ini untuk menggambarkan kaum Paderi, tetapi di mata ambo lebih terlihat seperti gambaran orang Arab dalam film Aladin atau sinetron Jin dan Jun ketimbang image kaum Paderi yang selama ini kita kenal. Entah bagaimana ceritanya.

Benteng van der Capellen (1895)
Gambaran dalam sketsa tersebut hampir persis dengan foto yang diambil pada tahun 1895. Kecuali pada bagian latar belakang gunungnya, sepertinya sengaja dibuat untuk efek dramatis saja. Gunungnya tidaklah setinggi itu. Demikian juga kita tidak melihat tembok benteng lagi, mungkin karena perang sudah usai. Tiang bendera di majukan ke depan, tepatnya pada jalan menuju benteng, di dekat gerbang dan pos jaga. Kira-kira hampir sama dengan posisi serdadu berkuda dalam sketsa. Dengan penampakan sekilas seperti ini, rasanya lebih terlihat sebagai sebuah villa peristirahatan daripada sebuah benteng.

Pada zaman jepang, benteng van der Capellen kemudian dikuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari tahun 1943-1945. Setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari pendudukan Jepang, benteng Van der Capellen kemudian dikuasai oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sampai tahun 1947. Pada waktu Agresi Belanda II, benteng Van der Capellen kembali dikuasai Belanda selama dua tahun, yaitu tahun 1948-1950.


Benteng Van der Capellen kemudian dimanfaatkan oleh PTPG yang merupakan cikal bakal IKIP Padang untuk proses belajar mengajar sampai tahun 1955 saat PTPG dipindahkan ke Bukit Gombak. Benteng Van der Capellen kemudian dijadikan sebagai markas Angkatan Perang Republik Indonesia.

Pada saat meletus peristiwa PRRI tahun 1957, Benteng Van der Capellen dikuasai oleh Batalyon 439 Diponegoro yang kemudian diserahkan kepada POLRI pada tanggal 25 Mei 1960. Oleh POLRI kemudian ditetapkan sebagai Markas Komando Resort Kepolisian (Polres) Tanah Datar dan berlanjut hingga tahun 2000. Sejak tahun 2001, Benteng Van der Capellen dikosongkan karena Polres Tanah Datar telah pindah ke bangunan baru yang berada di Pagaruyung. 

Selama menjadi markas Polres inilah beberapa perubahan bangunan dilakukan. Antara lain atap yang semula berupa atap genteng diganti dengan atap seng pada tahun 1974. Pada tahun 1984 dilakukan penambahan ruangan untuk serse dan dibangun pula TK Bhayangkari. Parit yang masih ada disebelah kanan dan kiri bangunan benteng ditimbun dan diratakan pada tahun 1986. Selain itu, ruangan sel tahanan yang semula terdiri dari 4 ruangan, dibongkar satu sehingga tinggal menjadi 3 ruangan. Perubahan bangunan terakhir kalinya terjadi pada tahun 1988, yaitu berupa penambahan bangunan kantin dan bangunan untuk gudang.

Saat ini benteng van der Capellen menjadi kantor Dinas Kebudayaan Kab. Tanah Datar dan telah direnovasi sebagian oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Namun sepertinya hal itu tetap belum dapat  mengembalikan ingatan masyarakat bahwa sejarah perkembangan kota Batusangkar berawal dari benteng di atas bukit ini.

(Sumber: Tropen Museum, wikipedia, wikimedia)

1 komentar:

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...