Pfff....betapa cepat waktu berlalu. Tidak terasa sudah 7 bulan sejak postingan terakhir. APPAHH?? T-U-J-U-H B-U-L-A-N??
Wow....udah tewas nih blog, mungkin ada yang berkomentar begitu. Tapi mudah-mudahan belum. Kalo sekarat mungkin (hehe..becanda). Karena itu sekarang kita munculkan cerita baru di blog ini. Biar sehat lagi. Ayoo...., yang jauh mendekat, yang dekat merapat *tukang jual obat keliling mode -ON* Tuing!
Karena baru habis vakum sekian lama, kita kasih cerita yang ringan-ringan saja. (emang berhubungan,ya? cuek lah.. ). Cerita kali ini tidak jauh-jauh dari apa yang diistilahkan bangsa Belanda dengan "Mooi Indie" alias "Indonesia yang Indah". Istilah ini digunakan oleh Belanda perantauan di Hindia Belanda untuk memberi gambaran bagaimana wujud Hindia Belanda itu kepada rekan-rekannya Belanda totok yang belum pernah menginjakkan kaki di negeri tropis ini. Mungkin istilah ini juga yang mengilhami Bu Tien memberi nama Taman Mini Indonesia Indah (OOT alias Out of Topic...)
Inilah Mooi Indie itu. Dilatarbelakangi oleh Gunung Padang yang kehijauan di kejauhan, muara sungai yang airnya jernih dan kebiru-biruan pelabuhannya ramai disandari oleh kapal layar yang bertiang tinggi. Saking jernih airnya, bayangan kapal dan gedung-gedung yang ada darat membayang di permukaan air yang sedikit beriak. Hmmm...terbayang semilir angin sepoi-sepoi membawa kesejukan di tengah iklim tropis. Sementara di darat, deretan gedung saling bergandengan dengan pohon-pohon besar, terutama pohon kelapa yang bagi bangsa Eropa merupakan tanaman eksotis.
Inilah keindahan yang sebenarnya itu. Muaro Batang Arau tahun 1895, yang sayangnya tidak mencantumkan kredit kepada pemotretnya.
Satu lagi potret dengan lokasi yang sama dan kebetulan bertahun sama, 1895. Namun kali ini memberi kredit kepada juru potret Christiaan Benjamin Nieuwenhuis yang memang terkenal dengan spesialisasinya di bidang Mooi Indie ini.
Potret kali ini mengambil angle di darat. Sebagai titik referensi, gedung yang berada di sebelah kanan adalah gedung bertingkat 2 beratap seng yang berada di tengah-tengah foto sebelumnya. Bahkan sampai sekarang pun, gedung ini masih ada, tapi tentu dengan kondisi yang sudah ringkih akibat tak terurus.
Kembali ke foto pak Nieuwenuis, pada bagian sebelah kiri memperlihatkan detail tiang-tiang tinggi perahu layar yang juga terlihat pada foto pertama. Perahunya sendiri kelihatan memiliki atap pada bagian palkanya. Di bagian tengah foto terdapat rel ganda. Rel ini merupakan ujung dari stasiun Pulau Ayer (Pulau Air) yang terletak di belakang posisi berdiri pak Tukang Kodak. Rel ganda ini sekaligus sebagai tempat langsir kereta api. Sementara di sebelah rel, di depan deretan gedung, terdapat jalan raya yang cukup rata dan rapi. Dapat dimaklumi, karena kawasan muara Batang Arau adalah pusat pemerintahan dan perdagangan kota Padang pada masa itu.
Yang menarik bagi ambo adalah kombinasi antar moda transportasi yang bertemu di muaro Batang Arau dalam foto di atas. Air, Jalan Rel dan Jalan Raya. Bayangkan begini: ikan yang ditangkap para nelayan dapat langsung naik kereta api menuju Bukittinggi, Payakumbuh atau Sawahlunto. Begitupun barang-barang manufaktur yang masuk di pelabuhan Emmahaven dapat segera disimpan di gudang di sepanjang Batang Arau untuk selanjutnya dapat langsung didistribusikan baik via jalan darat, rel ataupun air untuk lokasi-lokasi yang tidak memiliki akses jalan maupun rel. Demikian juga galeh mudo alias sayur mayur dan hortikultura yang dikirim dari daerah Darek dapat segera dikirim via kabau pedati atau kapal ke lokasi-lokasi yang membutuhkan, begitu turun dari kereta api. Betapa efektifnya.
Terlepas dari apakah hal ini memang sudah didisain sejak awal ataukah tumbuh seiring kebutuhan, tentu ada pelajaran yang bisa kita petik dari foto-foto tua ini kan?
(Sumber: wikimedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar